Selasa, 03 Februari 2015

Konsep Demokrasi (tgas waktu mata kuliah NHD)



MAKALAH
NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI
( ABKA2303 )
KONSEP DEMOKRASI

Dosen Pembimbing :
Dr. H. Sarbaini, M.Pd dan M. Elmy, M.Pd
 








Disusun Oleh :
KELOMPOK 31
1.   JAYANTI LESTARI            (A1A213069)
2.   HAIRINA WASLIAH         (A1A213024)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN Kn
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rezeki dan kesehatan kepada kami sehingga kami mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Konsep Demokrasi” yang dibuat untuk memenuhi tugas Persentasi Kelompok mata kuliah Negara Hukum dan Demokrasi
Kami menyadari dan meyakini bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kami sadari atau pun yang tidak kami sadari. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari makalah ini, agar di masa yang akan datang kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi. Namun begitu, meskipun makalah ini jauh dari kata sempurna kami berharap agar makalah ini sedikit banyaknya dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam pembuatan makalah ini. Demikian sedikit kata pengantar dari kami atas perhatian para pembaca sekalian kami mengucapkan terima kasih.


                                                                       Banjarmasin, 20 september 2014


Tim Penyusun






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR     ........................................................................................... i
DAFTAR ISI                   .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang   .......................................................................................... 1
B.    Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.    Tujuan Penulisan...........................................................................................                            2
D.    Manfaat Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A.    Konsep Demokrasi....................................................................................... 3
BAB III PENUTUP         ......................................................................................... 14
A.    Kesimpulan         ......................................................................................... 14
B.    Saran                   ......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA      ......................................................................................... 15









BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang masalah
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara abad ke 4 dan 5 sebelum masehi (SM) sebagai sistem-sistem politik pada zaman Yunani Kuno, tepatnya di Negara Kota (Polis) Athena (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007). Pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Di Yunani kuno, demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi sedangkan penduduk yang terdiri dari budak, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak demokrasi. Dalam pemahaman yunani sendiri, Aristoteles menyebut tiga pemerintahan yang baik dan tiga pemerintahan yang buruk (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007), yakni demokrasi termasuk pemerintahan orang banyak yang berorientasi pada kelompoknya sendiri. Sedang pemerintahan orang banyak yang baik disebut timokrasi. Gagasan dan kehidupan demokrasi mengalami pasang surut akibat kehancuran Yunani dan Romawi serta kokohnya kekuasaan monarkhi absolut di Eropa sampai dengan abad pertengahan, yang dalam sejarah Eropa disebut zaman kegelapan (Dark Ages) yaitu kekuasaan absolut raja direstui oleh para pemimpin gereja yang telah memasung kebebasan berfikir manusia. Walaupun begitu, ada sesuatu yang penting yang menjadi tonggak baru berkenaan dengan demokrasi abad pertengahan, yaitu lahirnya Magna Charta.


B.    Rumusan masalah
1.Apa definisi dan konsep demokrasi ?
2.Apa tujuan dari adanya konsep demokrasi?
3. Bagaimana lahir dan berkembangnya konsep demokrasi?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.     Untuk menambah pengetahuan/wawasan kita tentang konsep demokrasi yang ada.
2.     Agar kita mengetahui tujuan adanya konsep demokrasi yang ada sekarang.
3.     Agar pemabaca makalah ini mengetahui asal mula lahir dan berkembangnya konsep demokrasi.

D.    Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan :
1.       Dapat dipertimbangkan Menambah wawasan bagi penulis,pembaca dan pendengar mengenai konsep demokrasi.
2.       sebagai bahan pemikiran atau masukan untuk
Pengimplikasian tentang konsep demokrasi yang sebenarnya.
3.       Kita dapat mengetahui bagaimana konsep demokrasi itu baik pengertiannya, sumbernya, lahirnya dan sebagainya.








KONSEP DEMOKRASI

Sepintas demokrasi seolah bersifat elitis, tapi semakin dalam diselami, semakin diketahui bahwa demokrasi itu adalah kehidupan kita sendiri. Jadi, dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan produk pemikiran manusia yang cerdas. Guru Besar di Universitas Sorbone, Paris, Perancisyang bernama George Burdeau, melontarkan ungkapan unik dan menarik tentang demokrasi. Dia mengatakan bahwa wajah demokrasi itu ada dalam mimpi manusia. Ungkapan itu mengandung arti bahwa konsep demokrasi itu dimaknai sangat beranekaragam tergantung konteks waktu dan tempatnya, kendatipun ciri-ciri dasarnya berlaku secara universal.
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demokratia” yang berarti “kekuasaan dari rakyat”  (rule of people), yang dirangkai dari dua kata, yaitu “demos” dan “kratos” atau “cratein”. Menurut artinya secara harfiah yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu demos yang berarti “rakyat” dan kratos atau cratein yang berarti “kekuasaan”. Demokrasi adalah bentuk politis dari pemerintahan yang mengatur kekuasaan yang diperoleh dari rakyat, yaitu warga masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara, baik melalui pemilihan langsung (direct democracy) maupun perwakilan rakyat yang dipilih (representative democracy). Dengan demikian dilihat dari kata asalnya, demokrasi mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Sekalipun sejelas itu arti istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek demokrasi itu dipahami dan dijalani secara berbeda-beda. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Demos menyiratkan makna diskriminatif atau bukan rakyat keseluruhan, tetapi hanya populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal mengontrol akses ke sumber–sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas hak–hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik atau pemerintahan.
Terdapat beberapa kategori definisi demokrasi yang nampaknya dipengaruhi oleh pendekatan sejarah, yakni :
Ø  Definisi secara singkat, didefinisikan oleh Abraham Lincoln (1809-1865), demokrasi sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Government of the people, by the people, for the people). Selain itu demokrasi menurut bahasa Yunani adalah pemerintahan dari rakyat. Orang-orang Athena dan Romawi kuno mendifinisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang muncul sebagai reaksi terhadap pemudsatan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa.
Ø  Definisi klasik, demokrasi sering dikemukakan dengan tipe-tipe pemerintahan yang lain, seperti monarki, aristokrasi, oligarki, theokrasi dan kediktatoran.
Ø  Definisi modern, menurut Samuel P. Huntington (Bernard Lewis, 2002) mengemukakan bahwa seseorang dapat menyebut sebuah negara itu demokrasi, jika negara tersebut telah melaksanakan pergantian pemerintahan secara damai melalui pemilihan umum. Negara dapat dikatakan sebagai negara demokrasi modern jika memenuhi syarat-syarat sebagi berikut: jaminan terhadap hak-hak asasi manusia terhadap setiap pribadi secara individu, berhadapan dengan negara dan penguasanya, dan berhadapan dengan pribadi-pribadi lain, pemisahan kekuasaan di antara institusi-institusi negara, kebebasan berpendapat, berbicara, pers, dan massmedia, kebebasan beragama, hak yang sama untuk memberikan suara, dan pemerintahan yang baik.
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara abad ke 4 dan 5 sebelum masehi (SM) sebagai sistem-sistem politik pada zaman Yunani Kuno, tepatnya di Negara Kota (Polis) Athena (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007). Pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Di Yunani kuno, demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi sedangkan penduduk yang terdiri dari budak, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak demokrasi. Dalam pemahaman yunani sendiri, Aristoteles menyebut tiga pemerintahan yang baik dan tiga pemerintahan yang buruk (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007), yakni demokrasi termasuk pemerintahan orang banyak yang berorientasi pada kelompoknya sendiri. Sedang pemerintahan orang banyak yang baik disebut timokrasi.Gagasan dan kehidupan demokrasi mengalami pasang surut akibat kehancuran Yunani dan Romawi serta kokohnya kekuasaan monarkhi absolut di Eropa sampai dengan abad pertengahan, yang dalam sejarah Eropa disebut zaman kegelapan (Dark Ages) yaitu kekuasaan absolut raja direstui oleh para pemimpin gereja yang telah memasung kebebasan berfikir manusia. Walaupunbegitu, ada sesuatu yang penting yang menjadi tonggak baru berkenaan dengan demokrasi abad pertengahan, yaitu lahirnya Magna Charta. Dari piagam tersebut, ada dua prinsip dasar: Pertama, kekuasaan Raja harus dibatasi; Kedua, HAM lebih penting daripada kedaulatan Raja. Ada dua peristiwa penting yang mendorong timbulnya kembali demokrasi yang sempat tenggelam pada abad pertengahan, yaitu terjadinya Renainsance dan Reformasi. Renainsanceadalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, dasarnya adalah kebebasan berpikir dan bertindak. Rose Wilder Lane penulis buku “Islam and Discovery of Freedom”(Bernard Lewis, 2002) menyebutkan, bahwa orang-orang Eropa banyak mempelajari nilai dan pentingnya kebebasan dari kaum muslim. Islam memperkenalkan konsep kebebasan kepada dunia dan khususnya ke Eropa. Sejak itu cita-cita kuno demokrasi dan pertanggung jawaban pemerintahan, dikaji ulang dan dikembangkan. Sedangkan Reformasi yang terjadi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat abad 16. Dari dua peristiwa penting di atas, Eropa kemudian masuk ke dalam Aufklarung (AbadPemikiran) dan Rasionalisme yang mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) yang pada gilirannya kebebasan berpikir ini menimbulkan lahirnya pikiran tentang kebebasan politik.
