MAKALAH
PENGANTAR
HUKUM INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufiq, dan Hidayah-Nya, sehingga penulis masih diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini yang berisi
tentang Hukum Acara Perdata.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
serta kepada kerabat, sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga hari akhir.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu dosen Mariatul
Kiftiah, S.Pd.,M.Pd dan Bapak
Muhammad Elmy, S.Pd.,M.pd selaku dosen
mata kuliah Pengantar Hukum
Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan
arahan serta motivasi kepada kami dalam
menyelasaikan makalah ini dan terima kasih kepada seluruh anggota kelompok yang
telah turut serta memberikan pengarahan baik yang bersifat mendukung.
Makalah ini kami susun secara sederhana dengan mempertimbangkan
dari buku satu ke buku yang lainnya dan juga sumber dari internet, lalu kami
diskusikan dan kami ringkas sedemikian mungkin agar mudah dipahami oleh yang
membacanya.
Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih
jauh dari kata sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan
waktu, oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar makalah ini dapat menjadi
sebuah karya ilmiah yang sangat bermanfaat serta memberikan
nilai positif bagi yang membacanya.
Amin.
Banjarmasin,
26 Februari 2014
Tim
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
1
DAFTAR ISI
2
BAB I PENDAHULUAN
3
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penulisan
D. Manfaat
Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
4
A. Pengertian
Hukum Acara Perdata
B. Sejarah
Singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia
C. Sumber-Sumber
Hukum dari Hukum Acara Perdata
D. Pelaksanaan
Acara Perdata
E. Alat-Alat
Pembuktian
F. Asas-Asas
dalam Hukum Acara Perdata
G. Sifat
Keputusan Hakim
H. Pelaksanaan
Putusan
I. Sifat
/ Karakteristik Hukum Acara Perdata
ANALISIS
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Sudah merupakan sunnatullah, manusia diciptakan oleh tuhan untuk hidup bersama
dengan manusia lainnya serta bersama makhluk dan lingkungan sekitarnya untuk
bermasyarakat dan menjaga hak dan kewajibanya atas diri dan sesama. Dalam hidup
bermasyarakat ini mereka saling menjalin hubungan yang sifat dan jumlahnya
tidak terhingga.
Dalam hidup, masing-masing orang kadang memiliki kepentingan yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainya. Adakalanya kepentingan mereka saling
bertentangan, yang kadang menimbulkan sengketa, untuk menghindarkan gejala
tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan
membuat ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota
masyarakat. Sehingga kepentingan anggota masyarakat lainya akan terjaga dan
terlindungi, apabila kaidah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan
akan diberikan sanksi atau hukuman. Yang dimaksud dengan kepentingan disini
adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materiil
atau lazim disebut sebagai hukum acara perdata.
Hukum
Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata. Sedangkan
pengertian Hukum Acara Perdata menurut para ahli, yaitu menurut
Sudikno Mertokusumo “Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan
hakim”.
Dengan demikian kedudukan hukum
acara perdata amat penting, karena adanya hukum acara perdata, masyarakat
merasa adanya kepastian hukum bahwa setiap orang berhak mempertahankan hak
perdatanya dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelangaran
terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat
dituntut melalui pengadilan Hukum acara perdata juga berfungsi untuk menegakan,
mempertahankan dan menjamin ditaatinya ketentuan hukum materiil dalam praktik
melalui perantaraan peradilan selain itu
hukum acara perdata yang
berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana (tidak formalistis).
Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempergunakan
hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang tertulis sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan hukum acara perdata
diharapkan akan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.
B. Rumusan
masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian Hukum Acara Perdata ?
2. Bagaimana
perjalanan sejarah singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia ?
3. Apa saja sumber-sumber hukum dari Hukum Acara Perdata
?
4. Bagaimana
pelaksanaan Acara Perdata ?
5. Apa
saja alat-alat pembuktian dalam Acara Perdata ?
6. Apa
saja asas-asas dalam Hukum Acara Perdata ?
7. Bagaimana
sifat keputusan Hakim ?
8. Bagaimana
pelaksanaan putusan acara perdata ?
9.
Apa Sifat/Karakteristik dari Hukum Acara Perdata ?
C. Tujuan
penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui pengertian Hukum Acara Perdata.
2.
Untuk mengetahui perjalanan sejarah
singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia.
3.
Untuk sumber-sumber
hukum dari Hukum Acara Perdata.
4.
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
Acara Perdata.
5.
Untuk mengetahui apa saja alat-alat pembuktian
dalam Acara Perdata.
6.
Untuk mengetahui asas-asas dalam Hukum
Acara Perdata.
7.
Untuk mengetahui sifat keputusan Hakim.
8.
Untuk mengetahui pelaksanaan putusan
acara perdata.
9.
Untuk mengetahui Sifat atau Karakteristik dari Hukum Acara Perdata.
D. Manfaat
penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan :
1.
Menambah
wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengetahuan tentang Hukum Acara
Perdata dalam mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia.
2.
Dapat
dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan.
3.
Memberikan
informasi baik bagi penulis maupun pembaca mengenai Hukum Acara Perdata.
BAB
II
HUKUM
ACARA PERDATA
A. Pengertian
Hukum Acara perdata
Hukum
acara perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur
cara bagaimana mempertahankan hukum perdata materiil. Selain itu ada juga
pengertian yang lain yaitu : Hukum Acara Perdata adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Fungsinya
menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kebenaran hak individu. Perkara
perdata yang diajukan oleh individu untuk memperoleh kebenaran dan keadilan
wajib diselesaikan oleh hakim dengan kewajaran sebagai tugasnya. Dalam hal ini
menyelesaikan perkara itu, hakim hendaknya berperan serta dengan berpegangan
kepada asas-asas yang dicantumkan dalam Reglemen Indonesia Baru (RIB).
Dalam
istilah hukum acara perdata kata perdata dipakai dalam arti luas. Dengan hukum
acara perdata dipertahankan baik hukum perdata dalam arti sempit maupun hukum
dagang. Dalam hukum acara perdata inisiatif beracara datangnya dari pihak-pihak
yang berkepentingan, tidak dari pihak penguasa. Dalam lapangan hukum perdata
inisiatif beracara datang dari pihak penguasa (Badan Penuntut Umum dan Jaksa)
yaitu dalam hal-hal yang bertalian dengan kepentingan masyarakat : misalnya
jika ada perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat. Dengan diajukannya
gugatan kepada pengadilan, mulailah proses acara perdata.
Berikut adalah
beberapa pengertian Hukum Acara Perdata menurut beberapa pakar, Pada dasarnya
semua artian atau pengertian dari pada Hukum Acara Perdata memang searah,
maksud dari searah itu nyaris sama karena memang satu tujuan/ untuk satu arti.
Berikut pemaparannya:
a. Menurut Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata
adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil dengan perantaraan hakim.
b. Menurut Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata
disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yg menentukan
dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil.
·
Hukum formil atau
hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan
memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan
bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang
berarti memberikan kepada hukum dalam hukum acara suatu hubungan yang
mengabdi kepada hukum materiil.
·
Hukum Acara adalah serangkaian langkah yang
harus diambil seperti yang dijelaskan oleh undang-undang pada saat suatu kasus
akan dimasukkan ke dalam pengadilan dan kemudian diputuskan oleh
pengadilan.
·
Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan
yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata
materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam
mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil itu terjadi melalui
peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.
B.
Sejarah Singkat Hukum
Acara Perdata Di Indonesia
Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai peraturan khusus tentang Hukum Acara yang
diperuntukkan kepada rakyat Bumi Putra yang berperkara di Pengadilan, tetapi
karena kebutuhan yang sangat mendesak pemerintah Hindia Belanda mempergunakan
Soh, 1119 No. 20 dengan sedikit penambahan dan perubahan yang tidak begitu berarti.
Sementara itu. Mr. H. L. Wichers yang menjabat Ketua Mahkamah Agung Hindia
Belanda (Hooggerechtshof) yang berkedudukan dan Batavia (sekarang Jakarta)
melarang dalam praktek pengadilan mempergunakan Hukum Acara Perdata yang
dipergunakan golongan Eropa kepada rakyat Bumi Putra tanpa dilandasi dengan
aturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan hal tersebut terjadi
kekosongan hukum acara dalam praktek peradilan untuk golongan Bumi Putra.
sehingga pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum acara khusus yang
diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim dalam
melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepadanya.
Dengan beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun 1846
tanggal 5 Desember 1846, Mr. H.L. Wichers ditunjuk dan ditugaskan untuk
menyusun sebuah reglamen tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara
pidana bagi golongan pribumi atau Bumi Putra yang waktu itu terhadap mereka
berlaku Stb.1819 No. 20 yang memuat 7 (tujuh) pasal yang berhubungan dengan
Hukum Acara Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Mr. H.L
Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan
lamanya. Pada tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk
dibahas lebih lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung
Hindia Belanda pada waktu itu.
Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia Belanda tersebut,
berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L. Wichers itu terlalu sederhana, mereka menghendaki
agar dalam rancangan tersebut supaya ditambah dengan lembaga
penggabungan jaminan, interventie dan reques civil sebagaimana yang terdapat
pada Rv. yang diperuntukkan pada golongan Eropa. (Supomo :1963:5 don Abdul
Kadir Muhammad, SH.: 1978:20).
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju
atas penambahan sebagaimana tersebut di atas, terutama hal
yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2). Gubernur Jenderal Jan Jacob
Rochussen hanya memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan
Eropa di pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta, Semarang
dan Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra, selebihnya dilarang
dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap Gubernur Jenderal ini didukung
penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah sebagaimana
yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang diberlakukan seluruhnya
untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau konsep
rancangan itu ditambah lagi dengan hal-hal yang dianggap tidak begitu penting, dikhawatirkan konsep rancangan
itu bukan akan bertambah jelas tetapi semakin kabur dan tidak terang lagi
rancangannya.
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama atas saran dari
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, ketentuan yang tersebut dalam
pasal 432 ayat (2) dirubah, kemudian ditambah
suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan
termuat dalam pasal 393 ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR
sekarang ini. Pasal ini merupakan pasal yang
sangat penting karena dalam pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa
HIR diberlakukan untuk golongan Bumi Putra, tetapi
apabila benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakan ketentuan lain
dalam perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut
dalam Rv.
Setelah melalui perubahan dan penambahan sebagaimana
tersebut di atas, akhirnya Gubernur Jenderal Jan Jacob
Rochussen pada tanggal 5 April 1848 menerima rancangan Mr. H.L.
Wichers ini dengan menerbitkan Stb. 1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan
"Reglement Op de Uitoefening Van
de Polite, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan
"Inlandsch Reglement" (IR). Ketentuan ini akhirnya disahkan dan
dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan firman raja tanggal 29 September 1849,
No. 93 Stb. 1849 No. 63. Reglement ini selain
diruntuhkan golongan Bumi Putra (pribumi), juga diperuntukkan bagi
golongan Timur Asing di Jawa dan Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur Asing itu
kecerdasannya disamakan dengan Bumi Putra. (Abdul Kadir Muhammad,
SH.: 1978: 21).
Dalam perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement (IR) ini beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan pertama
dilaksanakan pada tahun 1926 yang
merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru dalam IR tersebut yang
kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo. 496. Perubahan kedua
dilaksanakan pada tahun 1941. perubahan ini sangat mendasar sehubungan di
bentuknya Lembaga Penuntut Umum yang
anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan langsung
di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung
yang berdiri sendiri yang tidak terpecah-pecah (Ondeelbaar) dan tugas lembaga tersebut menyangkut soal-soal
pidana sehingga perlu diatur juga
tentang acara pidananya. Oleh karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini. yang dalam
bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka sebutan yang semuia
'Wandsch reglement" diganti namanya
menjadi 'Het HeTziene Inlandsch Reglement" disingkat HIR. Setelah
Indonesia Merdeka. HIR disebut juga RIB. singkatan dari Reglement Indonesia
yang diperbaharui. Pengundangan secara
keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941 No. 44.
Pada zaman penjajahan Jepang. Berdasarkan
undang-undang Nomor 1 Tahun 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7
Maret 1942 di Jawa dan Madura memberlakukan ketentuan yang
mengatakan bahwa semua Badan pemerintah dan kekuasannva Hukum dan Undang-undang dari
pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer. Atas dasar Undang-undang ini
HIR. Bg. masih tetap berlaku. Kemudian pada bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan Baru
tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan yaitu yang membentuk
suatu Pengadilan untuk tingkat
pertama yang Hooin Kootoo Hoon
untuk pemeriksaan tingkat tingkat banding. Kedua macam Peradilan tersebut di peruntukan kepada semua
golongan penduduk tanpa
membeda-bedakan orang, kecuali bagi orang-orang Jepang yang diadili dengan Pengadilan sendiri. Dengan di
hapusnya Raad Van Justitie dan Residentie Gerech, dengan
sendirinya Hukum Acara yang termuat dalam B.R. juga tidak berlaku lagi
kecuali untuk rnengisi kekosongan hukum
sepanjang diperlukan sedangkan dalam HIR dan R. Bg. juga
tidak diatur. (Wirjono Projodikoro : 1-962; 25 don Abdul Kadir
Muhammad, SH: 1978.24-25).
