Senin, 29 September 2014

makalah pengantar politik Indonesia tentang Kekuasaan



KEKUASAAN
BAB 1
PENDAHULAAN
A. Latar  Belakang Masalah
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai tujuan itu. Maksudnya seseorang mempunyai kemampuan mempengaruhi tingkah laku orang lain atau sekelompok orang berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma atau kekuasaam fisik yang dimiliki.
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo menuliskan bahwa:”Menurut Robert M.   Mac Iver, “Kekuasaan sosial adalah kemapuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. “Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (Relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the ruler and the ruled), satu pihak yang memberi perintah dan pihak lain yang mematuhi perintah.”
Diantara banyak bentuk kekuasaan, ada satu bentuk kekuasaan yang sangat penting, yaitu kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun dengan akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri.
Diantara konsep politik yang banyak dibahas adalah kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik khususnya. Pada suatu ketika politik (politics) dianggap identik dengan kekuasaan, dan kekuasaan dianggap sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan, antara lain membagi sumber-sumber diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam makalah ini kelompok II akan membahas tentang “Kekuasaan.”


A. Rumusan Masalah
1.     Mengapa seorang pelaku mempunyai kekuasaan?
2.     Apa arti kekuasaan itu sendiri?
3.     Apa sumber dari kekuasaan?


B.  Tujuan
1.     Untuk mengetahui definisi kekuasaan menurut beberapa ahli
2.     Untuk mengetahui apa saja sumber kekuasaan itu
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kekuasaan
Telah muncul banyak definisi beberapa ahli, seperti W.Connoly (1983) dan S.Lukes (1947) menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertentangkan (a contesed concept) yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu consensus. Perumusan yang umumnya dikenal bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai tujuan itu. Dalam hal ini pelaku bisa berupa seorang, sekelompok orang, atau suatu kolektivitas. “Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (Relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the ruler and the ruled), satu pihak yang memberi perintah dan pihak lain yang mematuhi perintah.”

B.  Definisi Kekuasaan Menurut Beberapa Ahli
1.     Max Weber
Dalam bukunya Wirtschaft und Gessellshaft (1992) : kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.
2.     Harold D.lasswell dan Abraham Kaplan
Yang definisinya sudah menjadi rumusan klasik menyebutkan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama.
3.     Barbara Goodwin (2003)
Seorang ahli kontemporer, mendefinisikan bahwa kekuasaan adlah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak degan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilinatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Biasanya kekuasaan diselenggarakan (exercise of power ) melalui isarat yang jelas. Ini sering dinamakan kekuasaan manifest ( manifest pawer). Namun kadang-kadang isyarat itu tidak ada, misalnya dalam keadaan yang oleh Carl Friedrich dinamakan the rule of anticipated reactions. Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang dianttisipasikan jika keingainan A tidak dilakukan oleh B. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan implisit ( implicit power ). Suatu contoh dari kekuasaan manifes ialah jika seseorang polisi menghentikan seseorang pengendara motor karena melanggar peraturan lalu lintas. Contoh dari kekuasaan implisit ialah seorang anak sekolah membatalkan rencana untuk main bola dan memutuskan untuk membuuat pekerjaan rumahnya, karena takut akan dimarahi bapaknya.

C.  Macam-Macam Cara Untuk Menyelenggarakan Kekuasaan
a.      Dengan cara kekerasan fisik (force).
b.     Kekuasaan dapat juga diselenggarakan lewat koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi.
c.      Persuasion
Yaitu proses meyakinkan, beragumentasi atau menunjuk pada pendapat seorang ahli.
d.     Memberi ganjaran atau intensif, imbalan atau kompensasi
Suatu contoh dari pemberian imbalan ialah pemerintah yang berupaya untuk mengatasi masalah sampah dapat melakukan sanksi negatif dengan mendenda tiap pelanggar. Akan tetapi karena pengawas terbatas mungkin pemerintah cenderung memberikan sanksi positif misalnya, berupa hadiah keapda Rukun Tetangga yang paling bersih. Kadang hal ini dinamakan sanksi positif.

D. Sumber Kekuasaan
Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan misalnya seorang komandan terhadap anak buahnya atau seorang majikan terhadap pegawainya. Sumber kekuasaan dapat juga pula berupa kekayaan. Misal seorang pengusaha kaya mempunyai kekuasaan atas seorang politikus atau seeorang bawahan yang mempunyai utang yang belum dibayar kembali. Kekuasaan dapat pula bersumber pada kepercayaan atau agama. Dibanyak tempat alim ulama mempunyai kekuasaan terhadap  umatnya, sehingga mareka diaanggap sebagai pemimpin informal yang perlu diperhitungkan dalam proses pembuatan keputusan ditempat itu.
            Kita perlu membedakan dua istilah menyangkut konsep kekuasaan :

1)     Cakupan Kekuasaan ( scoope of power )
Menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Misalnya, seorang direktur perusahaan mempunbyai kekuasaan untuk memecat seorang karyawan (asal sessuai dengan ketentuan-ketntuan yang berlaku), akan tetapi tidak mempunyai kekuasan terhadap karyawan diluar hubungan kerja ini.
2)     Wilayah kekuasan ( domain of power )
Menjawab pertanyaan siapa-siapa saja yang dikuasai oleh orang atau kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelaku, kelompok organisasi atau kolektivitas yang kena sasaran. Misalnya seorang direktur perusahaan mempunyai kekuasaan atas semua karyawan dalam perusahaan itu,, baik dipusat, maupun yang dicabang- cabang.