Disampaikan oleh De Tocquiville (Charmim, dkk, 2003) bahwa demokrasi memerlukan moral menahan diri, tanpa kemampuan menahan diri, demokrasi akan berubah menjadi democrazy yang melahirkan tirani. Gabriel Almond menyimpulkan tentang keberhasilan demokrasi dalam kaitannya dengan kultur dan struktur sosial politik, yaitu :
ü  Kultur demokrasi adalah kultur campuran,
ü  Kultur demokrasi bersumber pada kultur masyarakat secara umum,
ü  Kultur demokrasi senantiasa memerlukan dan berbasis masyarakat madani,
ü  Seberapa jauh masyarakat memegang kultur demokrasi sangat tergantung pada perilaku pemerintahan dalam demokrasi.
Demokrasi berjalan dengan baik, bila warga bersikap arif dan masing-masing mampu mengendalikan diri demi kepentingan bersama yang lebih besar di bawah keteladanan pemerintahan demokrasi. Sebaliknya, demokrasi masyarakat akan mendukung kehidupan demokrasi, bila pemerintahan dapat memberikan keteladanan demokrasi. Pemerintahan demokrasi tidak akan terbentuk di suatu negara jika kehidupan para elit negara tidak memberikan keteladanan dan melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Untuk mengembangkan pemerintahan demokrasi itu diperlukan nilai-nilai yang terdapat dalam prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip umum demokrasi meliputi, kebebasan, pluralism, paham individual, kesetaraan, dan keadilan (Supriatnoko, 2008).
Henry B. Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960: 70), memberikan pengertian demokrasi, sebagai:
A democratic political system is one in which public politicies are made on majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.
Dari rumusan tersebut memberikan sifat pemahaman umum terhadap suatu negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu:
  • demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mempunyai elemen-elemen yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan;
  • orang-orang yang memegang kekuasaan atas nama demokrasi dapat mengambil keputusan untuk menetapkan dan menegakkan hukum;
  • kekuasaan untuk mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh dan dipertahankan melalui pemilihan umum yang bebas dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa.
Dari tiga sifat pemahaman umum tersebut, suatu negara demokrasi mempunyai tiga pemahaman utama yang meliputi hakekat, proses dan tujuan demokrasi (Huntington, 1995: 4). Huntington, melihat demokrasi dalam tiga pendekatan umum yaitu: sumber wewenang bagi pemerintah; tujuan yang dilayani oleh pemerintah; dan prosedur untuk membentuk pemerintahan.
Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Henry B. Mayo, 1960: 70). Dengan kata lain demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum untuk mengatur kehidupan bersama berdasar aturan hukum yang berpihak pada rakyat banyak.
 Demokrasi adalah sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi ini kemudian dibangun dan dikembangkan secara pesat sebagai suatu rangkaian institusi dan praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk merespon perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di masing-masing negara. Ketika demokrasi Barat mulai ditransplantasikan ke dalam negara-negara non-Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda, (Wignjosoebroto, 2002: 485-493).
Lembaga perwakilan pada negara demokrasi modern sangat penting dalam suatu negara bangsa. Melalui lembaga perwakilan, persoalan-persoalan yang komplek dihadapi masyarakat akan dapat diselesaikan. Dengan demikian lembaga perwakilan berfungsi untuk menjembatani dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam praktek, demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda, sehingga timbul masalah antara wakil(lembaga perwakilan) dan yang diwakilinya(rakyat). Artinya, apa yang dilakukan oleh wakil rakyat dalam lembaga perwakilan tidak selamanya dapat diterima oleh rakyat.keadaan ini sering muncul menjadi permasalahan dalam praktek demokrasi, berkaitan dengan pilihan akan melaksanakan demokrasi elitis atau demokrasi partisipatoris.
Ø  Konsep Demokrasi Elitis
Demokrasi elitis, melihat bahwa rakyat sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik, karena rakyat dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan-­persoalan yang kompleks dalam masalah­masalah pemerintahan. Selain itu rakyat lebih baik apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan yang merusak budaya, masyarakat dan kebebasan (Walker, 1987: 3). Rakyat dianggap sudah cukup berperan dalam kehidupan negara melalui penyelenggaraan pemilihan umum yang dilakukan secara periodik dalam negara. Melalui pemilihan umum, rakyat sudah melakukan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Dalam demokrasi elitis, peran rakyat digantikan oleh sekelompok elit politik dalam melaksanakan pemerintahan. Setelah dilakukannya pemilihan umum, maka proses bernegara dalam pengambilan keputusan-keputusan publik, sepenuhnya diwakili oleh lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan akan menjalankan tugas dan fungsinya secara bebas tanpa dibayangi oleh kontrol dan protes dari rakyatnya. Di bawah sebuah pemerintahan perwakilan ini, warga negara sering menyerahkan kekuasaan yang sangat besar yang dapat digunakan sesukanya atas keputusan­-keputusan yang luar biasa penting. Inilah sisi gelap dari demokrasi perwakilan, walaupun diakui juga ada keuntungan-keuntungannya (Dahl, 2001: 157). Demokrasi elitis adalah demokrasi yang semu, hanya diperankan oleh sekelompok or­ang yang mengatasnamakan rakyat melalui justifikasi pemilihan umum.
Ø  Konsep Demokrasi Partisipatoris
Demokrasi partisipatoris, menuntut peran aktif berbagai komponen demokrasi secara keseluruhan. Komponen demokrasi adalah organ-organ kelembagaan, kekuatan-kekuatan masyarakat dan kekuatan­-kekuatan individual yang akan saling menunjang dan melengkapi dalam berjalannya sistem demokrasi.
Dalam demokrasi partisipatoris, akan memberikan peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi secara effektif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik. Prinsip dalam demokrasi partisipatoris adalah persamaan bagi seluruh warga negara dewasa untuk ikut menentukan agenda dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda yang telah diputuskan secara bersama. Hal ini dilakukan agar perjalanan kehidupan bernegara mendapatkan pemahaman yang jernih pada sasaran yang tepat dalam rangka terwujudnya pemerintahan yang baik (Dahl, 2001: 157).
Demokrasi partisipatoris pada hakekatnya adalah demokrasi yang secara sadar akan memberdayakan rakyat dalam rangka mewujudkan pemerintahan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan bersama rakyat’. Adanya pemberdayaan rakyat yang akan berupa partisipasi langsung ini penting, karena sistem perwakilan rakyat melalui lembaga perwakilan tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘rep­resentation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi (Dahl, 2001: 168-169).
Menurut Samuel P Hunting­ton, partisipasi masyarakat dalam demokrasi partisipatoris dapat terjadi ketika pembangunan sosial ekonomi berhasil mencapai tingkat pemerataan yang lebih besar, sehingga melahirkan stabilitas politik dan pada gilirannya memunculkan partisipasi politik yang demokratis. Partisipasi ini dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu partisipasi mobilisasi dan partisipasi otonom. Landasan sebagai pijakan dari partisipasi ini dapat berupa kelas, kelompok, lingkungan, partai dan golongan (faction) (Samuel P. Hutington dan Joah Nelson, 1994: 9-27). Pada akhirnya, pelibatan rakyat secara aktif dalam proses penentuan agenda, pengambilan keputusan dan kontrol terhadap kebijakan yang telah diambil secara bersama, maka rakyat akan memberikan dukungan dengan penuh antusias dan dapat merasakan bahwa mereka mempunyai tingkat ‘ownership’ yang tinggi dalam bernegara (Dahl, 2001: 6).
 Dari pemahaman konsep demokrasi partisipatoris tersebut, keberadaan lembaga perwakilan merupakan salah satu komponen dalam demokrasi. Dinamika demokrasi modern dalam ‘nation state’, selain lembaga perwakilan yang diisi melalui pemilihan umum, masih terdapat elemen demokrasi lainnya yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di sinilah arti pentingnya, interest group, presure group, tokoh masyarakat, pers dan partai politik, ikut ambil bagian dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kekuatan-kekuatan politik ini merupakan kekuatan infra struktur politik yang perlu diberikan tempat secara proposional dalam demokrasi partisipatoris. Peran dari elemen-elemen masyarakat ini sangat diperlukan dalam rangka menciptakan demokrasi partisipatoris. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, termasuk bidang pemben­tukan undang-undang, telah menjadi issue penting dalam konteks global (Craig dan Mayo, 1995: 1).
v Konsep Partisipasi Demokrasi
 Munculnya konsep partisipasi dalam sistem demokrasi sehingga melahirkan ‘participatory democracy’, berkaitan dengan adanya gerakan ‘New Left’ sebagai pengaruh dari ‘legitimation crisis’ pada tahun 1960-an. Gerakan ‘New Left’ yang memunculkan demokrasi partisipatoris, adalah ‘the main counter-models on the left to the legal democracy’. Legal democracy bertumpu pada premis ‘pluralist theory of politics’ yang mengacu kepada teori ‘overloaded government’, sedangkan demokrasi partisipatoris bertumpu pada premis ‘Marxist’ yang mengacu kepada teori ‘legitimation crisis’ (David Held, 241-264).
Gerakan dalam upaya memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan telah merambah ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Oleh karena itu, wacana tentang partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses berdemokrasi di Indonesia.
Huntington memberikan definisi ‘partisipasi politik’, sebagai “kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi dapat secara spontan, secara kesinambungan atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”
Dari definisi partisipasi politik tersebut, terlihat bahwa substansi dari partisipasi adalah kegiatan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah, tanpa melihat bentuk, sifat dan hasil dari partisipasi yang dilakukannya. Dalam definisi tersebut terdapat empat hal pokok, yaitu: (Huntington dan Nelson, 1994: 6-8) partisipasi, adalah mencakup ‘kegiatan­-kegiatan’, tidak memasukkan di dalamnya yang berupa ‘sikap-sikap’ terhadap orientasi politik; partisipasi, adalah kegiatan politik warga negara perorangan dalam peranannya sebagai warga negara biasa; artinya, bukan kegiatan dari orang-orang yang memang berkecimpung dalam profesi politik atau pemerintahan;  partisipasi, adalah hanya merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan peme­rintah;
partisipasi mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mem­pengaruhi pemerintah, tanpa mempedulikan apakah kegiatan itu benar-benar mempunyai dampak untuk itu atau tidak.
Dari definisi partisipasi politik yang di dalamnya mengandung empat hal pokok tersebut, diambil pemahaman bahwa gerakan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan, pada dasarnya berpangkal pada adanya desirability dari masyarakat untuk mewujudkan self-government dalam demokrasi partisipatoris (William N. Nelson, 1980: 51). Setidaknya terdapat lima penyebab pokok, yang memberikan dorongan terhadap keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan, yaitu modernisasi; perubahan-perubahan struktur kelas sosial; pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern; konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik; dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan (Almond, 2001: 45-46).
 Penyebab dari keterlibatan masyarakat untuk menyalurkan desirability dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut, berangkat dari suatu asumsi bahwa yang menjadi dasar demokrasi dan partisipasi adalah dirinya sendiri yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya (Peter L. Barger, dalam Surbakti, 1999: 140). Dengan asumsi demikian, rakyat melakukan partisipasi yang dilakukan dalam berbagai bentuk partisipasi politik yang dapat berupa konvensional maupun non-konvensional.
Dalam kaitan partisipasi dalam proses politik, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi seseorang, yaitu kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Kesadaran politik, adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang dapat berupa pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, serta minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat ia hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah, ialah penilaian sseorang terhadap pemerintah, apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak (Surbakti, 1999: 144).
  Berkaitan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi dan rendahnya partisipasi seseorang dalam melihat suatu persoalan dalam lingkungannya, dikemukakan adanya empat tipe partisipasi, yaitu: (Jeffry M Paige, dalam Surbakti, 1999: 144)
·         apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif;
·         apabila seseorang tingkat kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis);
·         apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, maka akan melahirkan militan radikal; dan
·         apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan partisipasi yang tidak aktif (pasif).
Dari berbagai hal yang berkaitan dengan partisipasi di atas, terlihat bahwa problematika partisipasi dalam kehidupan berdemokrasi menjadi suatu masalah yang dapat diperdebatkan. Tuntutan adanya partisipasi dalam suatu negara demokrasi pada satu sisi merupakan suatu keniscayaan, namun di sisi yang lain dipertanyakan apakah partisipasi itu dapat dilakukan dalam kerangka kebebasan dan persamaan warga negara dalam penyelenggaraan suatu negara. Permasalahan tersebut kemudian menuntun pada pertanyaan, apakah pemerintahan yang demokratis itu tergantung pada ada dan tidaknya partisipasi dari masyarakat dalam membuat keputusan pemerintahan. Jika adanya partisipasi ini menjadi suatu ukuran dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis, maka ukuran apakah untuk menentukan bahwa suatu partisipasi masyarakat itu merupakan keinginan bersama dalam masyarakat.
Partisipasi masyarakat hakekatnya merupakan persoalan nilai-nilai yang bertalian dengan morality suatu masyarakat. Ketika permasalahan partisipasi terkait dengan permasalahan moral, maka akan sulit menentukan nilai-nilai moral dari masyarakat yang ukurannya niscaya berbeda-­beda. Dengan demikian, dalam demokrasi bergantung pada penyerapan nilai-nilai moral yang baik di dalam masyarakat.


BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
·         Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demokratia” yang berarti “kekuasaan dari rakyat”  (rule of people), yang dirangkai dari dua kata, yaitu “demos” dan “kratos” atau “cratein”. Menurut artinya secara harfiah yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu demos yang berarti “rakyat” dan kratos atau cratein yang berarti “kekuasaan”.
·         Demokrasi berjalan dengan baik, bila warga bersikap arif dan masing-masing mampu mengendalikan diri demi kepentingan bersama yang lebih besar di bawah keteladanan pemerintahan demokrasi. Sebaliknya, demokrasi masyarakat akan mendukung kehidupan demokrasi, bila pemerintahan dapat memberikan keteladanan demokrasi.
·         Untuk mengembangkan pemerintahan demokrasi itu diperlukan nilai-nilai yang terdapat dalam prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip umum demokrasi meliputi, kebebasan, pluralism, paham individual, kesetaraan, dan keadilan.

B.       SARAN
Dari berbagai penjelasan yang ada didalam makalah ini kiranya dapat ditegaskan bahwa demokrasi menekan adanya prinsip-prinsip persamaan dan kebebasan yang dilandasi oleh norma atau aturan yang berlaku.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa demokrasi merupakan konsep yang memiliki makna dan ciri-ciri dasar yang bersifat universal dan berlaku diseluruh penjuru dunia ini. Negara yang menganut demokrasi rakyatnya harus tau bagaimana cara berdemokrasi dengan bijak sehingga kebebasan dalam berdemokrasi itu bisa digunakan secara bertanggung jawab.



DAFTAR PUSTAKA

Hergian Kevin Negara Hukum dan Demokrasi. (online). Tersusun di :  http://kevinunidha.blogspot.com/2013/06/this-is-summry-all-about-democration.html
Kusnu Goesniadhie S. Demokrasi dalam konsep dan praktek. (online). Tesusun di : http://kgsc.wordpress.com/demokrasi-dalam-konsep-dan-praktek/ diakses pada 15 aseptember 2014
Saffie (2013) Tugas makalah tentang konsep demokrasi. (online). Tersusun di : http://saffie-myblog.blogspot.com/2013/04/tugas-makalah-tentang-konsep-demokrasi_4138.html?view=sidebar  di akses pada 15 september 2014
Sarbaini dan M. Elmy. 2013. Negara Hukum dan Demokrasi. Banjarmasin: P3AI Universitas Lambung Mangkurat.
Sugianto (2012) contoh makalah konsep demokrasi. (online). Tersusun di : http://sattoksugianto.blogspot.com/2012/11/contoh-makalah-konsep-demokrasi-dan.html di akses pada 15 september 2014
Wuryan, Sri dan  Syaifullah. 2006. Ilmu kewarganegaraan. Bandung: Laboraturiom pendidikan kewarganegaraan universitas pendidikan Indonesia





2 komentar:

  1. Asswrwb. Umpat baelang. Salam kenal dari urang Angkinang, Kandangan, HSS.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waalaikum salam. inggih. salam kenal jua pa.

      Hapus