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945
kondisi yang berlaku pada zaman penjajahan Jepang tetap
berlaku berdasarkan Aturan Peralihan pasal II dan
IV Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan
R.Bg. masih tetap berlaku sebagai Hukum Acara di lingkungan Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI.
Kemudian dengan pasal 5 Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan
sipil yang diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951 ditentukan bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus
dipedomani dalam pemeriksaan perkara
di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI.
C.
Sumber-sumber Hukum dari Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata di Indonesia bersumber
pada tiga kodifikasi hukum, yakni :
1.
Reglemen Hukum Acara
Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura (Reglement op de
burgerlijke recht-svordering).
2. Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB), yang berlaku
bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura (Herziene Inlandsch Reglement =
HIR), sekarang diganti oleh kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3.
Reglemen Hukum untuk
daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan indonesia di daerah luar
Jawa dan Madura (Rechtreglement Buitengewesten).
D. Pelaksanaan Acara
Perdata
Secara garis besar
pelaksanaan acara perdata dapat digambarkan sebagai berikut :
Pihak penggugat (yang
dirugikan) mengajukan surat gugatan kepada Kantor Panitera Pengadilan Negeri
setempat. Berdasarkan surat gugatan tersebut, juru sita menyampaikan sebuah
surat pemberitahuan kepada pihak tergugat (yang menimbulkan kerugian) yang isi
pokoknya menyatakan, bahwa pihak tergugat harus datang untuk menghadap ke
kantor pengadilan untuk di periksa oleh hakim dalam suatu perkara keperdataan
seperti yang disebutkan dalam surat pemberitahuan tersebut.
Untuk menguruskan
suatu perkara perdata di pengadilan, pihak penggugat dapat juga memintakan
bantuan jasa (perantaraan) seorang pengacara atau pembela (Advokat). Tata cara
mengajukan gugatan haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan,
karena jika tidak gugatan yang diajukan itu akan menjadi tidak sah.
Pada masa sekarang,
berdasarkan surat gugatan pada pihak penggugat, hakim memanggil kedua pihak
(penggugat dan tergugat) untuk datang menghadap ke sidang pengadilan yang akan
memerlukan pemeriksaan dalam perkara perdata seperti yang dijelaskan dalam
surat gugatan tersebut.
Pengajuan permohonan
gugatan oleh penggugat dilakukan baik secara tertulis di atas kertas yang
bermaterai, maupun disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat. Pada waktu mengajukan surat gugatan, pihak penggugat diharuskan
membayar sejumlah uang yang telah ditentukan kepada Panitera Pengadilan Negeri
untuk ongkos perkara yang bersangkutan, namun dapat dibebaskan jika penggugat
tersebut tidak mampu membayar.
Apabila kedua pihak
telah hadir pada hari yang telah ditentukan, hakim membuka sidang pengadilan.
Mula-mula dalam sidang pengadilan itu, Ketua Pengadilan berusaha untuk
mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Jika tercapai perdamaian, maka
dibuatlah akte perdamaian yang isinya harus dilaksanakan oleh kedua pihak
tersebut.
Namun jika
pihak-pihak yang berperkara itu tidak dapat didamaikan lagi, maka hakim lalu
membacakan surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, dan kemudian setelah itu
hakim memeriksa baik penggugat maupun tergugat. Selama pemeriksaan masih
berlangsung, masing-masing pihak diperkenankan mengajukan saksi-saksi untuk
menguatkan kebenarannya. Sebelum memberikan kesaksiannya, para saksi itu
terlebih dahulu harus mengangkat sumpah.
Ketua Pengadilan
setelah selesai mendengarkan dan mempertimbangkan segala sesuatu berkenaan
dengan perkara tersebut (keterangan-keterangan kedua pihak yang berperkara,
saksi-saksi dan bukti-bukti yang dikemukakan dalam sidang pengadilan), maka
Ketua Pengadilan akan memutuskan, siapa yang benar, yang sifatnya menerima
gugatan dan berarti penggugat yang menang, ataupun menolak gugatan yang berarti
pihak penggugat dikalahkan. Pihak yang dikalahkan wajib membayar ongkos-ongkos
perkara.
Putusan Hakim
Pengadilan Negeri itu masih dapat dimintakan bandingan (apel) kepada Pengadilan
Tinggi.
Dalam hal pihak
tergugat atau pembelanya menganggap Pengadilan Negeri itu tidak berwenang untuk
memeriksa perkaranya, ia dapat mengajukan perlawanan (eksepsi).
Hakim pengadilan
dapat mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa hadirnya pihak tergugat,
dalam hal pihak tergugat tidak hadir pada hari pemeriksaan walaupun ia telah
dipanggil dengan sepatutnya.
Pihak tergugat
terhukum dapat pula mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan hakim
pengadilan tanpa hadirnya tergugat. Putusan yang dijatuhkan hakim tanpa
hadirnya pihak tergugat, disebut “bistek vonnis”.
E. Alat-alat Pembuktian
Dalam hukum acara
perdata dikenal lima macam alat pembuktian (cara pembuktian) yaitu :
a.
Bukti tertulis
Bukti tulisan itu merupakan akte-akte dan surat-surat
lainnya. Adapun yang dimaksud dengan akte ialah sebuah surat yang ditanda
tangani dan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti. Ada dua macam akte, yaitu :
-
Akte autentik (resmi)
ialah surat yang dibuat dengan bentuk-bentuk tertentu oleh atau dihadapan
pejabat-pejabat yang berkuasa membuatnya, seperti notaris, jurusita, pegawai
catatan sipil, gubernur, bupati, dan sebagainya. Contoh akte autentik adalah
akte kelahiran, akte perkawinan, akte perceraian, akte kematian, akte notaris,
akte/sertifikat tanah dan lain-lain.
-
Akte dibawah tangan
(onderhands acte) yaitu akte yang dibuat pihak-pihak yang berkepentingan tanpa
perantaraan pejabat-pejabat resmi.
b.
Bukti saksi
Bukti saksi ialah
pernyataan seseorang mengenai sesuatu peristiwa atau keadaan. Orang yang
menjadi saksi itu harus disumpah terlebih dahulu dan tidak ada hubungan
keluarga, telah dewasa, tidak sakit ingatan, dan sebagainya.
c.
Persangkaan (dugaan)
Persangkaan yaitu
kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan peristiwa-peristiwa yang telah diketahui.
d.
Pengakuan
Pengakuan ialah
pernyataan sesuatu pihak mengenai peristiwa tertentu atau sesuatu hak.
e.
Sumpah
Sumpah ialah
pernyataan dengan segala keluhuran untuk memberikan janji atau keterangan
dengan disaksikan Tuhan dan sanggup menerima segalanya hukumannya.
Sumpah penentuan
(dicisoire) ialah sumpah atas permintaan salah satu pihak untuk menentukan
sesuatu perkara apabila kekurangan bukti-bukti lain pihak yang bersumpah
lazimnya adalah pihak yang dimenangkan.
Sumpah tambahan
(suppletoire) ialah sumpah yang diperintahkan Hakim Pengadilan karena
jabatannya untuk melengkapi bukti-bukti yang ada namun kurang lengkap.
F.
Asas-Asas Dalam Hukum
Acara Perdata
Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal
yang menjadi dasar dalam mengajukan gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara
perdata adalah sebagai berikut:
1. Asas Hakim
Aktif
Hakim sebagai tempat pelarian
bagi para pencari keadilan, dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan
menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi rakyat. Seorang hakim diharapkan
dapat memberi pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan
martabatnya serta berwibawa, dan juga memiliki sifat yang bijaksana.
Dalam peradilan perdata tugas
hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata (burgelijke rechtsorde),
menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara (Supomo,
1985:13). Berhubungan dengan tugas tersebut oleh ahli hukum sering kali
dipersoalkan mengenai seberapa jauh hakim harus mengejar kebenaran (waarheid)
di dalam memutus perkara.
2.
Asas Hakim Pasif
Selain hakim memiliki sifat
aktif, juga memilik sifat pasif, akan tetapi hanya dalam arti kata bahwa dalam
ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan
oleh hakim (Sudikno Mertokusumo, 1988: 11).
Pengertian pasif diatas adalah
yang dianut oleh sistem hukum acara perdata dalam HIR/RBg, akan tetapi
pengertian pasif menurut regelement rechtsvordering agak berbeda, yaitu
bahwa proses beracara adalah soal kedua belah pihak yang berperkara, yang
memakai proses itu sebagai alat untuk menetapkan saling hubungan hukumnya
dikemudian hari, baik posistif maupun negatif, sedangkan hakim hanya mengawasi
supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dituruti
oleh kedua belah pihak (Supomo, 1985:18)
3.
Asas Terbukanya
Pengadilan
Peraturan
hukum acara perdata seperti yang termuat dalam HIR mempunyai sifat yang
fleksibel dan terbuka, sebab HIR itu diciptakan untuk golongan bumiputera yang
hukum perdata materiilnya adalah hukum adat. Hukum adat selalu berdasarkan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat (Abdulkadir Muhamad, 1990:24).
Menurut
K. Wantjik Saleh (1981:13), dalam mencontoh lembaga hukum itu, pengadilan
menerapkan suatu “ciptaan sendiri” sehingga merupakan suatu “hukum
yurisprudensi”, jadi tanpa menyebutkan pasal-pasal dari regelement tersebut.
Asas terbukanya sidang pengadilan telah diatur dalam undang-undang kekuasaan
kehakiman, yang menentukan: sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum kecuali Undang-Undang menentukan lain (Pasal 18 ayat 1 UU No. 5 tahun
2004).
4.
Asas Mendengarkan
Kedua Belah Pihak
Di dalam hukum acara
perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan
didengarkan bersama-sama. Asas kedua belah pihak harus didengar dikenal dengan
asas “audi et alteram partem atau Eines Mannes Rede ist keines Mannes
Rede, man soll sie horen alle beide”. Hal ini berarti bahwa hakim tidak
boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan
tidak didengar atau diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini
berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri
oleh kedua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/145, 157 RBg) (Sudikno Mertokusumo,
1988:12).
5.
Asas Tidak Ada
Keharusan Mewakilkan
HIR/RBg
tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga
pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili
oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR/147 RBg). Dengan demikian
hakim tetap memeriksa sengketa yang diajukan, meskipun para pihak tidak
mewakilkan kepada seorang kuasanya (Sudikno Mertokusumo, 1988:16).
Selain asas-asas yang ada di atas, Hukum
Acara Perdata juga memiliki asas-asas pokok hukum acara perdata antara lain
sebagai berikut:
1. Hukum
pasif
Maksudnya
bahwa luas masalah yang dikemukakan dalam siding perkara perdata ditentukan
oleh para pihak yang berperkara. Di lain pihak hakim tidak diperkenankan
memperluas masalah yang tidak diajukan. Hal itu karena kedudukan hakim hanya
sebagai penetap kebenaran dan keadilan para pihak. Oleh karena itu, apa yang
diajukan oleh para pihak dengan tuntutan hukum ynag dikehendaki hanya diberikan
pertimbangan oleh hakim. Jadi, untuk perkara perdata, tugas hakim mencari
kebenaran formal. Dalam perkembangan hukum di Indonesia saat ini, kebenaran
material yang berupa keterangan saksi (sebagai bukti tidak tertulis) sudah
dijadikan pertimbangan hakim juga.
2. Mendengarkan
para pihak
Untuk
memberikan putusan dalam perkara perdata, hendaknya para pihak diberi
kesempatan didengar pendapatnya. Bagi pihak yang tidak hadir (verstek),
walaupun diberi kesempatan untuk didengar, dianggap tidak mau menggunakan
kesempatan itu. Kalau ketidakhadirannya sudah di anggap cukup waktu yang
diberikan maka hakim dapat memberikan putusan. Akan tetapi, dalam hal para
pihak mau menggunakan kesempatan untuk didengar, proses persidangan untuk
perkara itu wajib diselesaikan.
Dua
asas pokok hukum acara perdata ini dalam prosesnya dapat ditempuh sebagai
berikut :
a. Setelah
suatu gugatan dari seseorang masuk kepengadilan dan ditentukan apakah dalam
menyelesaikan perkara itu diperlukan hakim tunggal atau majelis (perkara
perdata tanpa jaksa), maka pada waktu ynag ditentukan para pihak diminta
kehadirannya. Terlebih dahulu pihak yang digugat (tergugat) diberi salinan
gugatannnya.
b. Dalam
sidang pertama perkara itu dapat ditempuh dengan lisan seluruhnya atau melalui
tulisan, setelah hakim memberikan kesempatan untuk berdamai, lebih dahulu.
c. Kalau
ditempuh secara lisan, tergugat wajib mengemukakan argumentasinya sebagai
tangkisan. Selanjutnya, terjadi debat lisan dan dalam waktu sidang berikutnya
dapat diberikan putusan.
d. Kalau
ditempuh secara tulisan, prosesnya diberikan kesempatan kepada tergugat untuk
menyampaikan jawaban tertulis. Selanjutnya setiap, sidang berturut-turut
penggugat megajkan replik, kemudian duplik dari tergugat. Setelah itu dapat
diajukan saksi-saksi dan bukti-bukti otentik atau dibawah tangan dari para
pihak.
e. Setelah
proses dilalui, maka kesempatan berikutnya untuk para pihak dapat meyampaikan
kesimpulan.
f. Dalam
sidang yang terakhir, hakim mengajukan pertimbangan hukumnya yang ditutup
dengan putusan.
G.
Sifat Keputusan Hakim
Keputusan Hakim atau vonnis dapat
bersifat tiga macam, yaitu :
v Keputusan yang
declaratoir yaitu keputusan hakim yang bersifat menyatakan ada tidaknya
sesuatu keadaan hukum tertentu. Bunyi keputusan itu misalnya :
“Memutuskan :
Menyatakan sebagai hukum, bahwa si A adalah pemilik dari tanah ini atau si A
adalah anak sah dari B”.
v Keputusan yang condemnatoir
yaitu keputusan Hakim yang sifatnya menjatuhkan hukuman atau peradilan
terhadap seseorang. Bunyi keputusan itu misalnya :
“Memutuskan :
Menghukum tergugat untuk membayar penggantian kerugian sekian rupiah”.
v Keputusan yang konstitutif
yaitu keputusan yang bersifat
menghapuskan, memutus atau mengubah sesuatu keadaan hukum tertentu, atau
dijadikan keadaan hukum yang baru. Misalnya, suatu perkawinan dinyatakan batal,
atau suatu perjanjian diputuskan atau seseorang dinyatakan dalam keadaan pailit
dan lain sebagainya.
Jenis keputusan ke 2 dan ke 3 tak dapat tidak memuat
juga unsur-unsur yang bersifat declaratoir
, sebab lebih dahulu ada keadaan atau hubungan hukum tertentu yang dinyatakan
adanya, lantas baru dapat diputuskan sesuatu hukuman atau adanya keadaan hukum
baru.
H.
Pelaksanaan Putusan
Apabila suatu putusan Hakim telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, maka hubungan hukum tersebut telah ditetapkan untuk
selama-lamanya dan karenanya sudah tidak dapat dirubah lagi.
Adapun dimaksudkan oleh pembuat undang-undang bahwa
putusan Pengadilan yang sudah tidak dapat dirubah lagi itu, ditaati secara
sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu maka perkataan “eksekusi” atau
pelaksanaan, sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau
mantaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.
Untuk menjalankan putusan Hakim sering diperlukan
upaya-upaya tertentu, yaitu :
1. Eksekusi riil
Yakni sungguh-sungguh dijalankan
seperti yang diputuskan, misalnya terhukum harus mengosongkan rumah yang
ditempatinya. Jika tidak mau, ia dengan kekerasan (dengan bantuan kekuatan umum
yaitu polisi) dikeluarkan dari rumah itu.
2. Pensitaan
Yaitu barang milik terhukum untuk
dilelang, ini dalam hal keputusan Hakim itu menghukum untuk membayar sejumlah
uang.
3. Uang pemaksa
Yakni dalam keputusan juga
ditentukan bahwa terhukum harus membayar sejumlah uang, tiap-tiap kali ia tidak
memenuhi apa yang diputuskan itu. Uang pemaksa hanyalah diperlukan terhadap
suatu diktum yang tidak dapat diwujudkan tanpa bantuan si tergugat/terhukum,
misalnya penghukuman membuat suatu pertanggungan jawab. Lembaga ini
pengaturannya terdapat di dalam R.V., namun didalam yurisprudensi diperbolehkan
dipakai dalam prosedur di muka Pengadilan Negeri.
I.
Sifat/Karakteristik
Hukum Acara Perdata
Hukum
acara perdata yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan sederhana
(tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis disamping juga hukum yang
tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa
(kata “merasa” perlu digaris bawahi) haknya dilanggar berhak untuk
menuntut di pengadilan atau orang yang “dirasa” melanggar hak dituntut
dipengadilan. Dengan kata “merasa” dan “dirasa” ini menunjukan bahwa belum
tentu orang tersebut dilanggar haknya dan melanggar hak orang lain.
Orang
yang merasa haknya dilanggar disebut dengan Penggugat. Sedang orang yang
dirasa melanggar hak Penggugat dan ditarik sebagai pihak dimuka pengadilan
disebut sebagai Tergugat.
Apabila
dalam satu perkara terdapat banyak Penggugat, maka disebut dengan Penggugat I,
Penggugat II dan seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para Penggugat.
Demikian juga dengan Tergugat disebut dengan Tergugat I, Terugat II dan
seterusnya yang kesemuanya disebut dengan Para Tergugat.
Sedangkan
apabila terdapat pihak yang dalam praktek disebut dengan Turut Tergugat yang
merupakan pihak yang tidak menguasai barang sengketa tapi harus diikutsertakan
untuk melengkapi gugatan dan biasanya hanya berkewajiban untuk mematuhi isi
putusan.
ANALISIS
Hukum
Perdata (privat/pribadi) adalah suatu aturan yang bersifat mengikat dan memaksa
yang apabila dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata, serta
mengatur hubungan antarmanusia, baik terhadap manusia maupun terhadap
lingkungannya yang berisi tentang perintah dan larangan serta hak dan kewajiban.
Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah kumpulan
atau himpunan peraturan hukum yang mengatur perihal tata cara pelaksanaan hukum
perdata atau penerapan peraturan-peraturan hukum dalam prakteknya, tentang bagaimana cara menuntut atau mempertahankan hukum
formil, serta bagaimana cara pengaduan serta syarat-syarat apa yang perlu
dilakukan. Hukum acara perdata di Indonesia bersumber pada tiga
kodifikasi hukum, yakni :
1.
Reglemen Hukum Acara
Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura (Reglement op de
burgerlijke recht-svordering).
2.
Reglemen Indonesia
yang dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura
(Herziene Inlandsch Reglement = HIR), sekarang diganti oleh kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3.
Reglemen Hukum untuk
daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan indonesia di daerah luar
Jawa dan Madura (Rechtreglement Buitengewesten).
Dari ketiga sumber
yang di kondifikasi hukum tersebut terdapat ketidak mengertian yang berlaku
bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura maupun yang berada di luar dari Jawa dan
Madura. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pembahasan mengenai ketiga sumber tersebut
pada buku referensi pembuatan makalah ini yang menurut kelompok menjadi suatu
yang kurang jelas. Kurangnya pembahasan tidak hanya dari sumber referensi buku
akan tetapi juga kurangnya sumber dari internet.
Kendala yang lain yang
kelompok rasakan pun mengenai bahasa yang digunakan sulit untuk dipahami dan
sebab-sebab mengapa Reglemen Hukum Acara Perdata hanya berlaku di wilayah Jawa
dan Madura. Serta sebab-sebab mengapa Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB)
diganti oleh kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari bab diatas maka penulis menyimpulkan :
-
Hukum
Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata. Fungsinya menyelesaikan
masalah dalam mempertahankan kebenaran hak individu. Perkara perdata yang
diajukan oleh individu untuk memperoleh kebenaran dan keadilan wajib
diselesaikan oleh hakim dengan kewajaran sebagai tugasnya.
-
Hukum acara perdata
di Indonesia bersumber pada tiga kodifikasi hukum, yakni :
1.
Reglemen Hukum Acara
Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura (Reglement op de
burgerlijke recht-svordering).
2.
Reglemen Indonesia
yang dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura
(Herziene Inlandsch Reglement = HIR), sekarang diganti oleh kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3.
Reglemen Hukum untuk
daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan indonesia di daerah luar
Jawa dan Madura (Rechtreglement Buitengewesten).
-
Dalam hukum acara
perdata dikenal lima macam alat pembuktian (cara pembuktian) yaitu :
a.
Bukti tertulis
b.
Bukti saksi
c.
Persangkaan
d.
Pengakuan sumpah
-
Dalam mengajukan
gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam mengajukan
gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:
1.
Asas Hakim Aktif
2. Asas Hakim Pasif
3. Asas Terbukanya Pengadilan
4. Asas Mendengarkan Kedua
Belah Pihak
5. Asas Tidak Ada Keharusan
Mewakilkan
B. Saran
Dengan adanya hukum acara perdata, agar dapat
menjalankan sesuai dengan fungsinya menyelesaikan masalah
dalam mempertahankan kebenaran hak individu. Perkara perdata yang diajukan oleh
individu untuk memperoleh kebenaran dan keadilan wajib diselesaikan oleh hakim
dengan kewajaran sebagai tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djamali, Abdoel. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Hadisoeprapto, Hartono. 1982. Pengantar
Tata Hukum Indonesia (PTHI). Yogyakarta : Liberty, Yogyakarta.
Kansil, dan Cristine S.T. Kansil. 2003. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Projodikoro, Wirjono. 1992. Hukum
Acara Perdata di Indonesia. Bandung: “Sumur Bandung”.
Sudarsono. 1991. Pengantar Tata
Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Renika Cipta.