MAKALAH
HUKUM ADAT
( ABKA2306 )
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Dosen Pembimbing :
Dra Rabiatul Adawiah, M.Si
Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
1.
EKA HERLINA (A1A213072)
2.
FARIDAH (A1A213204)
3.
HAIRINA WASLIAH (A1A213024)
4.
MUHAMMAD ROIM (A1A213065)
5.
NUR AMALIA (A1A213015)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN Kn
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dan tak lupa shalawat serta
salam kami curahkan kepada nabi besar Muhammad SAW karena atas perjuangannya
lah kita dapat merasakan nikmatnya iman dan islam sehingga dapat menyelesaikan
tugas makalah hukum adat yang dibimbing oleh Dra
Rabiatul Adawiah, M.Si.
Tak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu demi kelancaran tugas
ini. Makalah yang kami buat tentu jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
serta saran sangat kami harapkan untuk memperbaiki makalah-makalah yang akan
dibuat kedepannya.
Tak banyak yang dapat kami
sampaikan dalam kesempatan kali ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan
semoga makalah yang kami buat dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan
bagi siapa saja umumnya.
Wa’alaikumussalam warah matullahi wa
barokatuh
Banjarmasin,
16 September 2014
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 1
D. Manfaat Penulisan........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Mayarakat Hukum Adat............................................................. 3
B. Bentuk-Bentuk Masyarakat Hukum
Adat.................................................... 7
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 15
A. Kesimpulan ......................................................................................... 15
B. Saran ......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di era yang serba canggih sekarang ini terkadang
kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita kenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di indonesia dan negara-negara asia lainnya seperti jepang
sebagai negara ideologi yaitu adanya sumber dimana peraturan-peraturan hukum
yang tidak tertulis dan tumbuh berkembang dan di pertahankan dengan adat
istiadat yang dianut oleh masyarakat tersebut dijadikan sebagai acuan dan
pedoman dalam langkah.
Latar belakang dalam penyusunan
makalah ini adalah pertama-tama adalah untuk memahami istilahdan penerapan
hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat khususnya
masyarakat indonesia yang masih sangat kuat dan eksistensinya tertanam dan
hingga saat ini menjadi pedoman yang tak bisa di pisahkan dengan hukum yang
berlaku sekarang ini.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apakah
pengertian Masyarakat Hukum Adat ?
2. Apa
saja be ntuk-bentuk masyarakat hukum adat ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui apa pengertian masyarakat hukum adat.
2. Untuk
mengetahui dan mengenal apa saja bentuk-bentuk masyarakat hukum adat.
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini diharapkan :
1.
Menambah
wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengatahuan tentang masyarakat hukum
adat dalam mata kuliah hukum adat.
2.
Dapat
dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan.
3.
Memberikan
informasi baik bagi penulis maupun pembaca.
BAB II
MASYARAKAT ADAT
A.
Pengertian
Masyarakat Hukum Adat
“Adat”, berasal dari bahasa Arab (Adah) yang
berarti “cara atau kebiasaan”. Adat atau kebiasaan adalah tingkah laku yang
terus-menerus.
Masyarakat
adat, menurut definisi yang diberikan oleh UN Economic and Sosial Council
(dalam Keraf, 2010: 361) “masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan
bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum
masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari kelompok
masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka”.
Adapun
Masyarakat Adat Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara memberikan definisi:
Masyarakat adat sebagai komunitas yang memiliki asal-usul
leluhur secara turun temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta
memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas”.
Masyarakat ini masih memegang nilai-nilai tradisi dalam sistem kehidupannya.
Sedangkan pandangan dasar dari kongres I
Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 menyatakan bahwa “masyarakat adat adalah
komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di
atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam,
serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang
mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat”. Jadi, dimana ada masyarakat,
disana ada hukum (adat). Inilah suatu kenyataan umum di seluruh dunia.