v Talcott Parsons
      Seorang sosiolog terkenal Talcoot Parsons, yang cendrung melihat kekuasaan sebagai senjata ynag ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan jalan membuat keputusan-keputusan yang mengikat didukung dengan sanksi negatif.
      Dalam perumusan Talcott Parsons yang diterjemahkan secara bebas, mengatakan :
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.
      Jadi, Parsons melihat segi positif dari kekuasan jika dihubungkan dengan authority dan kemungkinan-kemugkinan. Rencana-rencana dapat terlaksana dengan baik.

E.  Pembagian Kekuasaan Negara Secara Vertikal dan Horizontal
Pembagian kekuasaan dibedakan menjadi pembagian kekuasaan secara vertikal dan pembagian kekuasaan secara horizontal. Pembagian kekuasaan secara vertikal dapat diartikan bahwa kekuasaan dibagi secara teritorial atau wilayah kekuasaan. Sebagai contoh, adanya pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah untuk sebuah negara kesatuan. Sedangkan, pembagian kekuasan secara horizontal dapat diartikan bahwa kekuasaa dibagi menurut fungsi-fungsi tertentu. Sebagai contoh, adanya sebuah badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di negara kesatuan.









Dalam hal pembagian kekuasaan, bentuk negara setidaknya dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu Konfederasi, Negara Kesatuan, dan Negara Federal. Adapun perbandingan antara ketiga bentuk negara tersebut, adalah sebagai berikut :

*     Konfederasi
Menurut L.Oppenheim, adalah beberapa Negara yang berdaulat penuh untuk mempertahankan kemerdakaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warga negara-negara itu (L. Oppenheim dalam M. Budiadrjo:268). Dari pernyataan tersebut, secara singkat dapat diartikan bahwa konfederasi merupakan kumpulan negara-negara merdeka dan berdaulat, yang bersatu hanya karena satu kepentingan tertentu yanb biasanya terletak di bidang politik luar negero dan pertahanan bersama.

*     Negara Kesatuan
Menurut C. F. Strong, adalah bentuk negara dimana  wewenang legislatif tertinggi  dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat (C. F. Strong dalam M. Budiardjo: 269). Dengan kata lain, kekuasaan atau kedaulatan sepenuhnya ada di pemerintah pusat bukan di pemerintah daerah. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah pusat memiliki wewenang untuk membagi kekuasaan kepada daerah yang kita kenal sebagai hak otonomi atau desentralisasi. Adapun ciri-ciri mutlak Negara Kesatuan, menurut Strong, adalah adanya supremasi dari dewan perwakilan pusat dan tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat (C. F. Strong dalam M. Budiardjo: 270).










*     Negara Federal
Negara Federal menurut K. C. Wheare, bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain (K. C. Wheare dalam M. Budiardjo: 270). Pernyataan tersebut dapat diartikan, baik negara bagian maupun negara federal memiliki kedaulatan masing-masing. Kedaulatan negara federal adalah mengatur segala hal di luar kedaulatan Negara bagian dan berlaku untuk beberapa negara bagian lainnya. Adapun persyaratan sebuah Negara Federal menurut C. F. Strong, adalah adanya perasaan sebangsa diantara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi untuk mengadakan ikatan terbatas (C. F. Strong dalam M. Budiardjo: 271).




























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam suatu hubungan kekuasaan selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang. Ketidakseimbangan inilah yang sering menimbulkan ketergantungan. Semakin tidak seimbang maka semakin besar pula sifat ketergantungannya.

B.  Saran
Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat dan ilmu pengetahuan kepada para pembaca, dan disarankan kepada pembaca untuk mencari referensi yang lebih banyak lagi, baik dari sosial media maupun media yang lain.

























DAFTAR PUSTAKA
Rodee, Carlton clymer dkk, pengantar ilmu politik, Jakarta: PT    Raja Grafindo Persada, 2011.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007


Minggu, 21 September 2014

tugas Hukum Perdata Tentang Hukum Acara Perdata





MAKALAH
PENGANTAR HUKUM INDONESIA



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan limpahan Rahmat, Taufiq, dan Hidayah-Nya, sehingga penulis masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini yang berisi tentang Hukum Acara Perdata. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, serta kepada kerabat, sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga hari akhir.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu dosen Mariatul Kiftiah, S.Pd.,M.Pd dan Bapak Muhammad Elmy, S.Pd.,M.pd  selaku dosen mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada kami dalam menyelasaikan makalah ini dan terima kasih kepada seluruh anggota kelompok yang telah turut serta memberikan pengarahan baik yang bersifat mendukung.
Makalah ini kami susun secara sederhana dengan mempertimbangkan dari buku satu ke buku yang lainnya dan juga sumber dari internet, lalu kami diskusikan dan kami ringkas sedemikian mungkin agar mudah dipahami oleh yang membacanya.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan waktu,  oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar makalah ini dapat menjadi sebuah karya ilmiah yang sangat bermanfaat serta memberikan nilai positif bagi yang membacanya.
Amin.


Banjarmasin, 26 Februari 2014





Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
A.    Latar Belakang
B.    Rumusan Masalah
C.    Tujuan Penulisan
D.    Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN 4
A.    Pengertian Hukum Acara Perdata
B.    Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia
C.    Sumber-Sumber Hukum dari Hukum Acara Perdata
D.    Pelaksanaan Acara Perdata
E.     Alat-Alat Pembuktian
F.     Asas-Asas dalam Hukum Acara Perdata
G.    Sifat Keputusan Hakim
H.    Pelaksanaan Putusan
I.       Sifat / Karakteristik Hukum Acara Perdata
ANALISIS
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.    Saran
DAFTAR PUSTAKA
                                            

















BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
Sudah merupakan sunnatullah, manusia diciptakan oleh tuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya serta bersama makhluk dan lingkungan sekitarnya untuk bermasyarakat dan menjaga hak dan kewajibanya atas diri dan sesama. Dalam hidup bermasyarakat ini mereka saling menjalin hubungan yang sifat dan jumlahnya tidak terhingga.
Dalam hidup, masing-masing orang kadang memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Adakalanya kepentingan mereka saling bertentangan, yang kadang menimbulkan sengketa, untuk menghindarkan gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Sehingga kepentingan anggota masyarakat lainya akan terjaga dan terlindungi, apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan diberikan sanksi atau hukuman. Yang dimaksud dengan kepentingan disini adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materiil atau lazim disebut sebagai hukum acara perdata.
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Sedangkan pengertian Hukum Acara Perdata menurut para ahli, yaitu  menurut Sudikno Mertokusumo “Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim”.
Dengan demikian kedudukan hukum acara perdata amat penting, karena adanya hukum acara perdata, masyarakat merasa adanya kepastian hukum bahwa setiap orang berhak mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelangaran terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui pengadilan Hukum acara perdata juga berfungsi untuk menegakan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik melalui perantaraan peradilan  selain itu hukum acara perdata  yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana (tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya  untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan hukum acara perdata diharapkan akan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.

B.    Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Apa pengertian Hukum Acara Perdata ?
2.     Bagaimana perjalanan sejarah singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia ?
3.     Apa saja sumber-sumber hukum dari Hukum Acara Perdata ?
4.     Bagaimana pelaksanaan Acara Perdata ?
5.     Apa saja alat-alat pembuktian dalam Acara Perdata ?
6.     Apa saja asas-asas dalam Hukum Acara Perdata ?
7.     Bagaimana sifat keputusan Hakim ?
8.     Bagaimana pelaksanaan putusan acara perdata ?
9.     Apa Sifat/Karakteristik dari Hukum Acara Perdata ?

C.      Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui pengertian Hukum Acara Perdata.
2.     Untuk mengetahui perjalanan sejarah singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia.
3.     Untuk sumber-sumber hukum dari Hukum Acara Perdata.
4.     Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Acara Perdata.
5.     Untuk mengetahui apa saja alat-alat pembuktian dalam Acara Perdata.
6.     Untuk mengetahui asas-asas dalam Hukum Acara Perdata.
7.     Untuk mengetahui sifat keputusan Hakim.
8.     Untuk mengetahui pelaksanaan putusan acara perdata.
9.     Untuk mengetahui Sifat atau Karakteristik dari Hukum Acara Perdata.

D.      Manfaat penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan :
1.       Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengetahuan tentang Hukum Acara Perdata dalam mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia.
2.       Dapat dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan.
3.       Memberikan informasi baik bagi penulis maupun pembaca mengenai Hukum Acara Perdata.













BAB II
HUKUM ACARA PERDATA

A.    Pengertian Hukum Acara perdata
Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana mempertahankan hukum perdata materiil. Selain itu ada juga pengertian yang lain yaitu : Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran hak individu. Perkara perdata yang diajukan oleh individu untuk memperoleh kebenaran dan keadilan wajib diselesaikan oleh hakim dengan kewajaran sebagai tugasnya. Dalam hal ini menyelesaikan perkara itu, hakim hendaknya berperan serta dengan berpegangan kepada asas-asas yang dicantumkan dalam Reglemen Indonesia Baru (RIB).
  Dalam istilah hukum acara perdata kata perdata dipakai dalam arti luas. Dengan hukum acara perdata dipertahankan baik hukum perdata dalam arti sempit maupun hukum dagang. Dalam hukum acara perdata inisiatif beracara datangnya dari pihak-pihak yang berkepentingan, tidak dari pihak penguasa. Dalam lapangan hukum perdata inisiatif beracara datang dari pihak penguasa (Badan Penuntut Umum dan Jaksa) yaitu dalam hal-hal yang bertalian dengan kepentingan masyarakat : misalnya jika ada perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat. Dengan diajukannya gugatan kepada pengadilan, mulailah proses acara perdata.




Berikut adalah beberapa pengertian Hukum Acara Perdata menurut beberapa pakar, Pada dasarnya semua artian atau pengertian dari pada Hukum Acara Perdata memang searah, maksud dari searah itu nyaris sama karena memang satu tujuan/ untuk satu arti. Berikut pemaparannya:
a. Menurut Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
b. Menurut Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yg menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil.
·     Hukum formil atau hukum acara  adalah kumpulan  ketentuan-ketentuan  dengan tujuan memberikan pedoman  dalam usaha mencari  kebenaran dan keadilan  bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti  memberikan kepada hukum dalam hukum acara suatu hubungan yang mengabdi  kepada  hukum materiil.
·      Hukum Acara adalah serangkaian langkah yang harus diambil seperti yang dijelaskan oleh undang-undang pada saat suatu kasus akan dimasukkan ke dalam pengadilan dan kemudian diputuskan oleh pengadilan. 
·      Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.





B.    Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata Di Indonesia
Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai peraturan khusus tentang Hukum Acara yang diperuntukkan kepada rakyat Bumi Putra yang berperkara di Pengadilan, tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak pemerintah Hindia Belanda mempergunakan Soh, 1119 No. 20 dengan sedikit penambahan dan perubahan yang tidak begitu berarti. Sementara itu. Mr. H. L. Wichers yang menjabat Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang berkedudukan dan Batavia (sekarang Jakarta) melarang dalam praktek pengadilan mempergunakan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan golongan Eropa kepada rakyat Bumi Putra tanpa dilandasi dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.  Dengan hal tersebut terjadi kekosongan hukum acara dalam praktek peradilan untuk golongan Bumi Putra. sehingga pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum acara khusus yang diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepadanya.
Dengan beslit Gubernur Jenderal  Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun 1846 tanggal 5 Desember 1846, Mr. H.L. Wichers ditunjuk dan ditugaskan untuk menyusun sebuah reglamen tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan pribumi atau Bumi Putra yang waktu itu terhadap mereka berlaku Stb.1819 No. 20 yang memuat 7 (tujuh) pasal yang berhubungan dengan Hukum Acara Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Mr. H.L Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan lamanya. Pada tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk dibahas lebih lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia Belanda pada waktu itu.





Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia Belanda tersebut, berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L. Wichers itu terlalu sederhana, mereka menghendaki agar dalam rancangan tersebut supaya ditambah dengan lembaga penggabungan jaminan, interventie dan reques civil sebagaimana yang terdapat pada Rv. yang diperuntukkan pada golongan Eropa. (Supomo :1963:5 don Abdul Kadir Muhammad, SH.: 1978:20).
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju atas penambahan sebagaimana tersebut di atas, terutama hal yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2). Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan Eropa di pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta, Semarang dan Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra, selebihnya dilarang dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap Gubernur Jenderal ini didukung penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah sebagaimana yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang diberlakukan seluruhnya untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau konsep rancangan itu ditambah lagi dengan hal-hal yang dianggap tidak begitu penting, dikhawatirkan konsep rancangan itu bukan akan bertambah jelas tetapi semakin kabur dan tidak terang lagi rancangannya.
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama atas saran dari Gubernur Jenderal  Jan Jacob Rochussen, ketentuan yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2) dirubah, kemudian ditambah suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan termuat dalam pasal 393 ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR sekarang ini. Pasal ini merupakan pasal yang sangat penting karena dalam pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan untuk golongan Bumi Putra, tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakan ketentuan lain dalam perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui perubahan dan penambahan sebagaimana tersebut di atas, akhirnya Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada tanggal 5 April 1848 menerima rancangan Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb. 1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan "Reglement Op de Uitoefening Van de Polite, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan "Inlandsch Reglement" (IR). Ketentuan ini akhirnya disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan firman raja tanggal 29 September 1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63. Reglement ini selain diruntuhkan golongan Bumi Putra (pribumi), juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing di Jawa dan Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur Asing itu kecerdasannya disamakan dengan Bumi Putra. (Abdul Kadir Muhammad, SH.: 1978: 21).
Dalam perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement  (IR) ini beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan pertama dilaksanakan pada tahun 1926 yang merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru dalam IR tersebut yang kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo. 496. Perubahan kedua dilaksanakan pada tahun 1941. perubahan ini sangat mendasar sehubungan di bentuknya  Lembaga Penuntut Umum yang anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan langsung di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung yang berdiri sendiri yang tidak terpecah-pecah (Ondeelbaar) dan tugas lembaga tersebut menyangkut soal-soal  pidana sehingga perlu diatur juga tentang acara pidananya. Oleh karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini. yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka sebutan yang semuia 'Wandsch reglement" diganti namanya menjadi 'Het HeTziene Inlandsch Reglement" disingkat HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR disebut juga RIB. singkatan dari Reglement Indonesia yang diperbaharui. Pengundangan secara keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941 No. 44.


Pada zaman penjajahan  Jepang. Berdasarkan  undang-undang Nomor 1 Tahun 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7 Maret 1942 di Jawa dan Madura memberlakukan  ketentuan yang mengatakan bahwa semua Badan pemerintah dan kekuasannva Hukum dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan  aturan  pemerintah militer. Atas dasar Undang-undang ini HIR. Bg. masih tetap berlaku. Kemudian pada bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan Baru tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan yaitu yang membentuk suatu  Pengadilan untuk tingkat pertama yang Hooin  Kootoo Hoon untuk pemeriksaan tingkat tingkat banding. Kedua  macam Peradilan tersebut di peruntukan kepada semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan orang, kecuali bagi orang-orang Jepang yang diadili dengan Pengadilan sendiri. Dengan di hapusnya Raad Van  Justitie dan Residentie Gerech, dengan sendirinya Hukum Acara  yang termuat dalam B.R. juga tidak berlaku lagi kecuali untuk rnengisi kekosongan hukum sepanjang diperlukan sedangkan dalam  HIR dan R. Bg.  juga  tidak diatur. (Wirjono Projodikoro : 1-962; 25 don Abdul Kadir Muhammad, SH: 1978.24-25).
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 kondisi yang berlaku pada zaman penjajahan Jepang tetap berlaku berdasarkan  Aturan Peralihan pasal II dan  IV Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap berlaku sebagai Hukum Acara di lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI.





Kemudian dengan pasal 5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan sipil yang diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951 ditentukan bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus dipedomani dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI.

C.    Sumber-sumber Hukum dari Hukum Acara Perdata
   Hukum acara perdata di Indonesia bersumber pada tiga kodifikasi hukum, yakni :
1.     Reglemen Hukum Acara Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura (Reglement op de burgerlijke recht-svordering).
2.     Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura (Herziene Inlandsch Reglement = HIR), sekarang diganti oleh kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3.     Reglemen Hukum untuk daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan indonesia di daerah luar Jawa dan Madura (Rechtreglement Buitengewesten).

D.    Pelaksanaan Acara Perdata
Secara garis besar pelaksanaan acara perdata dapat digambarkan sebagai berikut :
Pihak penggugat (yang dirugikan) mengajukan surat gugatan kepada Kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan surat gugatan tersebut, juru sita menyampaikan sebuah surat pemberitahuan kepada pihak tergugat (yang menimbulkan kerugian) yang isi pokoknya menyatakan, bahwa pihak tergugat harus datang untuk menghadap ke kantor pengadilan untuk di periksa oleh hakim dalam suatu perkara keperdataan seperti yang disebutkan dalam surat pemberitahuan tersebut.
Untuk menguruskan suatu perkara perdata di pengadilan, pihak penggugat dapat juga memintakan bantuan jasa (perantaraan) seorang pengacara atau pembela (Advokat). Tata cara mengajukan gugatan haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, karena jika tidak gugatan yang diajukan itu akan menjadi tidak sah.
Pada masa sekarang, berdasarkan surat gugatan pada pihak penggugat, hakim memanggil kedua pihak (penggugat dan tergugat) untuk datang menghadap ke sidang pengadilan yang akan memerlukan pemeriksaan dalam perkara perdata seperti yang dijelaskan dalam surat gugatan tersebut.
Pengajuan permohonan gugatan oleh penggugat dilakukan baik secara tertulis di atas kertas yang bermaterai, maupun disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Pada waktu mengajukan surat gugatan, pihak penggugat diharuskan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk ongkos perkara yang bersangkutan, namun dapat dibebaskan jika penggugat tersebut tidak mampu membayar.
Apabila kedua pihak telah hadir pada hari yang telah ditentukan, hakim membuka sidang pengadilan. Mula-mula dalam sidang pengadilan itu, Ketua Pengadilan berusaha untuk mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Jika tercapai perdamaian, maka dibuatlah akte perdamaian yang isinya harus dilaksanakan oleh kedua pihak tersebut.
Namun jika pihak-pihak yang berperkara itu tidak dapat didamaikan lagi, maka hakim lalu membacakan surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, dan kemudian setelah itu hakim memeriksa baik penggugat maupun tergugat. Selama pemeriksaan masih berlangsung, masing-masing pihak diperkenankan mengajukan saksi-saksi untuk menguatkan kebenarannya. Sebelum memberikan kesaksiannya, para saksi itu terlebih dahulu harus mengangkat sumpah.
Ketua Pengadilan setelah selesai mendengarkan dan mempertimbangkan segala sesuatu berkenaan dengan perkara tersebut (keterangan-keterangan kedua pihak yang berperkara, saksi-saksi dan bukti-bukti yang dikemukakan dalam sidang pengadilan), maka Ketua Pengadilan akan memutuskan, siapa yang benar, yang sifatnya menerima gugatan dan berarti penggugat yang menang, ataupun menolak gugatan yang berarti pihak penggugat dikalahkan. Pihak yang dikalahkan wajib membayar ongkos-ongkos perkara.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri itu masih dapat dimintakan bandingan (apel) kepada Pengadilan Tinggi.
Dalam hal pihak tergugat atau pembelanya menganggap Pengadilan Negeri itu tidak berwenang untuk memeriksa perkaranya, ia dapat mengajukan perlawanan (eksepsi).
Hakim pengadilan dapat mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa hadirnya pihak tergugat, dalam hal pihak tergugat tidak hadir pada hari pemeriksaan walaupun ia telah dipanggil dengan sepatutnya.
Pihak tergugat terhukum dapat pula mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan hakim pengadilan tanpa hadirnya tergugat. Putusan yang dijatuhkan hakim tanpa hadirnya pihak tergugat, disebut “bistek vonnis”.


E.    Alat-alat Pembuktian
Dalam hukum acara perdata dikenal lima macam alat pembuktian (cara pembuktian) yaitu :
a.      Bukti tertulis
Bukti tulisan itu merupakan akte-akte dan surat-surat lainnya. Adapun yang dimaksud dengan akte ialah sebuah surat yang ditanda tangani dan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti. Ada dua macam akte, yaitu :
-        Akte autentik (resmi) ialah surat yang dibuat dengan bentuk-bentuk tertentu oleh atau dihadapan pejabat-pejabat yang berkuasa membuatnya, seperti notaris, jurusita, pegawai catatan sipil, gubernur, bupati, dan sebagainya. Contoh akte autentik adalah akte kelahiran, akte perkawinan, akte perceraian, akte kematian, akte notaris, akte/sertifikat tanah dan lain-lain.
-        Akte dibawah tangan (onderhands acte) yaitu akte yang dibuat pihak-pihak yang berkepentingan tanpa perantaraan pejabat-pejabat resmi.  
b.     Bukti saksi
Bukti saksi ialah pernyataan seseorang mengenai sesuatu peristiwa atau keadaan. Orang yang menjadi saksi itu harus disumpah terlebih dahulu dan tidak ada hubungan keluarga, telah dewasa, tidak sakit ingatan, dan sebagainya.
c.      Persangkaan (dugaan)
Persangkaan yaitu kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan peristiwa-peristiwa yang  telah diketahui.
d.     Pengakuan
Pengakuan ialah pernyataan sesuatu pihak mengenai peristiwa tertentu atau sesuatu hak.
e.      Sumpah
Sumpah ialah pernyataan dengan segala keluhuran untuk memberikan janji atau keterangan dengan disaksikan Tuhan dan sanggup menerima segalanya hukumannya.
Sumpah penentuan (dicisoire) ialah sumpah atas permintaan salah satu pihak untuk menentukan sesuatu perkara apabila kekurangan bukti-bukti lain pihak yang bersumpah lazimnya adalah pihak yang dimenangkan.
Sumpah tambahan (suppletoire) ialah sumpah yang diperintahkan Hakim Pengadilan karena jabatannya untuk melengkapi bukti-bukti yang ada namun kurang lengkap.

F.     Asas-Asas Dalam Hukum Acara Perdata
Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam mengajukan gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:
1.      Asas Hakim Aktif
Hakim sebagai tempat pelarian bagi para pencari keadilan, dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi rakyat. Seorang hakim diharapkan dapat memberi pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa, dan juga memiliki sifat yang bijaksana.
Dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata (burgelijke rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara (Supomo, 1985:13). Berhubungan dengan tugas tersebut oleh ahli hukum sering kali dipersoalkan mengenai seberapa jauh hakim harus mengejar kebenaran (waarheid) di dalam memutus perkara.
2.     Asas Hakim Pasif
Selain hakim memiliki sifat aktif, juga memilik sifat pasif, akan tetapi hanya dalam arti kata bahwa dalam ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim (Sudikno Mertokusumo, 1988: 11).
Pengertian pasif diatas adalah yang dianut oleh sistem hukum acara perdata dalam HIR/RBg, akan tetapi pengertian pasif menurut regelement rechtsvordering agak berbeda, yaitu bahwa proses beracara adalah soal kedua belah pihak yang berperkara, yang memakai proses itu sebagai alat untuk menetapkan saling hubungan hukumnya dikemudian hari, baik posistif maupun negatif, sedangkan hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dituruti oleh kedua belah pihak (Supomo, 1985:18)
3.     Asas Terbukanya Pengadilan
Peraturan hukum acara perdata seperti yang termuat dalam HIR mempunyai sifat yang fleksibel dan terbuka, sebab HIR itu diciptakan untuk golongan bumiputera yang hukum perdata materiilnya adalah hukum adat. Hukum adat selalu berdasarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat (Abdulkadir Muhamad, 1990:24).
Menurut K. Wantjik Saleh (1981:13), dalam mencontoh lembaga hukum itu, pengadilan menerapkan suatu “ciptaan sendiri” sehingga merupakan suatu “hukum yurisprudensi”, jadi tanpa menyebutkan pasal-pasal dari regelement tersebut. Asas terbukanya sidang pengadilan telah diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, yang menentukan: sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali Undang-Undang menentukan lain (Pasal 18 ayat 1 UU No. 5 tahun 2004).
4.     Asas Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Di dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengarkan bersama-sama. Asas kedua belah pihak harus didengar dikenal dengan asas “audi et alteram partem atau Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide”. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/145, 157 RBg) (Sudikno Mertokusumo, 1988:12).
5.     Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR/RBg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR/147 RBg). Dengan demikian hakim tetap memeriksa sengketa yang diajukan, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasanya (Sudikno Mertokusumo, 1988:16).
Selain asas-asas yang ada di atas, Hukum Acara Perdata juga memiliki asas-asas pokok hukum acara perdata antara lain sebagai berikut:
1.     Hukum pasif
Maksudnya bahwa luas masalah yang dikemukakan dalam siding perkara perdata ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Di lain pihak hakim tidak diperkenankan memperluas masalah yang tidak diajukan. Hal itu karena kedudukan hakim hanya sebagai penetap kebenaran dan keadilan para pihak. Oleh karena itu, apa yang diajukan oleh para pihak dengan tuntutan hukum ynag dikehendaki hanya diberikan pertimbangan oleh hakim. Jadi, untuk perkara perdata, tugas hakim mencari kebenaran formal. Dalam perkembangan hukum di Indonesia saat ini, kebenaran material yang berupa keterangan saksi (sebagai bukti tidak tertulis) sudah dijadikan pertimbangan hakim juga.

2.     Mendengarkan para pihak
Untuk memberikan putusan dalam perkara perdata, hendaknya para pihak diberi kesempatan didengar pendapatnya. Bagi pihak yang tidak hadir (verstek), walaupun diberi kesempatan untuk didengar, dianggap tidak mau menggunakan kesempatan itu. Kalau ketidakhadirannya sudah di anggap cukup waktu yang diberikan maka hakim dapat memberikan putusan. Akan tetapi, dalam hal para pihak mau menggunakan kesempatan untuk didengar, proses persidangan untuk perkara itu wajib diselesaikan.
Dua asas pokok hukum acara perdata ini dalam prosesnya dapat ditempuh sebagai berikut :
a.      Setelah suatu gugatan dari seseorang masuk kepengadilan dan ditentukan apakah dalam menyelesaikan perkara itu diperlukan hakim tunggal atau majelis (perkara perdata tanpa jaksa), maka pada waktu ynag ditentukan para pihak diminta kehadirannya. Terlebih dahulu pihak yang digugat (tergugat) diberi salinan gugatannnya.
b.     Dalam sidang pertama perkara itu dapat ditempuh dengan lisan seluruhnya atau melalui tulisan, setelah hakim memberikan kesempatan untuk berdamai, lebih dahulu.
c.      Kalau ditempuh secara lisan, tergugat wajib mengemukakan argumentasinya sebagai tangkisan. Selanjutnya, terjadi debat lisan dan dalam waktu sidang berikutnya dapat diberikan putusan.
d.     Kalau ditempuh secara tulisan, prosesnya diberikan kesempatan kepada tergugat untuk menyampaikan jawaban tertulis. Selanjutnya setiap, sidang berturut-turut penggugat megajkan replik, kemudian duplik dari tergugat. Setelah itu dapat diajukan saksi-saksi dan bukti-bukti otentik atau dibawah tangan dari para pihak.
e.      Setelah proses dilalui, maka kesempatan berikutnya untuk para pihak dapat meyampaikan kesimpulan.
f.      Dalam sidang yang terakhir, hakim mengajukan pertimbangan hukumnya yang ditutup dengan putusan.


G.   Sifat Keputusan Hakim      
Keputusan Hakim atau vonnis dapat bersifat tiga macam, yaitu :
v Keputusan yang declaratoir yaitu keputusan hakim yang bersifat menyatakan ada tidaknya sesuatu keadaan hukum tertentu. Bunyi keputusan itu misalnya :
Memutuskan : Menyatakan sebagai hukum, bahwa si A adalah pemilik dari tanah ini atau si A adalah anak sah dari B”.
v Keputusan yang condemnatoir yaitu keputusan Hakim yang sifatnya menjatuhkan hukuman atau peradilan terhadap seseorang. Bunyi keputusan itu misalnya :
Memutuskan : Menghukum tergugat untuk membayar penggantian kerugian sekian rupiah”.
v Keputusan yang konstitutif  yaitu keputusan yang bersifat menghapuskan, memutus atau mengubah sesuatu keadaan hukum tertentu, atau dijadikan keadaan hukum yang baru. Misalnya, suatu perkawinan dinyatakan batal, atau suatu perjanjian diputuskan atau seseorang dinyatakan dalam keadaan pailit dan lain sebagainya.
Jenis keputusan ke 2 dan ke 3 tak dapat tidak memuat juga unsur-unsur yang bersifat declaratoir , sebab lebih dahulu ada keadaan atau hubungan hukum tertentu yang dinyatakan adanya, lantas baru dapat diputuskan sesuatu hukuman atau adanya keadaan hukum baru.

H.   Pelaksanaan Putusan
Apabila suatu putusan Hakim telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka hubungan hukum tersebut telah ditetapkan untuk selama-lamanya dan karenanya sudah tidak dapat dirubah lagi.
Adapun dimaksudkan oleh pembuat undang-undang bahwa putusan Pengadilan yang sudah tidak dapat dirubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu maka perkataan “eksekusi” atau pelaksanaan, sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mantaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.
Untuk menjalankan putusan Hakim sering diperlukan upaya-upaya tertentu, yaitu :
1.     Eksekusi riil
Yakni sungguh-sungguh dijalankan seperti yang diputuskan, misalnya terhukum harus mengosongkan rumah yang ditempatinya. Jika tidak mau, ia dengan kekerasan (dengan bantuan kekuatan umum yaitu polisi) dikeluarkan dari rumah itu.
2.     Pensitaan
Yaitu barang milik terhukum untuk dilelang, ini dalam hal keputusan Hakim itu menghukum untuk membayar sejumlah uang.
3.     Uang pemaksa
Yakni dalam keputusan juga ditentukan bahwa terhukum harus membayar sejumlah uang, tiap-tiap kali ia tidak memenuhi apa yang diputuskan itu. Uang pemaksa hanyalah diperlukan terhadap suatu diktum yang tidak dapat diwujudkan tanpa bantuan si tergugat/terhukum, misalnya penghukuman membuat suatu pertanggungan jawab. Lembaga ini pengaturannya terdapat di dalam R.V., namun didalam yurisprudensi diperbolehkan dipakai dalam prosedur di muka Pengadilan Negeri.












I.      Sifat/Karakteristik Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata  yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana (tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya  untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
 Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa (kata “merasa” perlu digaris bawahi)  haknya dilanggar  berhak untuk menuntut di pengadilan atau orang yang “dirasa” melanggar hak  dituntut dipengadilan. Dengan kata “merasa” dan “dirasa” ini menunjukan bahwa belum tentu orang tersebut dilanggar haknya dan melanggar hak orang lain.
Orang yang merasa haknya dilanggar disebut dengan Penggugat. Sedang orang yang  dirasa melanggar hak Penggugat dan ditarik sebagai pihak dimuka pengadilan disebut sebagai Tergugat.
Apabila dalam satu perkara terdapat banyak Penggugat, maka disebut dengan Penggugat I, Penggugat II dan seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para Penggugat. Demikian juga dengan Tergugat disebut dengan Tergugat I, Terugat II dan seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para Tergugat.
Sedangkan apabila terdapat pihak yang dalam praktek disebut dengan Turut Tergugat yang merupakan pihak yang tidak menguasai barang sengketa tapi harus diikutsertakan untuk melengkapi gugatan dan biasanya hanya berkewajiban untuk mematuhi isi putusan.










ANALISIS

Hukum Perdata (privat/pribadi) adalah suatu aturan yang bersifat mengikat dan memaksa yang apabila dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata, serta mengatur hubungan antarmanusia, baik terhadap manusia maupun terhadap lingkungannya yang berisi tentang perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah kumpulan atau himpunan peraturan hukum yang mengatur perihal tata cara pelaksanaan hukum perdata atau penerapan peraturan-peraturan hukum dalam prakteknya, tentang bagaimana cara menuntut atau mempertahankan hukum formil, serta bagaimana cara pengaduan serta syarat-syarat apa yang perlu dilakukan.          Hukum acara perdata di Indonesia bersumber pada tiga kodifikasi hukum, yakni :
1.       Reglemen Hukum Acara Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura (Reglement op de burgerlijke recht-svordering).
2.       Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura (Herziene Inlandsch Reglement = HIR), sekarang diganti oleh kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3.       Reglemen Hukum untuk daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan indonesia di daerah luar Jawa dan Madura (Rechtreglement Buitengewesten).









Dari ketiga sumber yang di kondifikasi hukum tersebut terdapat ketidak mengertian yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura maupun yang berada di luar dari Jawa dan Madura. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pembahasan mengenai ketiga sumber tersebut pada buku referensi pembuatan makalah ini yang menurut kelompok menjadi suatu yang kurang jelas. Kurangnya pembahasan tidak hanya dari sumber referensi buku akan tetapi juga kurangnya sumber dari internet.
Kendala yang lain yang kelompok rasakan pun mengenai bahasa yang digunakan sulit untuk dipahami dan sebab-sebab mengapa Reglemen Hukum Acara Perdata hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Serta sebab-sebab mengapa Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB) diganti oleh kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari bab diatas maka penulis menyimpulkan :
-        Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran hak individu. Perkara perdata yang diajukan oleh individu untuk memperoleh kebenaran dan keadilan wajib diselesaikan oleh hakim dengan kewajaran sebagai tugasnya.
-        Hukum acara perdata di Indonesia bersumber pada tiga kodifikasi hukum, yakni :
1.     Reglemen Hukum Acara Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura (Reglement op de burgerlijke recht-svordering).
2.     Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura (Herziene Inlandsch Reglement = HIR), sekarang diganti oleh kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3.     Reglemen Hukum untuk daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan indonesia di daerah luar Jawa dan Madura (Rechtreglement Buitengewesten).
-        Dalam hukum acara perdata dikenal lima macam alat pembuktian (cara pembuktian) yaitu :
a.      Bukti tertulis
b.     Bukti saksi
c.      Persangkaan
d.     Pengakuan sumpah
-        Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam mengajukan gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:
1.     Asas Hakim Aktif
2.     Asas Hakim Pasif
3.     Asas Terbukanya Pengadilan
4.     Asas Mendengarkan Kedua Belah Pihak
5.     Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

B.    Saran
Dengan adanya hukum acara perdata, agar dapat menjalankan sesuai dengan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran hak individu. Perkara perdata yang diajukan oleh individu untuk memperoleh kebenaran dan keadilan wajib diselesaikan oleh hakim dengan kewajaran sebagai tugasnya.

















DAFTAR PUSTAKA

            Djamali, Abdoel. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Hadisoeprapto, Hartono. 1982. Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI). Yogyakarta : Liberty, Yogyakarta.
Kansil, dan Cristine S.T. Kansil. 2003. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Projodikoro, Wirjono. 1992. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: “Sumur Bandung”.
Sudarsono. 1991. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Renika Cipta.
Fahmi Andy (2013). Hukum Acara Perdata (Online). Tersedia di : http://seramoe-printstation.blogspot.com/2013/01/makalah-hukum-acara-perdata.html . Diakses pada 20 Januari 2014 pada jam 17:09.