TUGAS INDIVIDU
Mata Kuliah Hukum Islam
“Muamalat Tentang Jual Beli”
DOSEN :
Dra.
Hj. Fatimah, M. Hum
Disusun
Oleh :
HAIRINA
WASLIAH (A1A213024)
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015
PEMBAHASAN
MUAMALAT (JUAL-BELI)
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa artinya
“menukar sesuatu dengan sesuatu”, sedang menurut syara’ artinya menukar harta
dengan harta menurut cara-cara tertentu (aqad’).
Jual beli secara lughawi adalah saling
menukar. Jual beli dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-bay’. Secara
terminologi jual beli adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual
dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakatinya.
Seperti firman Allah sebagai berikut :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (QS. An-Nisa ayat 29)
Menurut syari’at islam jual beli adalah
pertukaran harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan hak miliknya
dengan ganti yang dapat dibenarkan. Jual-beli atau bay’u adalah suatu kegiatan
tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu baik
dilakukan dengan menggunakan akad maupun tidak menggunakan akad. Intinya,
antara penjual dan pembeli telah mengetahui masing-masing bahwa transaksi
jual-beli telah berlangsung dengan sempurna.
Pengertian jual beli menurut para ahli,
adalah sebagai berikut :
a. Menurut
ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus
(yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib
asy-Syara’i, juz 5, hal. 133)
b. Menurut Imam
Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. (Muhammad
asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c. Menurut Ibnu
Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk saling
menjadikan milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d. Tukar
menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan
sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh
al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e. Menukar
barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh
al-Syafi’iyah)
f. Saling tukar
harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul dengan
cara yang sesuai dengan syara. (Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
g. Penukaran
benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan hak milik
dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal. 126)
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa
jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda
dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan syara’ dan disepakati.
B. Landasan Hukum Jual Beli
Landasan
syara’ jual beli itu di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Yang diuraikan sebagai berikut :
a) Berdasarkan
Al-Qur’an diantaranya :
ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ
إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ
وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ
هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah ayat 275)
Selain itu Allah juga berfirman di dalam
surah An-Nisa ayat 29 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa ayat 29)
b) Berdasarkan
Sunnah
Rasulullah SAW,
Bersabda :
“ dari Rifa’ah bin Rafi’ ra.:
bahwasannya Nabi SAW. Ditanya : pencarian apakah yang paling baik?, Beliau
enjawab: “ialah orang yang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli
yang bersih”. (H.R. Al-Bazzar dan disahkan Hakim)
Rasulullah Saw, bersabda:
“sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka (saling meridhoi)
(HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).
c)
Berdasarkan Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli
diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau harta milik
orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.
C. Rukun jual beli
Dalam
menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat.
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan
pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Adapun
rukun jual-beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
a.
Bai’ (penjual)
b.
Mustari (pembeli)
c.
Shighat (ijab dan qabul)
d.
Ma’qud ‘alaih (benda atau
barang).
D. Syarat jual beli
Transaksi
jual-beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi tiga syarat jual-beli,
yaitu:
a)
Adanya dua pihak yang
melakukan transaksi jual-beli,
b)
Adanya sesuatu atau barang yang dipindahtangankan dari
penjual kepada pembeli,
c)
Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi
jual-beli (sighat ijab qabul). Ijab secara harfiah (literal)
berarti mengharuskan. Jika dikatakan wajabal bay’u wujûban wa awjabahu, maka
artinya lazima wa alzama (harus dan mengharuskan). Ijab adalah apa yang terlontar dari
pihak penjual, yang menunjukkan kerelaannya untuk
berjual beli, baik dilontarkan terlebih dahulu atau tidak. Sedangkan qabul
adalah apa yang terlontar dari pihak pembeli yang menunjukkan kerelaannya untuk
berjual beli, baik dilontarkan terlebih dahulu atau kemudian. Sebagaimana ijab,
qabul juga berlangsung dengan menggunakan setiap lafaz, atau perbuatan yang
menunjukkan ijab dan qabul tersebut dengan jelas.
Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan
pembeli adalah :
1)
Agar tidak terjadi
penipuan, maka keduanya harus berakal sehat dan dapat membedakan (memilih).
Orang gila tidak sah jual belinya.
2)
Dengan kehendak sendiri
(bukan paksaa), keterangannya yaitu sesuai dengan ayat di atas QS. An-Nisa ayat
29 (suka sama suka).
3)
Dewasa atau baligh,
(berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun
anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat
sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena
kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan atau kesukaran,
sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang
mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
4)
Tidak mubazir (pemboros),
sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya. Seperti firman Allah SWT
:
وَلَا
تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ
فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥
Artinya : “Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (QS. An-Nisa ayat 5).
Syarat benda dan uang yang diperjual belikan
sebagai berikut :
1.
Bersih atau suci barangnya,
barang najis tidak sah untuk dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk
dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak, anjing,
babi, khomar dan lain-lain yang najis,
2.
Ada manfaatnya, tidka boleh
menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Misalnya seperti jual beli lalat,
nyamuk dan lain-lain. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu
termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam
kitab suci. Seperti dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
إِنَّ
ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ
لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا ٢٧
Artinya :
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan
itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.(QS. Al-Isra ayat 27)
3.
Barang itu dapat dikuasai
atau dapat diserahkan, tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya
jual beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan dapat ditangkap
lagi, atau barang yang sudah hilang atau barang yang sulit mendapatkannya,
barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, misalnya ikan dalam laut,
barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang
sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan). Seperti
dalam hadits berikut ini :
Dari Abu
Hurairah. Ia berkata, “ Nabi SAW telah melarang menjual-belikan barang yang
mengandung tipu daya’. (riwayat Muslim dan lain-lainnya).
4.
Milik sendiri: tidak sah menjual barang orang lain
dengan tidak seizinnya, atau barang yang hanya baru akan dimilikinya atau baru
akan menjadi miliknya.
5.
Mestilah diketahui kadar barang atau benda dan harga
itu, begitu juga jenis dan sifatnya. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya
saja dalam janji (tanggungan), maka hukumnya boleh.
E. Hukum Jual beli
Secara asalnya, jual-beli itu
merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam
Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah
mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila
jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW.
F. Macam-macam jual beli
Menurut para jumhur ulama jual beli
dapat ditinjau dari beberapa segi, di lihat dari segi hukumnya, jual beli ada
dua macam yaitu :
a.
Jual beli yang sah
Jual beli yang sah adalah jual beli
yang telah memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, syarat
jual beli antara lain :
1. Barangnya
suci
2. Bermanfaat
3. Milik
penjual (dikuasainya )
4. Bisa di
serahkan
5. Di ketahui
keadaannya
b. Jual beli yang batal
Jual beli yang batal adalah jual beli yang tidak
memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid).
Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang
sama. Adapun ulama hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah,
batal, dan rusak.
c.
Jual beli yang di larang dalam islam
Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah
banyak menurut jumhur ulama. Berkenaan dengan jual beli yang di larang
dalam islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut :
(1)Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad )
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan
sahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dan dapat memilih, dan
mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang di pandang tidak sah
jual belinya adalah berikut ini :
1)
Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah. Begitu pula
sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.
2)
Jual beli anak kecil
Menurut ulama fiqih jual beli anak kecil di pandang tidak sah, kecuali
dalam perkara – perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual
beli anak mimayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab tidak ada ahliyah. Adapun
menurut ulama Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah, jual beli anak-anak kecil
dianggap sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu
cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan cara memberikan keleluasaan
untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah, yang artinya:
وَٱبۡتَلُواْ
ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ
رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافٗا
وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّٗا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ
فَقِيرٗا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ
أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٦
Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah
ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu)
bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”. (QS.
An-Nisa ayat 6)
3)
Jual beli orang buta
Jual beli orang buta di kategorikan sahih munurut jumhur ulama jika barang
yang dibelinya diberi sifat ( diterangkan sifat-sifatnya ). Menurut Safi’iyah,
jual beli orang buta tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang
jelek dan yang baik.
4)
Jual beli terpaksa
Menurut ulama Safi’iyah dan Hanabilah, jual beli ini tidak sah , sebab
tidak ada keridaan ketika akad.
5)
Jual beli fudhul
Adalah jual beli milik orang tanpa seizinnya. Munurut Hanafiyah dan
Malikiyah, jual beli di tangguhkan sampai ada izin pemilik. Menurut Safi’iyah
dan Hanabilah, jual beli fudhul tidak sah.
6)
Jual beli orang yang terhalang
Maksudnya adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit.
(2)Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (
barang jualan )
a.
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang di jadikan
alat pertukaran olah Jual-beli benda yang tidak ada atau di khawatirkan tidak
ada
orang yang akad, yang biasa di sebut mabi’ (barang
jualan) dan harga.
b.
Jual-beli barang yang tidak dapat di serahkan
c.
Jual-beli gharar ataui di sebut juga dengan jual beli
yang tidak jelas (majhul)
d.
Jual-beli barang yang najis dan yang terkena najis.
e.
Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad (ghaib),
tidak dapat dilihat.
(3) Terlarang sebab syara’
a. Jual-beli riba
b. Jual-beli barang yang najis
Barang yang
diperjual belikan harus suci dan bermanfaat untuk manusia. Tidak boleh (haram)
berjual beli barang yang najis atau tidak bermanfaat seperti: arak, bangkai,
babi, anjing, berhala, dan lain-lain.
Nabi saw.
Bersabda ;
اِنّ ا للهَ
تعالى حَرَّم بَيْعَ اْلخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ
وَالأَصْنَامِ . (رواه الشيغان
Artinya : “ Nabi bersabda : Allah ta’ala melarang jual
beli arak, bangkai, babi, anjing, dan berhala.”(bukhari dan muslim)
c.
Jual-beli dengan uang dari barang yang diharamkan
d.
Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang
e.
Jual-beli waktu ibadah sholat jum’at, berdasarkan Q.S.
Al Jumu’ah ayat 9, yaitu:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ
إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ ٩
Artinya : “Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475].
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Jumu’ah ayat
9)
f.
Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar
g.
Jual-beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
h.
Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
i.
Jual-beli memakai syarat.
DAFTAR
RUJUKAN
AL-QUR’AN
Dhan Shei. 2012. Makalah
pai tentang muamalah jual beli. (Online). Tersedia di : http://www.slideshare.net/dhanshei/makalah-pai-tentang-muamalah-jual-beli-14851959
Rasjid, Sulaiman. 2013. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru
Algensindo.
Suhendra. 2013. Makalah
jual beli dalam islam. (Online). Tersedia di : http://suhendraaw.blogspot.com/2013/06/makalah-jual-beli-dalam-islam.html
Yunus
Mahmud, Naimi Nadlrah, 2011, Fiqih Muamalah, Ratu Jaya, Medan.