Sebagaimana yang dikatakan Cicero lebih kurang 2000 tahun yang lalu, dalam
bahasa Latin yaitu : Ubi societas, ibi ius. Sehingga, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa masyarakat adat terikat oleh hukum adat, keturunan dan tempat tinggalnya.
ILO (dalam Keraf, 2010:361) mengkategorikan masyarakat adat sebagai:
- Suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus.
- Suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan–terlepas dari apapun status hukum mereka–sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan teritoriyang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya negara bangsa modern.
Selanjutnya
Keraf (2010:362) menyebutkan beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dari
kelompok masyarakat lain, yaitu:
- Mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian.
- Mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut.
- Mereka mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah.
- Mereka mempunyai bahasa sendiri
- Biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya.
Van
Vollenhoven di dalam orasinya tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan:
“bahwa untuk mengetahui hukum, maka
yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah
mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang yang
dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”.
Kemudian menurut Soepomo sendiri dikemukakan bahwa:
“penguraian tentang badan-badan
persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik, melainkan
harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkut”.
Jadi, masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu adalah
“persekutuan hukum adat” (adatrechts gemeenschapen).
Tiap-tiap
anggota kelompok pada umumnya berkeyakinan bahwa tindakan seseorang anggota kelompok
tidak hanya akan membawa akibat bagi dirinya saja melainkan akan dirasakan oleh
anggota-anggota sekelompok lainnya, dan tak ada seorang pun dari mereka yang
mempunyai pikiran akan kemungkinan membubarkan kelompok dimaksud. Tiap-tiap
kelompok itu hidup dalam suasana ketertiban tertentu. Kelompok itu sebagai satu
kesatuan dan mempunyai pimpinannya sendiri serta mempunyai pimpinannya
tersendiri serta mempunyai kekayaan sendiri. Disamping pimpinan dan kekayaan
(benda berwujud dan benda tidak berwujud), tiap-tiap kelompok mempunyai wilayah
tertentu diatas dan didalam batas-batas wilayah itu kelompok yang bersangkutan
menjalani kehidupannya. Kelompok ini dinamakan persekutuan hukum atau
masyarakat hukum. Jadi, persekutuan hukum atau masyarakat hukum itu adalah
“sekelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam suatu susunan
yang teratur, yang bersifat abadi dan memiliki pimpinan serta kekayaan sendiri
baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami atau hidup di atas wilayah
tertentu”.
Menurut Soerjono Soekanto
merumuskan masyarakat hukum adat sebagai “kelompok-kelompok teratur yang dan
kekal serta memiliki pengurus atau pemerintahan sendiri dan kekayaan sendiri,
baik benda-benda materil maupun immateril”. Kemudian beliau menegaskan pula bahwa
Prof. Dr. Mr. Hazairin (1970:44) memberikan suatu uraian mengenai masyarakat
hukum adat yang menyatakan bahwa : “masyarakat-masyarakat hukum adat seperti
desa di jawa, marga di sumatra selatan, nagari di minangkabau, kuria di
tapanuli, wanua di sulawesi selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan
yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.... bentuk hukum
kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem
pemerintahannya terutama berlandaskan atas
pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil dari hutan dan
hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan
kerajinan tangan. Semua anggotannya sama dalam hak dan kewajibannya.
Penghidupan mereka berciri kommunal, dimana gotong-royong, tolong-menolong,
serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar”. Jadi, kesatuan kemasyarakatan
yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotannya, dapat
dikatakan sebagai masyarakat hukum adat.
Masyarakat
hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 31 adalah:
Masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial,
dan hukum.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa, masyarakat
hukum adat merupakan sekumpulan orang atau masyarakat yang hidup bersama dan
menetap pada suatu daerah tertentu yang di dalamnya mereka mempunyai aturan
(hukum) untuk mengatur anggota-anggotanya.
Masyarakat hukum adat juga mempunyai beberapa istilah yaitu
sebagai berikut :
ü Indegenous
people,
ü Masyarakatadat,
ü Masyarakattradisional
ü Masyarakatterasing
ü Masyarakatlokaldsb…
Masyarakat hukum
adat timbul jauh sebelum ada kesatuan politik negara (state) baik kerajaan
maupun penjajah belanda sekelompok individu sudah bersekutu yang disebut
community, yaitu kesatuan hidup manusia, yang menempati wilayah nyata dan
berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat suatu rasa
identitas komuniti.
B.
Bentuk-bentuk
Masyarakat Hukum Adat
Bentuk dan susunan hukum adat masyarakat
hukum atau persekutuan hukum adat pada dasarnya secara teoritis dapat kita
bedakan adanya dua faktor utama yang menjadi dasar ikatan yang mengikat
anggota-anggota persekutuan, yaitu :
a. Faktor
Genealogis (keturunan)
Yaitu faktor yang mendasarkan kepada pertalian darah
atau pertalian sesuatu keturunan.
Masyarakat atau persatuan hukum genealogis adalah
suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana anggotannya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Jadi, persatuan
hukum atau masyarakat hukum genealogis menitik beratkan pada faktor keturunan
atau pertalian darah.
Mengingat setiap orang selalu diturunkan melalui dua
orang yakni laki-laki dan perempuan, maka persekutuan genealogis ini dibedakan
menjadi :
1) Masyarakat
Unilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik garis keturunan
hanya dari salah satu pihak saja yaitu baik dari pihak laki-laki saja (ayah)
ataupun dari pihak wanita saja (ibu).
Ciri-ciri
masyarakatnya, yaitu :
Ø Menarik
garis keturunan hanya dari satu pihak saja.
Ø Masyarakatnya
terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang disebut clan dan sub clan.
Ø Sistem
perkawinan yang dilaksanakan adalah sistem Exogamie.
Ø Tiap
kelompok atau clan mempunyai harta pusaka yang tidak boleh dibagi-bagi.
Masyarakat
hukum unilateral ini dapat dibedakan menjadi 2 macam dan 1 bentuk khusus, yaitu
:
a) Masyarakat
Matrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik garis keturunan
hanya dari pihak ibu saja, terus menerus ke atas (vertikal) hingga berakhir
pada suatu kepercayaan bahwa mereka berasal dari seorang ibu asal. Yang
terdapat pada masyarakat Minangkabau, Kerinci, dan Samendo.
b) Masyarakat
Patrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik garis keturunan
dari pihak ayah saja terus ke atas (vertikal) sehingga berakhir pada suatu
kepercayaan behwa mereka semua berasal
dari satu bapak asli. Yang terdapat pada masyarakat Batak, Bali, Nias
dan Sumba.
c) Masyarakat
Dubbel Unilateral, yaitu masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak
ayah dan pihak ibu yang dilakukan bersama-sama berdasarkan hal-hal tertentu. Biasanya
hal ini berhubungan dengan pewarisan. Yang terdapat pada masyarakat di pulau
Timor.
2) Masyarakat
Bilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggota persekutuan menarik garis
keturunan baik melalui ayah maupun ibu. Jadi gari sketurunan ditarik melalui
Orang Tua (Parental). Masyarakat hukum yang tersusun secara parental bentuk
perkawinannya bebas, artinya tidak terikat oleh keharusan Exogamie (perkawinan
percampuran suku atau diluar suku) atau
Endogamie (perkawinan dalam lingkungan suku sendiri). Masyarakat bilateral
(parental) terdiri dari :
a) Masyarakat
bilateral yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga (Gezins). Titik berat
dari masyarakat itu terletak pada rumah tangga. Contoh : jawa dan madura (suku
sunda, jawa), juga aceh dan dayak.
b) Masyarakat
bilateral yang bersendikan pada rumpun-rumpun (Trible). Titik berat dari
masyarakat pada rumpun. Contoh : orang dayak (kalimantan) dimana dianjurkan
untuk melakukan perkawinan Endogamie.
3) Masyarakat
Alternerend (berganti-ganti), adalah masyarakat dimana garis keturunan
seseorang ditarik berganti-ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang
dilaksanakan oleh orang tuanya. Berarti bila perkawinan yang dilakukan oleh
orang tuanya dilakukan menurut hukum
keibuan atau disebut kawin semendo,
maka anak-anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunan dari ibu.
Bila perkawinan dilakukan oleh salah seorang anak menurut hukum kebapaan atau juga disebut kawin jujur, maka anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu
menarik garis keturunan dari pihak ayah. Kalau perkawinan yang dilakukan dengan
maksud supaya anak-anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, perkawinan tersebut
dinamakan kawin Semendo Rajo-Rajo,
maka anak-anak yang lahir menarik garis keturunan baik dari ayah maupun ibu.
Bentuk kawin Semendo Rajo-Rajo terdapat di Sumatra Selatan (daerah Rejang).
Jadi,Alternerend adalah bentuk yang tergantung dari apa dan cara perkawinan
yang dilaksanakan.
Di
Indonesia dahulu ada beberapa yang susunan masyarakatnya berdasarkan pertalian
Genealogis belaka (yaitu orang Gayo di Aceh dan orang Pubian di Lampung).
Tetapi lama kelamaan pada umumnya masyarakat atau persekutuan hukum dipengaruhi
oleh ikatan territorial. Jadi, sekarang pada umumnya masyarakat atau
persekutuan hukum Genealogis murni sudah tidak ada lagi.
b. Faktor
Territorial (wilayah)
Yaitu faktor yang mendasarkan keterkaitannya pada
suatu daerah tertentu.
Persekutuan-persekutuan hukum territorial adalah di
mana para warganya merasa terikat satu sama lainnya karena merasa dilahirkan
dan menjalani kehidupan di tempat atau wilayah (Grond Gebied) yang sama. Faktor
wilayah (territorialle factors) sangatlah penting.
Persekutuan-persekutuan hukum territorial dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1) Persekutuan
Desa (Dorps Gemeenschap)
Masyarakat hukum desa
adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup bersama berazaskan pandangan
hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu
kesatuan suatu tata- susunan, yang tertentu, baik keluar maupun kedalam.
Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang
terletak diluar wilayah desa yang sebenarnya, yang lazim disebut teratah atau
dukuh, tetapi yang juga tunduk pada pejabat kekuasaan desa dan, oleh sebab itu,
baginya juga merupakan pusat kediaman. Jadi, persekutuan desa adalah segolongan
orang terikat pada suatu tempat kediaman, yang di dalamnya terdiri dari tempat
kediaman kecil yang meliputi perkampuangan (dukuh-dukuh) dan di mana pemimpin
atau pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semua bertempat tinggal di dalam
pusat kediaman itu. Contohnya : Desa di Jawa dan di Bali.
2) Persekutuan
Daerah atau Wilayah (Strek Gemeenschap)
Apabila dalam suatu
daerah tertentu merupakan kesatuan beberapa tempat kediaman yang masing-masing
mempunyai pimpinan sejenis, sendiri-sendiri dan sederajat (Desa) tetapi
semuanya merupakan bagian dari daerah tersebut. Daerah- daerah tersebut
mempunyai harta benda dan tanah ulayat dan menguasai hutan dan rimba diantara
atau dikelilingi tanah-tanah yang ditanami dan tanah yang ditinggalkan penduduk
desa tertentu.
Contoh :
a) Kuria
di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan –hutan di daerahnya.
b) Marga
di Sumatra Selatan dengan dusun-dusuncdi dalam daerahnya.
c) Desa
di Jawa, yang terdiri dari lembur-lembur yang mempunyai pimpinannya
sendiri-sendiri. Kalau di Banten, desa itu terdiri dari kampung-kampung atau
ampian yang dikepalai oleh Kokolot. Di Jawa Barat, kepala desa disebut Lurah,
di Jawa Tengah dan di Jawa Timur disebut Kuwu atau bikil atau lurah.
3) Perserikata
Desa-Desa (Dorpenbond atau beberapa kampung)
Adalah gabungan dari
beberapa persekutuan desa dimana mereka mengadakan permufakatan untuk melakukan
kerja sama. Dimana untuk memelihara keperluan bersama itu diadakan suatu Badan
Pengurus yang terdiri dari pengurus-pengurus desa tersebut.Contohnya : Subak di
Bali dan Perserikatan Huta-Huta pada suku Batak.
Dari
ketiga jenis persekutuan hukum territorial maka persekutuan desa-lah yang
menjadi pusat pergaulan hidup sehari-hari. Desa yang sebagai badan hukum
berdiri sendiri secara bulat atau sebagian badan persekutuan bawahan masuk
dilingkungan suatu badan persekutuan daerah atasan atau yang mengadakan
kerjasama dengan persekutuan hukum setingkat untuk memelihara kepentingan
bersama yang tertentu.
c. Persekutuan
hukum Genealogis-Territorial
Yaitu kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur
dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu
daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan
pertalian darah dan atau kekerabatan.
Persekutuan yang bersifat genealogis territorial
dapat dibedakan dalam 5 jenis, yaitu :
1) Suatu
daerah atau kampung didiami hanya oleh satu bagian Clan (golongan), tidak ada
clan lain yang tinggal di daerah ini. Kampung yang berdekatan juga didiami
hanya satu clan bagian saja. Contohnya, di pedalaman pulau-pulau Enggano, Buru,
Seram, dan Flores.
2) Di
Tapanuli terdapat susunan masyarakat. Dalam suatu daerah tertentu (HUTA) semula
didirikan oleh satu clan atau Marga tertentu saja. Kemudian kedalam huta
tersebut ada marga lain yang yang datang kewilayah itu dan masuk menjadi warga
badan persekutuan Huta di daerah itu.
3) Marga
yang semula mendiami daerah itu serta yang mendirikan Huta-Huta di daerah itu
disebut marga asal, marga raja dan marga tanah, sedangkan marga yang kemudian
masuk ke daerah itu disebut marga rakyat yang kedudukan nya tidak sama dengan
marga asal. Antara marga ini ada hubungan perkawinan yang erat.
4) Di
Sumba Tengah dan Sumba Timur. Terdapat satu clan yang mula-mula mendiami suatu
daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudianberpindahkepada clan lain yang
masukkedaerahtersebutdanberhasilmerebutkekuasaanpemerintahdari clan yang asli.
Kedua clan
kemuddianberdamaidanbersama-samamerupakankesatuanbadanpersekutuandaerah.
Kekuasaanpemerintahandipegang clan yang daaingkemudian, sedangkan yang
aslitetapmenguasaitanah-tanah di daerahitusebagai WALI TANAH.
5) Di beberapa NAGARI diMinangkabaudanbeberapa MARGA di
Bengkulu. Di dalamsuatudaerah NAGARI golongan yang berkuasadangolongan yang
menumpangtidakadaperbedaandanberkedudukansama, merupakansuatubadanpersekutuan.
6) Seperti yang terdapatdalam NAGARI-NAGARI lain di
MinangkabaudanDusun-dusunddidaerahRejang (BENGKULU). Disinidalamsuatu NAGARI
atau DUSUN berdiambeberapa clan yang satudengan yang lain
tidakbertalianfamilie. Seluruhdaerah NAGARI atauDusunmenjadidaerahbersamadarisemuabagian
clan padabadan NAGARI atau DUSUN yang bersangkutan.
Selain ketiga macam bentuk-bentuk
persekutuan hukum tersebut (Genealogis, Territorial, Genealogis-Territorial)
dalam perekembangan peri kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dikenal
pula adanya persekutuan hukum yang berbentuk :
1) Masyarakat
Adat Keagamaan
Merupakan
masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu.
Dengan demikian terdapat kesatuan masyarakat adat keagamaan menurut kepercayaan
lama, ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen atau
Katholik, dan ada yang sifatnya campuran dari agama-agama yang bersangkutan.
Contohnya
:
•
Di Aceh, terdapat masyarakat adat
keagamaan yang Islami.
•
Di Batak, terdapat masyarakat adat
keagamaan yang didominasi Kristen Protestan.
•
Di Bali, sebagian besar adalah
masyarakat adat keagamaan Hindu.
2) Masyarakat
Adat di Perantauan
Masyarakat
adat keagamaan Sadwirama merupakan suatu bentuk dari upaya bagi orang Bali di
perantauan dalam upaya untuk mempertahankan eksistensi adat dan agama hindunya
sebagaimana kebiasaan-kebiasaan kehidupan kemasyarakatan keagamaan di daerah
asalnya yaitu pulau bali.
Dikalangan
masyarakat Jawa di daerah-daerah transmigrasi atau didaerah perantauan tidak
pernah terjadi kegiatan atau upaya seperti halnya masyarakat bali yaitu
membentuk masyarakat adat tersendiri disamping desa yang resmi. Karena
masyarakat adat jawa bersifat ketetanggaan sehingga mudah membaur dengan
penduduk setempat.
Lain
halnya dengan masyarakat melayu seperti orsng Aceh, Batak, Minangkabau,
Lampung, Sumatra Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain sebagainya yang
berada di daerah perentauan cenderung untuk membentuk suatu kumpulan
kekerabatan dengan tujuan untuk membentuk suatu kekeluargaan seperti Rukun
Kematian atau bahkan memebentuk suatu Kesatuan Masyarakat Adat yang berfungsi
sebagai pengganti kerapatan adat di kampung asalnya.
3) Masyarakat
Adat lainnya
Selain
danya kesatuan-kesatuan masyarakat adat di perantauan yang anggotanya terikat satu sama lain karena
berasal dari satu daerah yang sama di dalam kehidupan masyarakat kita dijumpai
pula bentuk-bentuk kumpulan organisasi yang ikatan anggotanya didasarkan pada
ikatan kekaryaan sejenis yang tidak berdasarkan hukum adat yang sama atau
daerah asal yang sama, melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri
dari berbagai suku bangsa dan berbeda agamanya. Bentuk masyarakat ini kita
temukan di berbagai instansi pemerintah maupun swasta diberbagai lapangan
kehidupan sosial-ekonomi yang lain. kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi
terikat pada hukum adat yang lama melainkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang
baru atau katakanlah Hukum Adat Indonesia atau Hukum Adat Nasional.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejak awal di ciptakan telah dikarunia akal,
pikiran,dan perilakuyang ketiga hal ini mendorong timbulnya”kebiasaan pribadi
dan apabila kebias..aan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi
kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiasaan itu menjadi adat , jadi
adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Suatu hal yang rasional apabila interaksi sosial mengambil peran yang penting
dalam kelompok masyarakat hukum adat.
B.
Saran
· Agar
buku referensi tentang hukum adat di perkarya dengan hal-hal yang memang
relavan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat hukum adat.
· Agar
makalah seperti ini mendapat dukungan dan respon positif untuk menjadi bahan
referensi untuk penyusunan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Erwintri.
(2012). Pengertian Masyarakat Adat.(Online).
Tersedia di http://ewintribengkulu.blogspot.com/2012/11/pengertian-masyarakat-adat.html
Diakses pada tanggal 10 September 2014
Khayatudin.
(2012). Masyarakat Hukum Adat.(Online).
Tersedia di http://khayatudin.blogspot.com/2012/12/masyarakat-hukum-adat_5.html
Diakses pada tanggal 10 September
2014
Setiady, Tolib., S.H. M.Pd., M.H.
(2009). Intisari Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Alfabeta
Soekanto, Soekanto., Soleman B. Taneko.
(2012). Hukum Adat Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wekaindriani.
(2013). Masyarakat Hukum adat.(Online).
Tersedia di http://wekaindriani.wordpress.com/hukum-pidana/masyarakat-hukum-adat/
Diakses pada tanggal 10 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar