MAKALAH
NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI
( ABKA2303 )
KONSEP DEMOKRASI
Dosen Pembimbing :
Dr. H. Sarbaini, M.Pd dan M. Elmy, M.Pd
Disusun Oleh :
KELOMPOK 31
1. JAYANTI LESTARI (A1A213069)
2. HAIRINA WASLIAH
(A1A213024)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN Kn
JURUSAN ILMU
PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG
MANGKURAT
BANJARMASIN
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang telah memberikan rezeki dan kesehatan kepada kami sehingga kami mempunyai
kesempatan untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Konsep
Demokrasi” yang
dibuat untuk memenuhi tugas Persentasi Kelompok mata kuliah Negara Hukum
dan Demokrasi
Kami menyadari dan meyakini bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kami sadari atau
pun yang tidak kami sadari. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
dari makalah ini, agar di masa yang akan datang kami bisa membuat makalah yang
lebih baik lagi. Namun begitu, meskipun makalah ini jauh dari kata sempurna
kami berharap agar makalah ini sedikit banyaknya dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam pembuatan makalah ini. Demikian sedikit kata
pengantar dari kami atas perhatian para pembaca sekalian kami mengucapkan
terima kasih.
Banjarmasin,
20 september 2014
Tim
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang .......................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................ 2
C.
Tujuan
Penulisan........................................................................................... 2
D.
Manfaat
Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A.
Konsep
Demokrasi....................................................................................... 3
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 14
A.
Kesimpulan ......................................................................................... 14
B.
Saran ......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran
mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam
kehidupan bernegara abad ke 4 dan 5 sebelum masehi (SM) sebagai sistem-sistem
politik pada zaman Yunani Kuno, tepatnya di Negara Kota (Polis) Athena
(Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007). Pada waktu itu, dilihat dari
pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct
democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik
dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan
prosedur mayoritas. Di Yunani kuno, demokrasi hanya berlaku untuk warga negara
yang resmi sedangkan penduduk yang terdiri dari budak, pedagang asing,
perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak demokrasi. Dalam pemahaman
yunani sendiri, Aristoteles menyebut tiga pemerintahan yang baik dan tiga
pemerintahan yang buruk (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007), yakni
demokrasi termasuk pemerintahan orang banyak yang berorientasi pada kelompoknya
sendiri. Sedang pemerintahan orang banyak yang baik disebut timokrasi. Gagasan
dan kehidupan demokrasi mengalami pasang surut akibat kehancuran Yunani dan
Romawi serta kokohnya kekuasaan monarkhi absolut di Eropa sampai dengan abad
pertengahan, yang dalam sejarah Eropa disebut zaman kegelapan (Dark Ages) yaitu
kekuasaan absolut raja direstui oleh para pemimpin gereja yang telah memasung
kebebasan berfikir manusia. Walaupun begitu, ada sesuatu yang penting yang menjadi
tonggak baru berkenaan dengan demokrasi abad pertengahan, yaitu lahirnya Magna
Charta.
B. Rumusan
masalah
1.Apa definisi dan konsep demokrasi ?
2.Apa tujuan dari adanya konsep demokrasi?
3. Bagaimana lahir dan berkembangnya konsep demokrasi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah :
1. Untuk menambah
pengetahuan/wawasan kita tentang konsep demokrasi yang ada.
2. Agar kita mengetahui
tujuan adanya konsep demokrasi yang ada sekarang.
3. Agar pemabaca makalah
ini mengetahui asal mula lahir dan berkembangnya konsep demokrasi.
D.
Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan :
1.
Dapat
dipertimbangkan Menambah wawasan bagi penulis,pembaca dan pendengar mengenai konsep demokrasi.
2.
sebagai
bahan pemikiran atau masukan untuk
Pengimplikasian tentang konsep demokrasi yang
sebenarnya.
3.
Kita
dapat mengetahui bagaimana konsep demokrasi itu baik pengertiannya,
sumbernya, lahirnya dan sebagainya.
KONSEP DEMOKRASI
Sepintas demokrasi seolah bersifat
elitis, tapi semakin dalam diselami, semakin diketahui bahwa demokrasi itu
adalah kehidupan kita sendiri. Jadi, dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan
produk pemikiran manusia yang cerdas. Guru Besar di Universitas Sorbone, Paris,
Perancisyang bernama George Burdeau, melontarkan ungkapan unik dan menarik
tentang demokrasi. Dia mengatakan bahwa wajah demokrasi itu ada dalam mimpi
manusia. Ungkapan itu mengandung arti bahwa konsep demokrasi itu dimaknai
sangat beranekaragam tergantung konteks waktu dan tempatnya, kendatipun
ciri-ciri dasarnya berlaku secara universal.
Istilah demokrasi berasal dari bahasa
Yunani “demokratia” yang berarti “kekuasaan dari rakyat” (rule of people), yang dirangkai dari dua
kata, yaitu “demos” dan “kratos” atau “cratein”. Menurut artinya secara harfiah
yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu demos yang berarti “rakyat” dan kratos
atau cratein yang berarti “kekuasaan”. Demokrasi adalah bentuk politis dari
pemerintahan yang mengatur kekuasaan yang diperoleh dari rakyat, yaitu warga
masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara, baik melalui pemilihan
langsung (direct democracy) maupun perwakilan rakyat yang dipilih
(representative democracy). Dengan demikian dilihat dari kata asalnya,
demokrasi mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Sekalipun sejelas itu arti
istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek
demokrasi itu dipahami dan dijalani secara berbeda-beda. Menurut konsep
demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan
rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Demos
menyiratkan makna diskriminatif atau bukan rakyat keseluruhan, tetapi hanya
populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal
mengontrol akses ke sumber–sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas
hak–hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
urusan publik atau pemerintahan.
Terdapat beberapa kategori definisi
demokrasi yang nampaknya dipengaruhi oleh pendekatan sejarah, yakni :
Ø Definisi
secara singkat, didefinisikan oleh Abraham Lincoln (1809-1865), demokrasi
sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
(Government of the people, by the people, for the people). Selain itu demokrasi
menurut bahasa Yunani adalah pemerintahan dari rakyat. Orang-orang Athena dan
Romawi kuno mendifinisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang muncul
sebagai reaksi terhadap pemudsatan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para
penguasa.
Ø Definisi
klasik, demokrasi sering dikemukakan dengan tipe-tipe pemerintahan yang lain,
seperti monarki, aristokrasi, oligarki, theokrasi dan kediktatoran.
Ø Definisi
modern, menurut Samuel P. Huntington (Bernard Lewis, 2002) mengemukakan bahwa
seseorang dapat menyebut sebuah negara itu demokrasi, jika negara tersebut
telah melaksanakan pergantian pemerintahan secara damai melalui pemilihan umum.
Negara dapat dikatakan sebagai negara demokrasi modern jika memenuhi
syarat-syarat sebagi berikut: jaminan terhadap hak-hak asasi manusia terhadap
setiap pribadi secara individu, berhadapan dengan negara dan penguasanya, dan
berhadapan dengan pribadi-pribadi lain, pemisahan kekuasaan di antara institusi-institusi
negara, kebebasan berpendapat, berbicara, pers, dan massmedia, kebebasan
beragama, hak yang sama untuk memberikan suara, dan pemerintahan yang baik.
Konsep
demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di
Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara abad ke 4 dan 5 sebelum
masehi (SM) sebagai sistem-sistem politik pada zaman Yunani Kuno, tepatnya di
Negara Kota (Polis) Athena (Suhelmi, 2001; Schmandt, 2002; Agustino, 2007).
Pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan
bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Di Yunani kuno, demokrasi
hanya berlaku untuk warga negara yang resmi sedangkan penduduk yang terdiri
dari budak, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak
demokrasi. Dalam pemahaman yunani sendiri, Aristoteles menyebut tiga
pemerintahan yang baik dan tiga pemerintahan yang buruk (Suhelmi, 2001; Schmandt,
2002; Agustino, 2007), yakni demokrasi termasuk pemerintahan orang banyak yang
berorientasi pada kelompoknya sendiri. Sedang pemerintahan orang banyak yang
baik disebut timokrasi.Gagasan dan kehidupan demokrasi mengalami pasang surut akibat
kehancuran Yunani dan Romawi serta kokohnya kekuasaan monarkhi absolut di Eropa
sampai dengan abad pertengahan, yang dalam sejarah Eropa disebut zaman
kegelapan (Dark Ages) yaitu kekuasaan absolut raja direstui oleh para pemimpin
gereja yang telah memasung kebebasan berfikir manusia. Walaupunbegitu, ada sesuatu yang
penting yang menjadi tonggak baru berkenaan dengan demokrasi abad pertengahan,
yaitu lahirnya Magna Charta. Dari piagam tersebut, ada dua prinsip dasar:
Pertama, kekuasaan Raja harus dibatasi; Kedua, HAM lebih penting daripada
kedaulatan Raja. Ada dua peristiwa penting yang mendorong timbulnya kembali
demokrasi yang sempat tenggelam pada abad pertengahan, yaitu terjadinya Renainsance
dan Reformasi. Renainsanceadalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada
sastra dan budaya Yunani Kuno, dasarnya adalah kebebasan berpikir dan bertindak.
Rose Wilder Lane penulis buku “Islam and
Discovery of Freedom”(Bernard Lewis, 2002) menyebutkan, bahwa orang-orang
Eropa banyak mempelajari nilai dan pentingnya kebebasan dari kaum muslim. Islam
memperkenalkan konsep kebebasan kepada dunia dan khususnya ke Eropa. Sejak itu
cita-cita kuno demokrasi dan pertanggung jawaban pemerintahan, dikaji ulang dan
dikembangkan. Sedangkan Reformasi yang terjadi adalah revolusi agama yang
terjadi di Eropa Barat abad 16. Dari dua peristiwa penting di atas, Eropa
kemudian masuk ke dalam Aufklarung (AbadPemikiran) dan Rasionalisme yang
mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan
gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) yang pada gilirannya
kebebasan berpikir ini menimbulkan lahirnya pikiran tentang kebebasan politik.
Disampaikan
oleh De Tocquiville (Charmim, dkk, 2003) bahwa demokrasi memerlukan moral
menahan diri, tanpa kemampuan menahan diri, demokrasi akan berubah menjadi
democrazy yang melahirkan tirani. Gabriel Almond menyimpulkan tentang
keberhasilan demokrasi dalam kaitannya dengan kultur dan struktur sosial
politik, yaitu :
ü Kultur
demokrasi adalah kultur campuran,
ü Kultur
demokrasi bersumber pada kultur masyarakat secara umum,
ü Kultur
demokrasi senantiasa memerlukan dan berbasis masyarakat madani,
ü Seberapa
jauh masyarakat memegang kultur demokrasi sangat tergantung pada perilaku
pemerintahan dalam demokrasi.
Demokrasi berjalan dengan baik, bila
warga bersikap arif dan masing-masing mampu mengendalikan diri demi kepentingan
bersama yang lebih besar di bawah keteladanan pemerintahan demokrasi.
Sebaliknya, demokrasi masyarakat akan mendukung kehidupan demokrasi, bila
pemerintahan dapat memberikan keteladanan demokrasi. Pemerintahan demokrasi
tidak akan terbentuk di suatu negara jika kehidupan para elit negara tidak
memberikan keteladanan dan melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Untuk
mengembangkan pemerintahan demokrasi itu diperlukan nilai-nilai yang terdapat
dalam prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip umum demokrasi meliputi,
kebebasan, pluralism, paham individual, kesetaraan, dan keadilan (Supriatnoko,
2008).
Henry B. Mayo dalam An Introduction to Democratic
Theory (1960: 70), memberikan pengertian demokrasi, sebagai:
A democratic
political system is one in which public politicies are made on majority basis,
by representatives subject to effective popular control at periodic elections
which are conducted on the principle of political equality and under conditions
of political freedom.
Dari rumusan
tersebut memberikan sifat pemahaman umum terhadap suatu negara yang menganut
sistem demokrasi, yaitu:
- demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mempunyai elemen-elemen yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan;
- orang-orang yang memegang kekuasaan atas nama demokrasi dapat mengambil keputusan untuk menetapkan dan menegakkan hukum;
- kekuasaan untuk mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh dan dipertahankan melalui pemilihan umum yang bebas dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa.
Dari tiga sifat pemahaman umum tersebut, suatu negara
demokrasi mempunyai tiga pemahaman utama yang meliputi hakekat, proses dan
tujuan demokrasi (Huntington, 1995: 4). Huntington, melihat demokrasi dalam
tiga pendekatan umum yaitu: sumber wewenang bagi pemerintah; tujuan yang
dilayani oleh pemerintah; dan prosedur untuk membentuk pemerintahan.
Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa
kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik (Henry B. Mayo, 1960: 70). Dengan kata lain demokrasi adalah
sistem pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum untuk mengatur
kehidupan bersama berdasar aturan hukum yang berpihak pada rakyat banyak.
Demokrasi
adalah sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi ini
kemudian dibangun dan dikembangkan secara pesat sebagai suatu rangkaian
institusi dan praktek berpolitik yang telah sejak lama dilaksanakan untuk
merespon perkembangan budaya, dan berbagai tantangan sosial dan lingkungan di
masing-masing negara. Ketika demokrasi Barat mulai ditransplantasikan ke dalam
negara-negara non-Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah
dan budaya yang sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam
penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda, (Wignjosoebroto,
2002: 485-493).
Lembaga perwakilan pada negara demokrasi modern sangat penting dalam suatu
negara bangsa. Melalui lembaga perwakilan, persoalan-persoalan yang komplek
dihadapi masyarakat akan dapat diselesaikan. Dengan demikian lembaga perwakilan
berfungsi untuk menjembatani dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam praktek, demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda,
sehingga timbul masalah antara wakil(lembaga perwakilan) dan yang
diwakilinya(rakyat). Artinya, apa yang dilakukan oleh wakil rakyat dalam
lembaga perwakilan tidak selamanya dapat diterima oleh rakyat.keadaan ini
sering muncul menjadi permasalahan dalam praktek demokrasi, berkaitan dengan
pilihan akan melaksanakan demokrasi elitis atau demokrasi partisipatoris.
Ø Konsep
Demokrasi Elitis
Demokrasi elitis, melihat bahwa rakyat sebagai orang
yang tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik, karena
rakyat dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang kompleks dalam masalahmasalah pemerintahan. Selain itu rakyat lebih baik
apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan yang merusak
budaya, masyarakat dan kebebasan (Walker, 1987: 3). Rakyat dianggap sudah cukup
berperan dalam kehidupan negara melalui penyelenggaraan pemilihan umum yang
dilakukan secara periodik dalam negara. Melalui pemilihan umum, rakyat sudah
melakukan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Dalam demokrasi elitis, peran rakyat digantikan oleh
sekelompok elit politik dalam melaksanakan pemerintahan. Setelah dilakukannya
pemilihan umum, maka proses bernegara dalam pengambilan keputusan-keputusan
publik, sepenuhnya diwakili oleh lembaga perwakilan. Lembaga
perwakilan akan menjalankan tugas dan fungsinya secara bebas tanpa dibayangi
oleh kontrol dan protes dari rakyatnya. Di bawah sebuah pemerintahan perwakilan
ini, warga negara sering menyerahkan kekuasaan yang sangat besar yang dapat
digunakan sesukanya atas keputusan-keputusan yang luar biasa penting. Inilah
sisi gelap dari demokrasi perwakilan, walaupun diakui juga ada
keuntungan-keuntungannya (Dahl, 2001: 157). Demokrasi elitis adalah demokrasi
yang semu, hanya diperankan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat
melalui justifikasi pemilihan umum.
Ø Konsep
Demokrasi Partisipatoris
Demokrasi partisipatoris, menuntut peran aktif
berbagai komponen demokrasi secara keseluruhan. Komponen demokrasi adalah
organ-organ kelembagaan, kekuatan-kekuatan masyarakat dan kekuatan-kekuatan
individual yang akan saling menunjang dan melengkapi dalam berjalannya sistem
demokrasi.
Dalam demokrasi partisipatoris, akan memberikan
peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi secara effektif dalam
proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik. Prinsip dalam
demokrasi partisipatoris adalah persamaan bagi seluruh warga negara dewasa
untuk ikut menentukan agenda dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda
yang telah diputuskan secara bersama. Hal ini dilakukan agar perjalanan
kehidupan bernegara mendapatkan pemahaman yang jernih pada sasaran yang tepat
dalam rangka terwujudnya pemerintahan yang baik (Dahl, 2001: 157).
Demokrasi partisipatoris pada hakekatnya adalah
demokrasi yang secara sadar akan memberdayakan rakyat dalam rangka mewujudkan
pemerintahan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan bersama rakyat’.
Adanya pemberdayaan rakyat yang akan berupa partisipasi langsung ini penting,
karena sistem perwakilan rakyat melalui lembaga perwakilan tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in
presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan
keterwakilan gagasan atau aspirasi (Dahl, 2001: 168-169).
Menurut Samuel P Huntington, partisipasi masyarakat
dalam demokrasi partisipatoris dapat terjadi ketika pembangunan sosial ekonomi
berhasil mencapai tingkat pemerataan yang lebih besar, sehingga melahirkan
stabilitas politik dan pada gilirannya memunculkan partisipasi politik yang
demokratis. Partisipasi ini dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu partisipasi
mobilisasi dan partisipasi otonom. Landasan sebagai pijakan dari partisipasi
ini dapat berupa kelas, kelompok, lingkungan, partai dan golongan (faction) (Samuel
P. Hutington dan Joah Nelson, 1994: 9-27). Pada akhirnya, pelibatan rakyat
secara aktif dalam proses penentuan agenda, pengambilan keputusan dan kontrol
terhadap kebijakan yang telah diambil secara bersama, maka rakyat akan
memberikan dukungan dengan penuh antusias dan dapat merasakan bahwa mereka
mempunyai tingkat ‘ownership’ yang tinggi dalam bernegara (Dahl, 2001:
6).
Dari pemahaman konsep demokrasi partisipatoris
tersebut, keberadaan lembaga perwakilan merupakan salah satu komponen dalam
demokrasi. Dinamika demokrasi modern dalam ‘nation state’, selain
lembaga perwakilan yang diisi melalui pemilihan umum, masih terdapat elemen
demokrasi lainnya yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Di sinilah arti pentingnya, interest
group, presure group, tokoh masyarakat, pers dan partai politik, ikut ambil
bagian dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kekuatan-kekuatan politik ini
merupakan kekuatan infra struktur politik yang perlu diberikan tempat secara
proposional dalam demokrasi partisipatoris. Peran dari elemen-elemen masyarakat
ini sangat diperlukan dalam rangka menciptakan demokrasi partisipatoris.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, termasuk bidang pembentukan
undang-undang, telah menjadi issue penting dalam konteks global (Craig dan
Mayo, 1995: 1).
v Konsep
Partisipasi Demokrasi
Munculnya konsep partisipasi dalam sistem
demokrasi sehingga melahirkan ‘participatory democracy’, berkaitan
dengan adanya gerakan ‘New Left’ sebagai pengaruh dari ‘legitimation
crisis’ pada tahun 1960-an. Gerakan ‘New Left’ yang memunculkan
demokrasi partisipatoris, adalah ‘the main counter-models on the left to the
legal democracy’. Legal democracy bertumpu pada premis ‘pluralist
theory of politics’ yang mengacu kepada teori ‘overloaded government’,
sedangkan demokrasi partisipatoris bertumpu pada premis ‘Marxist’ yang
mengacu kepada teori ‘legitimation crisis’ (David Held, 241-264).
Gerakan dalam upaya memberdayakan masyarakat untuk
turut serta dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan telah merambah ke
berbagai negara, termasuk Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Oleh karena
itu, wacana tentang partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
pemerintahan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses berdemokrasi di
Indonesia.
Huntington memberikan definisi ‘partisipasi politik’,
sebagai “kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara dengan tujuan mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi dapat secara spontan,
secara kesinambungan atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal
atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”
Dari definisi partisipasi politik tersebut, terlihat
bahwa substansi dari partisipasi adalah kegiatan untuk mempengaruhi keputusan
pemerintah, tanpa melihat bentuk, sifat dan hasil dari partisipasi yang
dilakukannya. Dalam definisi tersebut terdapat empat hal pokok,
yaitu: (Huntington dan Nelson, 1994: 6-8) partisipasi, adalah mencakup
‘kegiatan-kegiatan’, tidak memasukkan di dalamnya yang berupa ‘sikap-sikap’
terhadap orientasi politik; partisipasi, adalah kegiatan politik warga negara
perorangan dalam peranannya sebagai warga negara biasa; artinya, bukan kegiatan
dari orang-orang yang memang berkecimpung dalam profesi politik atau
pemerintahan; partisipasi, adalah hanya
merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah;
partisipasi mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi pemerintah, tanpa mempedulikan apakah kegiatan itu
benar-benar mempunyai dampak untuk itu atau tidak.
Dari definisi partisipasi politik yang di dalamnya
mengandung empat hal pokok tersebut, diambil pemahaman bahwa gerakan
memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan pemerintahan, pada dasarnya berpangkal pada adanya desirability
dari masyarakat untuk mewujudkan self-government dalam demokrasi
partisipatoris (William N. Nelson, 1980: 51). Setidaknya terdapat lima penyebab
pokok, yang memberikan dorongan terhadap keinginan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pemerintahan, yaitu modernisasi;
perubahan-perubahan struktur kelas sosial; pengaruh kaum intelektual dan
komunikasi massa modern; konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik;
dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan (Almond, 2001: 45-46).
Penyebab dari keterlibatan masyarakat untuk
menyalurkan desirability dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut,
berangkat dari suatu asumsi bahwa yang menjadi dasar demokrasi dan partisipasi
adalah dirinya sendiri yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya
(Peter L. Barger, dalam Surbakti, 1999: 140). Dengan asumsi demikian, rakyat
melakukan partisipasi yang dilakukan dalam berbagai bentuk partisipasi politik
yang dapat berupa konvensional maupun non-konvensional.
Dalam kaitan partisipasi dalam proses politik,
terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi
seseorang, yaitu kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem
politik). Kesadaran politik, adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai
warga negara yang dapat berupa pengetahuan seseorang tentang lingkungan
masyarakat dan politik, serta minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan
masyarakat dan politik tempat ia hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap
dan kepercayaan kepada pemerintah, ialah penilaian sseorang terhadap
pemerintah, apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi
atau tidak (Surbakti, 1999: 144).
Berkaitan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tinggi dan rendahnya partisipasi seseorang dalam melihat suatu
persoalan dalam lingkungannya, dikemukakan adanya empat tipe partisipasi,
yaitu: (Jeffry M Paige, dalam Surbakti, 1999: 144)
·
apabila seseorang memiliki kesadaran
politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik
cenderung aktif;
·
apabila seseorang tingkat kesadaran
politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka partisipasi politik
cenderung pasif-tertekan (apatis);
·
apabila kesadaran politik tinggi
tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, maka akan melahirkan
militan radikal; dan
·
apabila kesadaran politik sangat
rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan
partisipasi yang tidak aktif (pasif).
Dari berbagai hal yang berkaitan dengan partisipasi di
atas, terlihat bahwa problematika partisipasi dalam kehidupan berdemokrasi
menjadi suatu masalah yang dapat diperdebatkan. Tuntutan adanya partisipasi
dalam suatu negara demokrasi pada satu sisi merupakan suatu keniscayaan, namun
di sisi yang lain dipertanyakan apakah partisipasi itu dapat dilakukan dalam
kerangka kebebasan dan persamaan warga negara dalam penyelenggaraan suatu
negara. Permasalahan tersebut kemudian menuntun pada pertanyaan, apakah
pemerintahan yang demokratis itu tergantung pada ada dan tidaknya partisipasi
dari masyarakat dalam membuat keputusan pemerintahan. Jika adanya partisipasi
ini menjadi suatu ukuran dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis,
maka ukuran apakah untuk menentukan bahwa suatu partisipasi masyarakat itu
merupakan keinginan bersama dalam masyarakat.
Partisipasi masyarakat hakekatnya merupakan persoalan
nilai-nilai yang bertalian dengan morality suatu masyarakat. Ketika
permasalahan partisipasi terkait dengan permasalahan moral, maka akan sulit
menentukan nilai-nilai moral dari masyarakat yang ukurannya niscaya berbeda-beda.
Dengan demikian, dalam demokrasi bergantung pada penyerapan nilai-nilai moral
yang baik di dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
·
Istilah demokrasi berasal dari bahasa
Yunani “demokratia” yang berarti “kekuasaan dari rakyat” (rule of people), yang dirangkai dari dua
kata, yaitu “demos” dan “kratos” atau “cratein”. Menurut artinya secara harfiah
yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu demos yang berarti “rakyat” dan kratos
atau cratein yang berarti “kekuasaan”.
·
Demokrasi berjalan dengan baik, bila
warga bersikap arif dan masing-masing mampu mengendalikan diri demi kepentingan
bersama yang lebih besar di bawah keteladanan pemerintahan demokrasi.
Sebaliknya, demokrasi masyarakat akan mendukung kehidupan demokrasi, bila
pemerintahan dapat memberikan keteladanan demokrasi.
·
Untuk mengembangkan pemerintahan
demokrasi itu diperlukan nilai-nilai yang terdapat dalam prinsip-prinsip
demokrasi. Prinsip-prinsip umum demokrasi meliputi, kebebasan, pluralism, paham
individual, kesetaraan, dan keadilan.
B.
SARAN
Dari berbagai penjelasan yang ada didalam makalah ini kiranya
dapat ditegaskan bahwa demokrasi menekan adanya prinsip-prinsip persamaan dan
kebebasan yang dilandasi oleh norma atau aturan yang berlaku.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa demokrasi
merupakan konsep yang memiliki makna dan ciri-ciri dasar yang bersifat
universal dan berlaku diseluruh penjuru dunia ini. Negara yang menganut
demokrasi rakyatnya harus tau bagaimana cara berdemokrasi dengan bijak sehingga
kebebasan dalam berdemokrasi itu bisa digunakan secara bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Hergian
Kevin Negara Hukum dan Demokrasi. (online). Tersusun di : http://kevinunidha.blogspot.com/2013/06/this-is-summry-all-about-democration.html
Kusnu
Goesniadhie S. Demokrasi dalam konsep dan praktek. (online). Tesusun di : http://kgsc.wordpress.com/demokrasi-dalam-konsep-dan-praktek/ diakses pada 15 aseptember 2014
Saffie
(2013) Tugas makalah tentang konsep demokrasi. (online). Tersusun di : http://saffie-myblog.blogspot.com/2013/04/tugas-makalah-tentang-konsep-demokrasi_4138.html?view=sidebar di akses pada 15
september 2014
Sarbaini
dan M. Elmy. 2013. Negara Hukum dan Demokrasi. Banjarmasin: P3AI Universitas
Lambung Mangkurat.
Sugianto
(2012) contoh makalah konsep demokrasi. (online). Tersusun di : http://sattoksugianto.blogspot.com/2012/11/contoh-makalah-konsep-demokrasi-dan.html
di
akses pada 15 september 2014
Wuryan,
Sri dan Syaifullah. 2006. Ilmu
kewarganegaraan. Bandung: Laboraturiom pendidikan kewarganegaraan universitas
pendidikan Indonesia
Asswrwb. Umpat baelang. Salam kenal dari urang Angkinang, Kandangan, HSS.
BalasHapuswaalaikum salam. inggih. salam kenal jua pa.
Hapus