Sabtu, 14 Februari 2015

Masyarakat Hukum Adat (Mata Kuliah Hukum Adat)



MAKALAH
HUKUM ADAT
( ABKA2306 )
MASYARAKAT HUKUM ADAT

Dosen Pembimbing :
Dra Rabiatul Adawiah, M.Si
 







Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
1.      EKA HERLINA                    (A1A213072)
2.      FARIDAH                            (A1A213204)
3.      HAIRINA WASLIAH           (A1A213024)
4.      MUHAMMAD ROIM           (A1A213065)
5.      NUR AMALIA                     (A1A213015)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN Kn
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dan tak lupa shalawat serta salam kami curahkan kepada nabi besar Muhammad SAW karena atas perjuangannya lah kita dapat merasakan nikmatnya iman dan islam sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah hukum adat yang dibimbing oleh Dra Rabiatul Adawiah, M.Si.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu demi kelancaran tugas ini. Makalah yang kami buat tentu jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik serta saran sangat kami harapkan untuk memperbaiki makalah-makalah yang akan dibuat kedepannya.
Tak banyak yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan kali ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan semoga makalah yang kami buat dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan bagi siapa saja umumnya.
Wa’alaikumussalam warah matullahi wa barokatuh




Banjarmasin, 16 September 2014


Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR     ........................................................................................... i
DAFTAR ISI                   .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang   .......................................................................................... 1
B.    Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.    Tujuan Penulisan...........................................................................................                            1
D.    Manfaat Penulisan........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN 3
A.    Pengertian Mayarakat Hukum Adat............................................................. 3
B.    Bentuk-Bentuk Masyarakat Hukum Adat.................................................... 7
BAB III PENUTUP         ......................................................................................... 15
A.    Kesimpulan         ......................................................................................... 15
B.    Saran                   ......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA      ......................................................................................... 16








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di era yang serba canggih sekarang ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di indonesia dan negara-negara asia lainnya seperti jepang sebagai negara ideologi yaitu adanya sumber dimana peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis dan tumbuh berkembang dan di pertahankan dengan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat tersebut dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam langkah.
            Latar belakang dalam penyusunan makalah ini adalah pertama-tama adalah untuk memahami istilahdan penerapan hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat khususnya masyarakat indonesia yang masih sangat kuat dan eksistensinya tertanam dan hingga saat ini menjadi pedoman yang tak bisa di pisahkan dengan hukum yang berlaku sekarang ini.
B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.     Apakah pengertian Masyarakat Hukum Adat ?
2.     Apa saja be ntuk-bentuk masyarakat hukum adat ?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui apa pengertian masyarakat hukum adat.
2.     Untuk mengetahui dan mengenal apa saja bentuk-bentuk masyarakat hukum adat.
D.    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan :
1.     Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengatahuan tentang masyarakat hukum adat dalam mata kuliah hukum adat.
2.     Dapat dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan.
3.     Memberikan informasi baik bagi penulis maupun pembaca.





















BAB II
MASYARAKAT ADAT

A.    Pengertian Masyarakat Hukum Adat
 “Adat”, berasal dari bahasa Arab (Adah) yang berarti “cara atau kebiasaan”. Adat atau kebiasaan adalah tingkah laku yang terus-menerus.
Masyarakat adat, menurut definisi yang diberikan oleh UN Economic and Sosial Council (dalam Keraf, 2010: 361) “masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka”.
Adapun Masyarakat Adat Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara memberikan definisi:
Masyarakat adat sebagai komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas”. Masyarakat ini masih memegang nilai-nilai tradisi dalam sistem kehidupannya.
 Sedangkan pandangan dasar dari kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 menyatakan bahwa “masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat”. Jadi, dimana ada masyarakat, disana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan umum di seluruh dunia. Sebagaimana yang dikatakan Cicero lebih kurang 2000 tahun yang lalu, dalam bahasa Latin yaitu : Ubi societas, ibi ius. Sehingga, secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh hukum adat, keturunan dan tempat tinggalnya. ILO (dalam Keraf, 2010:361) mengkategorikan masyarakat adat sebagai:
  1. Suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus.
  2. Suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan–terlepas dari apapun status hukum mereka–sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan teritoriyang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya negara bangsa modern.
Selanjutnya Keraf (2010:362) menyebutkan beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dari kelompok masyarakat lain, yaitu:
  1. Mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian.
  2. Mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut.
  3. Mereka mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah.
  4. Mereka mempunyai bahasa sendiri
  5. Biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya.
Van Vollenhoven di dalam orasinya tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan:
“bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”.
Kemudian menurut Soepomo sendiri dikemukakan bahwa:
“penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkut”. Jadi, masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu adalah “persekutuan hukum adat” (adatrechts gemeenschapen).
Tiap-tiap anggota kelompok pada umumnya berkeyakinan bahwa tindakan seseorang anggota kelompok tidak hanya akan membawa akibat bagi dirinya saja melainkan akan dirasakan oleh anggota-anggota sekelompok lainnya, dan tak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan membubarkan kelompok dimaksud. Tiap-tiap kelompok itu hidup dalam suasana ketertiban tertentu. Kelompok itu sebagai satu kesatuan dan mempunyai pimpinannya sendiri serta mempunyai pimpinannya tersendiri serta mempunyai kekayaan sendiri. Disamping pimpinan dan kekayaan (benda berwujud dan benda tidak berwujud), tiap-tiap kelompok mempunyai wilayah tertentu diatas dan didalam batas-batas wilayah itu kelompok yang bersangkutan menjalani kehidupannya. Kelompok ini dinamakan persekutuan hukum atau masyarakat hukum. Jadi, persekutuan hukum atau masyarakat hukum itu adalah “sekelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam suatu susunan yang teratur, yang bersifat abadi dan memiliki pimpinan serta kekayaan sendiri baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami atau hidup di atas wilayah tertentu”.
 Menurut Soerjono Soekanto merumuskan masyarakat hukum adat sebagai “kelompok-kelompok teratur yang dan kekal serta memiliki pengurus atau pemerintahan sendiri dan kekayaan sendiri, baik benda-benda materil maupun immateril”. Kemudian beliau menegaskan pula bahwa Prof. Dr. Mr. Hazairin (1970:44) memberikan suatu uraian mengenai masyarakat hukum adat yang menyatakan bahwa : “masyarakat-masyarakat hukum adat seperti desa di jawa, marga di sumatra selatan, nagari di minangkabau, kuria di tapanuli, wanua di sulawesi selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.... bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas  pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil dari hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotannya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri kommunal, dimana gotong-royong, tolong-menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar”. Jadi, kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotannya, dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 31 adalah:
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,
dan hukum.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, masyarakat hukum adat merupakan sekumpulan orang atau masyarakat yang hidup bersama dan menetap pada suatu daerah tertentu yang di dalamnya mereka mempunyai aturan (hukum) untuk mengatur anggota-anggotanya.
Masyarakat hukum adat juga mempunyai beberapa istilah yaitu sebagai berikut :
ü  Indegenous people,
ü  Masyarakatadat,
ü  Masyarakattradisional
ü  Masyarakatterasing
ü  Masyarakatlokaldsb…
Masyarakat hukum adat timbul jauh sebelum ada kesatuan politik negara (state) baik kerajaan maupun penjajah belanda sekelompok individu sudah bersekutu yang disebut community, yaitu kesatuan hidup manusia, yang menempati wilayah nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat suatu rasa identitas komuniti.

B.    Bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat
Bentuk dan susunan hukum adat masyarakat hukum atau persekutuan hukum adat pada dasarnya secara teoritis dapat kita bedakan adanya dua faktor utama yang menjadi dasar ikatan yang mengikat anggota-anggota persekutuan, yaitu :
a.      Faktor Genealogis (keturunan)
Yaitu faktor yang mendasarkan kepada pertalian darah atau pertalian sesuatu keturunan.
Masyarakat atau persatuan hukum genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana anggotannya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Jadi, persatuan hukum atau masyarakat hukum genealogis menitik beratkan pada faktor keturunan atau pertalian darah.
Mengingat setiap orang selalu diturunkan melalui dua orang yakni laki-laki dan perempuan, maka persekutuan genealogis ini dibedakan menjadi :
1)      Masyarakat Unilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari salah satu pihak saja yaitu baik dari pihak laki-laki saja (ayah) ataupun dari pihak wanita saja (ibu).
Ciri-ciri masyarakatnya, yaitu :
Ø Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja.
Ø Masyarakatnya terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang disebut clan dan sub clan.
Ø Sistem perkawinan yang dilaksanakan adalah sistem Exogamie.
Ø Tiap kelompok atau clan mempunyai harta pusaka yang tidak boleh dibagi-bagi.
Masyarakat hukum unilateral ini dapat dibedakan menjadi 2 macam dan 1 bentuk khusus, yaitu :
a)     Masyarakat Matrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja, terus menerus ke atas (vertikal) hingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka berasal dari seorang ibu asal. Yang terdapat pada masyarakat Minangkabau, Kerinci, dan Samendo.
b)     Masyarakat Patrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik garis keturunan dari pihak ayah saja terus ke atas (vertikal) sehingga berakhir pada suatu kepercayaan behwa mereka semua berasal  dari satu bapak asli. Yang terdapat pada masyarakat Batak, Bali, Nias dan Sumba.
c)     Masyarakat Dubbel Unilateral, yaitu masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu yang dilakukan bersama-sama berdasarkan hal-hal tertentu. Biasanya hal ini berhubungan dengan pewarisan. Yang terdapat pada masyarakat di pulau Timor.
2)      Masyarakat Bilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggota persekutuan menarik garis keturunan baik melalui ayah maupun ibu. Jadi gari sketurunan ditarik melalui Orang Tua (Parental). Masyarakat hukum yang tersusun secara parental bentuk perkawinannya bebas, artinya tidak terikat oleh keharusan Exogamie (perkawinan percampuran suku atau diluar suku)  atau Endogamie (perkawinan dalam lingkungan suku sendiri). Masyarakat bilateral (parental) terdiri dari :
a)       Masyarakat bilateral yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga (Gezins). Titik berat dari masyarakat itu terletak pada rumah tangga. Contoh : jawa dan madura (suku sunda, jawa), juga aceh dan dayak.
b)       Masyarakat bilateral yang bersendikan pada rumpun-rumpun (Trible). Titik berat dari masyarakat pada rumpun. Contoh : orang dayak (kalimantan) dimana dianjurkan untuk melakukan perkawinan Endogamie.
3)      Masyarakat Alternerend (berganti-ganti), adalah masyarakat dimana garis keturunan seseorang ditarik berganti-ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang dilaksanakan oleh orang tuanya. Berarti bila perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya dilakukan menurut hukum keibuan atau disebut kawin semendo, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunan dari ibu. Bila perkawinan dilakukan oleh salah seorang anak menurut hukum kebapaan atau juga disebut kawin jujur, maka anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menarik garis keturunan dari pihak ayah. Kalau perkawinan yang dilakukan dengan maksud supaya anak-anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, perkawinan tersebut dinamakan kawin Semendo Rajo-Rajo, maka anak-anak yang lahir menarik garis keturunan baik dari ayah maupun ibu. Bentuk kawin Semendo Rajo-Rajo terdapat di Sumatra Selatan (daerah Rejang). Jadi,Alternerend adalah bentuk yang tergantung dari apa dan cara perkawinan yang dilaksanakan.
Di Indonesia dahulu ada beberapa yang susunan masyarakatnya berdasarkan pertalian Genealogis belaka (yaitu orang Gayo di Aceh dan orang Pubian di Lampung). Tetapi lama kelamaan pada umumnya masyarakat atau persekutuan hukum dipengaruhi oleh ikatan territorial. Jadi, sekarang pada umumnya masyarakat atau persekutuan hukum Genealogis murni sudah tidak ada lagi.
b.     Faktor Territorial (wilayah)
Yaitu faktor yang mendasarkan keterkaitannya pada suatu daerah tertentu.
Persekutuan-persekutuan hukum territorial adalah di mana para warganya merasa terikat satu sama lainnya karena merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan di tempat atau wilayah (Grond Gebied) yang sama. Faktor wilayah (territorialle factors) sangatlah penting.
Persekutuan-persekutuan hukum territorial dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1)      Persekutuan Desa (Dorps Gemeenschap)
Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu kesatuan suatu tata- susunan, yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak diluar wilayah desa yang sebenarnya, yang lazim disebut teratah atau dukuh, tetapi yang juga tunduk pada pejabat kekuasaan desa dan, oleh sebab itu, baginya juga merupakan pusat kediaman. Jadi, persekutuan desa adalah segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman, yang di dalamnya terdiri dari tempat kediaman kecil yang meliputi perkampuangan (dukuh-dukuh) dan di mana pemimpin atau pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semua bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu. Contohnya : Desa di Jawa dan di Bali.
2)      Persekutuan Daerah atau Wilayah (Strek Gemeenschap)
Apabila dalam suatu daerah tertentu merupakan kesatuan beberapa tempat kediaman yang masing-masing mempunyai pimpinan sejenis, sendiri-sendiri dan sederajat (Desa) tetapi semuanya merupakan bagian dari daerah tersebut. Daerah- daerah tersebut mempunyai harta benda dan tanah ulayat dan menguasai hutan dan rimba diantara atau dikelilingi tanah-tanah yang ditanami dan tanah yang ditinggalkan penduduk desa tertentu.
Contoh :
a)   Kuria di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan –hutan di daerahnya.
b)   Marga di Sumatra Selatan dengan dusun-dusuncdi dalam daerahnya.
c)   Desa di Jawa, yang terdiri dari lembur-lembur yang mempunyai pimpinannya sendiri-sendiri. Kalau di Banten, desa itu terdiri dari kampung-kampung atau ampian yang dikepalai oleh Kokolot. Di Jawa Barat, kepala desa disebut Lurah, di Jawa Tengah dan di Jawa Timur disebut Kuwu atau bikil atau lurah.
3)      Perserikata Desa-Desa (Dorpenbond atau beberapa kampung)
Adalah gabungan dari beberapa persekutuan desa dimana mereka mengadakan permufakatan untuk melakukan kerja sama. Dimana untuk memelihara keperluan bersama itu diadakan suatu Badan Pengurus yang terdiri dari pengurus-pengurus desa tersebut.Contohnya : Subak di Bali dan Perserikatan Huta-Huta pada suku Batak.
Dari ketiga jenis persekutuan hukum territorial maka persekutuan desa-lah yang menjadi pusat pergaulan hidup sehari-hari. Desa yang sebagai badan hukum berdiri sendiri secara bulat atau sebagian badan persekutuan bawahan masuk dilingkungan suatu badan persekutuan daerah atasan atau yang mengadakan kerjasama dengan persekutuan hukum setingkat untuk memelihara kepentingan bersama yang tertentu.
c.      Persekutuan hukum Genealogis-Territorial
Yaitu kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.
Persekutuan yang bersifat genealogis territorial dapat dibedakan dalam 5 jenis, yaitu :
1)      Suatu daerah atau kampung didiami hanya oleh satu bagian Clan (golongan), tidak ada clan lain yang tinggal di daerah ini. Kampung yang berdekatan juga didiami hanya satu clan bagian saja. Contohnya, di pedalaman pulau-pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores.
2)      Di Tapanuli terdapat susunan masyarakat. Dalam suatu daerah tertentu (HUTA) semula didirikan oleh satu clan atau Marga tertentu saja. Kemudian kedalam huta tersebut ada marga lain yang yang datang kewilayah itu dan masuk menjadi warga badan persekutuan Huta di daerah itu.
3)      Marga yang semula mendiami daerah itu serta yang mendirikan Huta-Huta di daerah itu disebut marga asal, marga raja dan marga tanah, sedangkan marga yang kemudian masuk ke daerah itu disebut marga rakyat yang kedudukan nya tidak sama dengan marga asal. Antara marga ini ada hubungan perkawinan yang erat.
4)      Di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Terdapat satu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudianberpindahkepada clan lain yang masukkedaerahtersebutdanberhasilmerebutkekuasaanpemerintahdari clan yang asli. Kedua clan kemuddianberdamaidanbersama-samamerupakankesatuanbadanpersekutuandaerah. Kekuasaanpemerintahandipegang clan yang daaingkemudian, sedangkan yang aslitetapmenguasaitanah-tanah di daerahitusebagai WALI TANAH.
5)      Di beberapa NAGARI diMinangkabaudanbeberapa MARGA di Bengkulu. Di dalamsuatudaerah NAGARI golongan yang berkuasadangolongan yang menumpangtidakadaperbedaandanberkedudukansama, merupakansuatubadanpersekutuan.
6)      Seperti yang terdapatdalam NAGARI-NAGARI lain di MinangkabaudanDusun-dusunddidaerahRejang (BENGKULU). Disinidalamsuatu NAGARI atau DUSUN berdiambeberapa clan yang satudengan yang lain tidakbertalianfamilie. Seluruhdaerah NAGARI atauDusunmenjadidaerahbersamadarisemuabagian clan padabadan NAGARI atau DUSUN yang bersangkutan.
Selain ketiga macam bentuk-bentuk persekutuan hukum tersebut (Genealogis, Territorial, Genealogis-Territorial) dalam perekembangan peri kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dikenal pula adanya persekutuan hukum yang berbentuk :
1)     Masyarakat Adat Keagamaan
Merupakan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu. Dengan demikian terdapat kesatuan masyarakat adat keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen atau Katholik, dan ada yang sifatnya campuran dari agama-agama yang bersangkutan.
Contohnya :
        Di Aceh, terdapat masyarakat adat keagamaan yang Islami.
        Di Batak, terdapat masyarakat adat keagamaan yang didominasi Kristen Protestan.
        Di Bali, sebagian besar adalah masyarakat adat keagamaan Hindu.
2)     Masyarakat Adat di Perantauan
Masyarakat adat keagamaan Sadwirama merupakan suatu bentuk dari upaya bagi orang Bali di perantauan dalam upaya untuk mempertahankan eksistensi adat dan agama hindunya sebagaimana kebiasaan-kebiasaan kehidupan kemasyarakatan keagamaan di daerah asalnya yaitu pulau bali.
Dikalangan masyarakat Jawa di daerah-daerah transmigrasi atau didaerah perantauan tidak pernah terjadi kegiatan atau upaya seperti halnya masyarakat bali yaitu membentuk masyarakat adat tersendiri disamping desa yang resmi. Karena masyarakat adat jawa bersifat ketetanggaan sehingga mudah membaur dengan penduduk setempat.
Lain halnya dengan masyarakat melayu seperti orsng Aceh, Batak, Minangkabau, Lampung, Sumatra Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain sebagainya yang berada di daerah perentauan cenderung untuk membentuk suatu kumpulan kekerabatan dengan tujuan untuk membentuk suatu kekeluargaan seperti Rukun Kematian atau bahkan memebentuk suatu Kesatuan Masyarakat Adat yang berfungsi sebagai pengganti kerapatan adat di kampung asalnya.
3)     Masyarakat Adat lainnya
Selain danya kesatuan-kesatuan masyarakat adat di perantauan  yang anggotanya terikat satu sama lain karena berasal dari satu daerah yang sama di dalam kehidupan masyarakat kita dijumpai pula bentuk-bentuk kumpulan organisasi yang ikatan anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis yang tidak berdasarkan hukum adat yang sama atau daerah asal yang sama, melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa dan berbeda agamanya. Bentuk masyarakat ini kita temukan di berbagai instansi pemerintah maupun swasta diberbagai lapangan kehidupan sosial-ekonomi yang lain. kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat yang lama melainkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang baru atau katakanlah Hukum Adat Indonesia atau Hukum Adat Nasional.



PENUTUP
A.      Kesimpulan
Sejak awal di ciptakan telah dikarunia akal, pikiran,dan perilakuyang ketiga hal ini mendorong timbulnya”kebiasaan pribadi dan apabila kebias..aan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiasaan itu menjadi adat , jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Suatu hal yang rasional apabila interaksi sosial mengambil peran yang penting dalam kelompok masyarakat hukum adat.
B.      Saran
·       Agar buku referensi tentang hukum adat di perkarya dengan hal-hal yang memang relavan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat hukum adat.
·       Agar makalah seperti ini mendapat dukungan dan respon positif untuk menjadi bahan referensi untuk penyusunan makalah berikutnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Erwintri. (2012). Pengertian Masyarakat Adat.(Online). Tersedia di http://ewintribengkulu.blogspot.com/2012/11/pengertian-masyarakat-adat.html Diakses pada tanggal 10 September 2014

Khayatudin. (2012). Masyarakat Hukum Adat.(Online). Tersedia di http://khayatudin.blogspot.com/2012/12/masyarakat-hukum-adat_5.html Diakses pada tanggal 10 September 2014

Setiady, Tolib., S.H. M.Pd., M.H. (2009). Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alfabeta
Soekanto, Soekanto., Soleman B. Taneko. (2012). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wekaindriani. (2013). Masyarakat Hukum adat.(Online). Tersedia di http://wekaindriani.wordpress.com/hukum-pidana/masyarakat-hukum-adat/ Diakses pada tanggal 10 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar