KEKUASAAN
BAB 1
PENDAHULAAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok
manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sedemikian
rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang
yang mempunyai tujuan itu. Maksudnya seseorang mempunyai kemampuan mempengaruhi
tingkah laku orang lain atau sekelompok orang berdasarkan kewibawaan, wewenang,
karisma atau kekuasaam fisik yang dimiliki.
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo
menuliskan bahwa:”Menurut Robert M. Mac
Iver, “Kekuasaan sosial adalah kemapuan untuk mengendalikan tingkah laku orang
lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak
langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. “Kekuasaan
biasanya berbentuk hubungan (Relationship)
dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang
diperintah (the ruler and the ruled),
satu pihak yang memberi perintah dan pihak lain yang mematuhi perintah.”
Diantara banyak bentuk kekuasaan, ada satu bentuk
kekuasaan yang sangat penting, yaitu kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan
politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah)
baik terbentuknya maupun dengan akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang
kekuasaan itu sendiri.
Diantara konsep politik yang banyak dibahas adalah
kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat krusial dalam
ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik khususnya. Pada suatu ketika politik
(politics) dianggap identik dengan
kekuasaan, dan kekuasaan dianggap sebagai cara untuk mencapai hal yang
diinginkan, antara lain membagi sumber-sumber diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Dalam makalah ini kelompok II akan membahas tentang “Kekuasaan.”
A. Rumusan Masalah
1.
Mengapa seorang
pelaku mempunyai kekuasaan?
2.
Apa arti kekuasaan
itu sendiri?
3.
Apa sumber dari
kekuasaan?
B. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
definisi kekuasaan menurut beberapa ahli
2.
Untuk mengetahui
apa saja sumber kekuasaan itu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kekuasaan
Telah muncul banyak definisi beberapa ahli, seperti
W.Connoly (1983) dan S.Lukes (1947) menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep
yang dipertentangkan (a contesed concept)
yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu consensus. Perumusan
yang umumnya dikenal bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu
kelompok manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan
dari orang yang mempunyai tujuan itu. Dalam hal ini pelaku bisa berupa seorang,
sekelompok orang, atau suatu kolektivitas. “Kekuasaan biasanya berbentuk
hubungan (Relationship) dalam arti
bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the ruler and the ruled), satu pihak
yang memberi perintah dan pihak lain yang mematuhi perintah.”
B. Definisi Kekuasaan Menurut Beberapa Ahli
1.
Max Weber
Dalam bukunya Wirtschaft und Gessellshaft (1992) :
kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan
kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.
2.
Harold D.lasswell dan Abraham Kaplan
Yang definisinya
sudah menjadi rumusan klasik menyebutkan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan
dimana seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama.
3.
Barbara Goodwin (2003)
Seorang ahli
kontemporer, mendefinisikan bahwa kekuasaan adlah kemampuan untuk mengakibatkan
seseorang bertindak degan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih,
seandainya ia tidak dilinatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Biasanya kekuasaan diselenggarakan
(exercise of power ) melalui isarat
yang jelas. Ini sering dinamakan kekuasaan manifest ( manifest pawer). Namun kadang-kadang isyarat itu tidak ada,
misalnya dalam keadaan yang oleh Carl Friedrich dinamakan the rule of
anticipated reactions. Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang dianttisipasikan
jika keingainan A tidak dilakukan oleh B. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan
kekuasaan implisit ( implicit power ). Suatu contoh dari
kekuasaan manifes ialah jika seseorang polisi menghentikan seseorang pengendara
motor karena melanggar peraturan lalu lintas. Contoh dari kekuasaan
implisit ialah seorang anak sekolah membatalkan rencana untuk main bola dan
memutuskan untuk membuuat pekerjaan rumahnya, karena takut akan dimarahi
bapaknya.
C. Macam-Macam Cara Untuk Menyelenggarakan Kekuasaan
a.
Dengan cara
kekerasan fisik (force).
b.
Kekuasaan dapat
juga diselenggarakan lewat koersi (coercion),
yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi.
c.
Persuasion
Yaitu proses
meyakinkan, beragumentasi atau menunjuk pada pendapat seorang ahli.
d.
Memberi ganjaran
atau intensif, imbalan atau kompensasi
Suatu contoh dari
pemberian imbalan ialah pemerintah yang berupaya untuk mengatasi masalah sampah
dapat melakukan sanksi negatif dengan mendenda tiap pelanggar. Akan tetapi
karena pengawas terbatas mungkin pemerintah cenderung memberikan sanksi positif
misalnya, berupa hadiah keapda Rukun Tetangga yang paling bersih. Kadang hal
ini dinamakan sanksi positif.
D. Sumber Kekuasaan
Sumber kekuasaan dapat berupa
kedudukan misalnya seorang komandan terhadap anak buahnya atau seorang majikan
terhadap pegawainya. Sumber
kekuasaan dapat juga pula berupa kekayaan. Misal seorang pengusaha kaya
mempunyai kekuasaan atas seorang politikus atau seeorang bawahan yang mempunyai
utang yang belum
dibayar kembali. Kekuasaan dapat pula bersumber pada kepercayaan atau agama.
Dibanyak tempat alim ulama mempunyai kekuasaan terhadap umatnya, sehingga mareka diaanggap sebagai
pemimpin informal yang perlu diperhitungkan dalam proses pembuatan keputusan
ditempat itu.
Kita perlu membedakan dua istilah
menyangkut konsep kekuasaan :
1) Cakupan
Kekuasaan ( scoope of power )
Menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta
sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Misalnya,
seorang direktur perusahaan mempunbyai kekuasaan untuk memecat seorang karyawan
(asal sessuai dengan ketentuan-ketntuan yang berlaku), akan tetapi tidak
mempunyai kekuasan terhadap karyawan diluar hubungan kerja ini.
2) Wilayah
kekuasan ( domain of power )
Menjawab pertanyaan siapa-siapa saja
yang dikuasai oleh orang atau kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada
pelaku, kelompok organisasi atau kolektivitas yang kena sasaran. Misalnya
seorang direktur perusahaan mempunyai kekuasaan atas semua karyawan dalam
perusahaan itu,, baik dipusat, maupun yang dicabang- cabang.
v Talcott Parsons
Seorang
sosiolog terkenal Talcoot Parsons, yang cendrung melihat kekuasaan sebagai
senjata ynag ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan jalan membuat
keputusan-keputusan yang mengikat didukung dengan sanksi negatif.
Dalam
perumusan Talcott Parsons yang diterjemahkan secara bebas, mengatakan :
Kekuasaan
adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang
mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif.
Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada
perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif wajar, terlepas dari
siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.
Jadi,
Parsons melihat segi positif dari kekuasan jika dihubungkan dengan authority dan kemungkinan-kemugkinan.
Rencana-rencana dapat terlaksana dengan baik.
E. Pembagian Kekuasaan Negara Secara Vertikal dan Horizontal
Pembagian kekuasaan dibedakan
menjadi pembagian kekuasaan secara vertikal dan pembagian kekuasaan secara
horizontal. Pembagian kekuasaan secara vertikal dapat diartikan bahwa kekuasaan
dibagi secara teritorial atau wilayah kekuasaan. Sebagai contoh, adanya
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah untuk sebuah negara kesatuan.
Sedangkan, pembagian kekuasan secara horizontal dapat diartikan bahwa kekuasaa
dibagi menurut fungsi-fungsi tertentu. Sebagai contoh, adanya sebuah badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif di negara kesatuan.
Dalam hal pembagian kekuasaan,
bentuk negara setidaknya dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu Konfederasi, Negara
Kesatuan, dan Negara Federal. Adapun perbandingan antara ketiga bentuk negara
tersebut, adalah sebagai berikut :

Menurut L.Oppenheim, adalah beberapa Negara yang berdaulat penuh untuk
mempertahankan kemerdakaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian
internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan
tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota
konfederasi, tetapi tidak terhadap warga negara-negara itu (L. Oppenheim dalam
M. Budiadrjo:268). Dari pernyataan tersebut, secara singkat dapat diartikan
bahwa konfederasi merupakan kumpulan negara-negara merdeka dan berdaulat, yang
bersatu hanya karena satu kepentingan tertentu yanb biasanya terletak di bidang
politik luar negero dan pertahanan bersama.

Menurut C. F. Strong, adalah bentuk
negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif
nasional/pusat (C. F. Strong dalam M.
Budiardjo: 269). Dengan kata lain, kekuasaan atau kedaulatan sepenuhnya ada di
pemerintah pusat bukan di pemerintah daerah. Akan tetapi, di sisi lain,
pemerintah pusat memiliki wewenang untuk membagi kekuasaan kepada daerah yang
kita kenal sebagai hak otonomi atau desentralisasi. Adapun ciri-ciri mutlak
Negara Kesatuan, menurut Strong, adalah adanya supremasi dari dewan perwakilan
pusat dan tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat (C. F. Strong dalam
M. Budiardjo: 270).

Negara Federal menurut K. C.
Wheare, bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama
lain (K. C. Wheare dalam M. Budiardjo: 270). Pernyataan tersebut dapat
diartikan, baik negara bagian maupun negara federal memiliki kedaulatan
masing-masing. Kedaulatan negara federal adalah mengatur segala hal di luar
kedaulatan Negara bagian dan berlaku untuk beberapa negara bagian lainnya.
Adapun persyaratan sebuah Negara Federal menurut C. F. Strong, adalah adanya
perasaan sebangsa diantara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk
federasi untuk mengadakan ikatan terbatas (C. F. Strong dalam M. Budiardjo:
271).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam suatu hubungan kekuasaan selalu ada satu pihak yang
lebih kuat dari pihak lain. Jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang.
Ketidakseimbangan inilah yang sering menimbulkan ketergantungan. Semakin tidak
seimbang maka semakin besar pula sifat ketergantungannya.
B. Saran
Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat
dan ilmu pengetahuan kepada para pembaca, dan disarankan kepada pembaca untuk
mencari referensi yang lebih banyak lagi, baik dari sosial media maupun media
yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rodee, Carlton clymer dkk, pengantar ilmu politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar