Kamis, 06 Agustus 2015

PENUNTUTAN OLEH PENUNTUT UMUM DALAM HUKUM ACARA PIDANA




MAKALAH INDIVIDU
HUKUM ACARA PIDANA
(ABKA 2601)
PENUNTUTAN OLEH PENUNTUT UMUM DALAM HUKUM ACARA PIDANA


Dosen Pengajar :
Drs. Zainul Akhyar, MH






Disusun Oleh:
Hairina Wasliah         A1A213024
      
           

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
BANJARMASIN
2015


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah Hukum Acara Pidana yang berjudul “Penuntutan oleh Penuntut Umum Dalam Hukum Acara Pidana”.
Penyusunan makalah ini di buat dalam rangka memenuhi salah satu tugas dalam mempelajari mata kuliah Hukum Acara Pidana. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Zainul Akhyar, MH yang telah membimbing penulis pada mata kuliah Hukum Hukum Acara Pidana.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.




                                                            Banjarmasin, 17 Mei 2015


Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR     ................................................................................. i
DAFTAR ISI                                                                                                   ii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
        A. Latar Belakang   ................................................................................. 1       
        B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2       
        C. Tujuan Penulisan ...............................................................................  2      
        D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 2       
BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................... 4       
A.    Jaksa dan Penuntut Umum....................................................................... 4
B.    Fungsi dan Wewenang Penuntut Umum.................................................. 7
C.    Tahapan Penuntutan         ......................................................................... 8
D.    Prapenuntutan dan Penuntutan................................................................. 9
E.     Persiapan Pelimpahan Perkara ke Pengadilan serta Pelimpahan Perkara ke Pengadilan                        ........................................................................ 16      
F.     Analisis Kasus yang Berkaitan dengan Penuntutan................................ 17
BAB III. PENUTUP                                                                                         20       
A.    Kesimpulan ...................................................................................... 20
B.    Saran                                                                                                   21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 22
                                                           







BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan yang semata-mata. Maka dari itu, Indonesia membutuhkan sebuah hukum yang hidup atau yang berjalan, dengan adanya hukum maka diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram, aman, damai serta teratur bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Hukum disini selain bertujuan untuk menciptakan ketentraman dimasyarakat, hukum juga sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam pembentukan suatu negara, berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat, karena hukum merupakan alat pengendalian sosial. Agar tercipta suasana yang aman, tentram, dan damai. Indonesia sebagai negara yang berdasar hukum, berarti harus mampu menjunjung tinggi hukum sebagai kekuasaan tertinggi di negara ini, sebagimana dimaksud konstitusi kita, Undang-Undang Dasar RI 1945. Selain itu hukum tersebut juga harus ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga negara. Dalam rangka mewujudkan tujuan hukum yang ada dalam UUD 1945 maka, ada beberapa bagian hukum-hukum yang mengaturnya secara khusus, salah satunya adalah hukum acara pidana.
Hukum acara pidana merupakan keseluruhan ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian suatu perkara pidana yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan hingga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan pidana terhadap suatu kasus pidana.
Dengan banyaknya rentetan proses dalam penyelenggaraan peradilan pidana, maka perlu adanya penguraian lebih lanjut dari bagian-bagian proses penyelenggaraan hukum acara pidana tersebut. salah satunya adalah tentang penuntutan dalam hukum acara pidana tersebut. sehingga pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang penuntutan dalam hukum acara pidana.

B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.   Apa yang dimaksud jaksa dan penuntut umum ?
2.   Apa saja fungsi dan wewenang penuntut umum ?
3.   Bagaimana tahapan-tahapan dalam penuntutan ?
4.   Apa yang dimaksud dengan prapenuntutan dan penuntutan ?
5.   Bagaimana proses yang dilakukan dalam persiapan pelimpahan perkara ke pengadilan serta pelimpahan perkara ke pengadilan ?
6.   Bagaimana analisis contoh kasus penuntutan dalam perkara pelanggaran tindak pidana pembunuhan ?

C.  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui apa itu jaksa dan penuntut umum
2.     Untuk mengetahui fungsi dan wewenang penuntut umum
3.     Untuk mengetahui tahapan-tahapan dalam proses penuntutan
4.     Untuk mengetahui tentang prapenuntutan dan penuntutan
5.     Untuk mengetahui proses persiapan pelimpahan perkara ke pengadilan serta pelimpahan perkara ke pengadilannya
6.     Untuk mengetahui contoh kasus penuntutan dalam perkara pembunuhan.

D.  Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diantaranya :
1.   Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengatahuan tentang Penuntutan oleh Penuntut Umum dalam Hukum Acara Pidana pada mata kuliah hukum acara pidana.
2.   Dapat dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan, serta
3.   Memberikan informasi baik bagi penulis maupun pembaca.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Jaksa Dan Penuntut Umum
1.   Pengertian istilah jaksa
Menurut ketentuan pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, yang dimaksud dengan jaksa, adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan pengertian diatas, maka yang menjadi kewenangan seorang jaksa ialah untuk bertindak sebagai penuntut umum dan bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan (eksekutor).
2.   Pengertian istilah penuntut umum
Pasal 1 angka 6 b KUHAP, menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang  oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dari perumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum. Atau dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah jaksa.karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasistasnya sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan.
Menurut hemat penulis pengertian penuntutan yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, beliau merumuskan penuntutan adalah sebagai berikut :”menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana ialah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa” (Wirjono Prodjodikoro, 1962 : 33).
Jaksa dalam menangani tugasnya mengenal tahapan pelaksanaan tugas yang terdiri dari : pelaksanaan tugas prapenuntutan, pelaksanaan tugas penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam penanganan tugasnya tersebut, hanya dalam tahap penuntutan sajalah seorang jaksa disebut sebagai jaksa penuntut umum, yang dalam praktek disebut sebagai jaksa penuntut umum, sedang dalam hal jaksa manangani tugas-tugas prapenuntutan sebenarnya jaksa tersebut belum bertindak sebagai penuntut umum.
Secara tekns administratif, seorang jaksa baru dapat bertindak sebagai penuntut umum sejak terhadapnya diterbitkan surat perintah penunjukkan jaksa penuntut umum untuk menyelesaikan perkara (PK-5A). Secara teknis yustisial ia baru bertindak sebagai penuntut umum sejak ia melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ia tidak lagi bertindak sebagai penuntut umum, tetapi ia bertindak dalam kapasitasnya sebagai jaksa. Karena tugas penuntut berakhir apabila dalam suatu perkara telah dijatuhkan putusan dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.   Jaksa sebagai Penuntut Umum
Dalam kekuasaan penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan penyidikan, maka dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Apabila dalam penyidikan, banyak lembaga lain yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, maka kewenangan untuk menjalankan penuntutan terhadap semua tindak pidana yang masuk dalam lingkup Peradilan Umum hanya dapat dilakukan oleh kejaksaan.
Hal tersebut merupakan salah satu konsekuensi dari Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Eropa kontenental karena dalam sistem penuntutan modern di berbagai negara yang menganut sistem Eropa Kontenental penuntutan pidana memang dimonopoli oleh negara yang diwakili oleh jaksa. Hal tersebut berbeda dengan sistem penuntutan di negara yang menganut sistem Anglosaxon seperti negara Inggris, Thailand dan Belgia yang masih memungkinkan adanya penuntutan pidana oleh perseorangan secara pribadi langsung ke pengadilan.
Selain itu, sesuai dengan asas dominus litis, maka penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya berada di satu tangan yaitu kejaksaan. Dalam hal inilah, Penuntut Umum menentukan suatu perkara hasil penyidikan yang tertuang dalam berkas perkara sudah lengkap ataukan masih kurang lengkap. Apabila berkas perkara telah lengkap, maka Penuntut Umum akan menerima penyerahan tersangka dan barang bukti, membuat Surat Dakwaan dan melimpahkannya ke pengadilan. Apabila berkas perkara belum lengkap, maka Penuntut Umum akan memberikan petunjuk kepada penyidik untuk segera melengkapi berkas perkara agar dapat dilimpahkan ke pengadilan.
Dengan demikian, peranan Penuntut Umum dalam hal pembuktian sangatlah penting, karena pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan merupakan tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut Umum. Dalam hal ini, sistem pembuktian dalam hukum pidana di hampir semua negara di dunia memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.
Adanya beban pembuktian pada Penuntut Umum tersebut menyebabkan penuntut umum harus selalu berusaha menghadirkan minimum alat bukti di persidangan. Berdasarkan pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dengan demikian, untuk dapat menyatakan seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan Hakim dan menjadi beban penuntut umum untuk dapat menghadirkan minimum dua alat bukti tersebut di persidangan untuk memperoleh keyakinan Hakim.
Bagi penuntut umum, pembuktian merupakan faktor yang sangat menentukan dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya. Hal tersebut berbeda dengan advokat atau engacara dalam kemampuannya sebagai penasehat hukum, maka pembuktian merupakan faktor yang menentukan dalam rangka melakukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa selaku kliennya.

B.  Fungsi dan Wewenang Penuntut Umum
KUHAP menganut sistem differensiasi dan spesialisasi fungsional yang telah diatur sedemikian rupa mekanisme dan proseduralnya, sehingga differensiasi dan spesialisasi tersebut terkait erat satu sama lain dalam suatu kerangka yang disebut Integrated Criminal Yustice System.
Menurut Jaksa Agung RI Sukarton Marmosudjono (Alm) bahwa yang dimaksud dengan Integrad Criminal Justice System adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (Administration of Criminal Justice System) pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan , pengadilan, dan Lembaga Permasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut diatas, sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan (Sukarton Marmosudjono Alm, 1989 : 30 ). Dalam hubungannya dengan sistem peradilan perkara pidana terpadu, untuk menangani hasil-hasil penyidikan yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka pada tahap penuntutan kepada penuntut umum diberikan wewenang penanganan lebih lanjut atas hasil penyidikan tersebut.
Sesuai dengan ketentuan pasal 14 KUHAP, penuntut umum memiliki wewenang :
a.    Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyelidik pembantu;
b.   Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.    Memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.   Membuat surat dakwaan;
e.    Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f.    Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa aupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.   Melakukan penuntutan;
h.   Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i.     Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j.     Melaksanakan penetapan hakim.

C.  Tahapan Penuntutan
Ketika pemeriksaan pendahuluan telah selesai dilakukan, maka untuk selanjutnya adalah tahapan penuntutan. Tahapan ini merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara pidana sebelum hakim memeriksanya di sidang pengadilan. Penuntutan itu sendiri merupakan kegiatan melimpahkan perkara pidana kepengadilan, didalam melimpahkan perkara itu tidak sekedar membawa perkara kepengadilan tapi ada beberapa hal yang dilakukan sebelum perkara itu disampaikan kepengadilan.
Sebelum jaksa melimpahkan perkara pidana kepengadilan dan kemudian melakukan penuntutan, seorang penuntut umum wajib mengambil langkah-langkah seperti :
a.    Menerima dan memeriksa berkas perkara,
b.   Mengadakan pra penuntutan, apabila ada kekurangan pada penyidikan dan segera mengembalikan berkas kepada penyidik dengan memberikan petunjuk untuk penyempurnaannya (waktunya 7 (tujuh) hari untuk wajib mmberi tahukan kekurangannya),
c.    Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik,
d.   Membuat surat dakwaan,
e.    Melimpahkan perkara kepengadilan,
f.    Menyampaikan pemberitahuan kepada tersangka tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi,
g.   Melakukan penuntutan,
h.   Menutup perkara demi kepentingan hukum,
i.     Melakukan tindakan lain dalam ruang dan tanggung jawab sebagai penuntut umum,
j.     Melaksanakan putusan hakim.

D.  Prapenuntutan dan Penuntutan
a)   Prapenuntutan
Harun M. Husein berpendapat bahwa yang dimaksud dengan prapenuntutan adalah kewenangan penuntut umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan dilakukannya dalam suatu perkara, dengan cara mempelajari/meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan apakah persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. bila dari hasil penelitian itu ternyata bahwa persyaratan untuk melakukan penuntutan telah terpenuhi, maka ia memberitahukan kepada penyidik bahwa hasil penyidikan itu sudah lengkap. Sebaliknya bila ternyata hasil penyidikan belum memenuhi persyaratan-persyaratan penuntutan, maka ia akan mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunujuk guna melengkapinya.
Kelengkapan hasil penyidikan itu sangat menentukan keberhasilan penuntutan, oleh karena itu penuntut umum harus benar-benar teliti dan jeli dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara yang bersangkutan. Apabila penuntut umum kurang cermat dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara, maka kekurang lengkapan hasil penyidikan yang lolos dari penelitian akan merupakan kelemahan yang merupakan “cacat” yang akan terbawa ketahap penuntutan. Dengan sendirinya hal itu merupakan kelemahan pula dalam melakukan penuntutan perkara yang bersangkutan.
Apabila penuntut umum telah menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap, kemudian ternyata bahwa masih ada hal-hal yang belum lengkap, maka kekurangan tersebut tidak dapat dilengkapi lagi. Karena apabila penuntut umum telah menyatakan lengkap, atau dalam batas waktu 14 hari tidak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, maka penyidikan dianggap selesai.
Untuk kecermatan penelitian berkas perkara hasil penyidkan yang diterima dari penyidik, Jaksa Agung RI. Telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor : SE-013/J. A/8/1982 tanggal 20 Agustus 1982 tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan pada tahap prapenuntutan dan Instruksi Nomor “INS-006/J.A/7.1986 tanggal 15 Juli 1986 tentang petunjuk pelaksanaan administrasi teknis yudisial perkara pidana umum.  Surat edaran dan instruksi Jaksa Agung tersebut dalam praktek penelitian berkas perkara oleh para jaksa penuntut umum peneliti dijasikan sebagai pedoman utama di samping ketentuan-ketentuan lainnya KUHAP maupun KUHP dan lain-lain peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tugas-tugas prapenuntutan dan penuntutan. 
Untuk mempermudah pelaksanaan mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara, dalam praktek digunkan sarana bantu berupa Check List Penelitian Berkas Perkara Tahap Pertama.
1)   Penelitian berkas perkara
a.    Penelitian kelengkapan syarat formil, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan tindakan-tindakan dalam penyidikan. Syarat ini berupa prosedur dan tata cara yang harus dipenuhi untuk keabsahan tindakan penyidik.
b.   Kelengkapan syarat materil, yaitu mengenai kelengkapan berkas perkara yang meliputi :
                                i.    Adanya perbuatan yang melawan hukum,
                              ii.    Adanya kesalahan (sengaja atau kelalaian),
                            iii.    Adanya minimal dua alat bukti yang sah yang dapat mendukung atau membuktikan perbuatan dan kesalahan tersangka,
                             iv.    Adanya alat buktiyang menunjukkan tempus delicti (daluarsa atau tidaknya hak untuk melakukan penuntutan dan jenis delik),
                               v.    Adanya alat bukti yang menunjukkan locus delicti (menentukan kejaksaan mana/pengadilan negeri mana yang berwenang melakukan penuntutan/mengadili perkara),
                             vi.    Kejelasan tentang peran pelaku,
                           vii.    Apabila dalam penelitian ternyata bahwa tindak pidana itu termasuk tindak pidana khusus, bila berkas perkara belum lengkap, berkas perkara tidak perlu dikembalikan.
Apabila dari hasil penelitian tersebut ternyata berkas perkara tersebut telah mencukupi segala persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan, maka jaksa penuntut umum menyatakan bahwa hasil penyidikan perkara yang bersangkutan sudah lengkap dengan menerbitkan PK-1 (pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap). Sebaliknya, apabila menurut hasil penelitian jaksa penuntut umum hasil penyidikan perkara itu belum lengkap, penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dengan menerbitkan PK-2 (pemberitahuan bahwa hasil penyidikan belum lengkap). Kemudian berkas perkara yang dinyatakan belum lengkap itu disertai dengan petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, dengan menerbitkan PK-3 (pengembalian berkas perkara).
Sesuai dengan ketentuan pasal 110 ayat 3 jo. Pasal 138 ayat 2 KUHAP, dalam hal demikian penyidik wajib melaksanakan pemeriksaan tambahan dan menyampaikan kembali berkas perkara yang telah dilengkapi dengan hasil pemeriksaan tambahan itu kepada penuntut umum dalam batas waktu 14 hari setelah diterimanya pegembalian berkas perkara dari penuntut umum.
2)   Penelitian atas tersangka dan barang bukti
Pada penyerahan tahap kedua yakni penyerahan tersangka dan barang bukti, sekali lagi penuntut umum melakukan penelitian, yakni penelitian terhadap tersangka dan barang bukti yang diserahkan oleh penyidik tersebut. Hal-hal yang diteliti pada penyerahan tahap kedua ini meliputi:
a.    Identitas tersangka,
b.   Penelitian sejauh mana kebenaran keterangan tersangka sebagimana diuraikan dalam berita acara pemeriksaan tersangka,
c.    Dalam melaksanakan penelitian terhadap tersangka, penuntut umum memeperhatikan ketentuan sebagimana digariskan dalam penjelasan pasal 14 huruf i KUHAP,
d.   Penelitian barang bukti dilakukan dengan cara meneliti secara fisik barang bukti yang bersangkutan dengan melakukan pencatatan data barang bukti tersebut dalam Berita Acara Penelitian Benda Sitaan (B-1),
e.    Pelaksanaan penelitian barang bukti dilakukan bersama-sama dengan penyidik dan dihadiri oleh saksi-saksi,
f.    Dalam penelitian diminta pula keterangan tersangka mengenai barang bukti,
g.   Setelah selesai melaksanakan penelitian, disamping dibuat berita acara penelitian benda sitaan, (B-1), dipuat pula kartu barang bukti (B-4) dan label barang bukti (B-5) yang dilekatkan pada barang bukti yang bersangkutan,
h.   Khusus bagi barang bukti yang bernilai tinggi (misal emas, uang, intan atau bahan narkotika) penyimpanannya dilakukan dengan cara menitipkannya kepada bank pemerintah,
i.     Barang bukti yang karena besarnya, beratnya maupun karena sifatnya tidak mungkin disimpan dirumah penyimpanan benda sitaan negara dititipkan pada instansi yang bersangkutan, umpamanya kapal dititipkan pada pihak Syahbandar.
Dengan terlaksananya penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum, maka tanggung jawab yuridis atas tersangka dan barang bukti tersebut, beralih kepada penuntut umum. Maka tugas itulah tugas penyidikan suatu perkara benar-benar telah rampung/tuntas dan beralih ke tahap penuntutan.
3)   Penelaahan ketentuan pidana
Setelah penuntut umum menerima penyerahan tersagka dan barang bukti dari penyidik, maka seluruh proses penyidikan telah berakhir dan proses perkara pidana bersangkutan memasuki tahapan baru yaitu tahap penuntutan.
Dalam Rakergab Makehjapol I tahun1984 dinyatakan bahwa pelimpahan perkara ke pengadilan adalah kelanjutan daripada penyidikan, maka selanjutnya penuntut umumlah yang berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dalam arti bahwa perbuatan terdakwa adalah perbuatan pidana yang harus dikenai sanksi. Karenanya demi keberhasilan pembuktian kesalahan terdakwa di pengadilan, maka tidak tertutup kemungkinan penuntut umumdapat mendakwakan pasal-pasal lainnya di samping yang telah dipersangkakan oleh penyidik.
Di samping itu penuntut umum tidak terikat kepada dakwaan berdasarkan hasil penyidikan yang dibuat oleh penyidik, karena mungkin saja penuntut umum berpendapat dakwaan yang dibuat oleh penyidik kurang memenuhi persyaratan, misalnya penyidik beranggapan perbuatan terdakwa melanggar pasal 352 KUHP, tetapi berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang dibuat penyidik dihubungkan pula dengan visum et repertum yang ada, penuntut umum berkesimpulan pasal 351 KUHP lah yang lebih tepat dakwaannya, sehingga dalam pelimpahan perkara di pengadilan negeri, penuntut umum membuat dakwaan berdasarkan pasal 351 KUHP (A. Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987 : 16).
Praktek penyusunan dakwaan demikian tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, sepanjang pasal pidana yang ditetapkan oleh penuntut umum tersebut didukung oleh hasil penyidikan. Pangkal tolak penyusunan dakwaan demikian bermuara pada yurisprudensi yakni putusan Mahkamah Agung Nomor. 47 K/Kr/1956 tanggal 28 maret 1957, yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang menjadi dasar tuntutan pengadilan ialah surat tuduhan, jadi bukan tuduhan yang dibuat oleh polisi. Maksud yurisprudensi ini, ialah bahwa pengadilan memeriksa dan memutuskan suatu perkara berdasarkan surat akwaan yang dibuat oleh penuntut umum.
Penambahan atau penyempurnaan pasal-pasal pidana yang dilakukan penuntut umum tersebut, maksudnya ialah untuk mencegah lolosnya terdakwa dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya. Meskipun demikian, mengingat bahwa merupakan hak tersangka/terdakwa untuk mengetahui tindak pidana apa yang dipersangkakan/didakwakan kepadanya, maka sebaiknya perbaikan, penambahan maupun perubahan pasal-pasal pidana tersebut dilakukan pada tahap prapenuntutan. Sehingga dengan cara demikian, terlihat jelas adanya korelasi yang saling mendukung antara hasil penyidikan dan penuntutan.
b)  Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan. Menurut Wirjono menuntut seorang tedakwa dimuka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. Tujuan melakukan penuntutan adalah untuk mendapatkan penetapan dari penuntut umum, tentang adanya alasan yang cukup untuk menuntut seseorang terdakwa dimuka hakim. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadili (pasal 237) yang dimaksud dengan “daerah hukum” daerah dimana menjadi kewenangannya dalam melakukan penuntutan. Daerah hukum atau wilayah hukum kejaksaan negeri adalah sama dengan daerah hukum atau wilayah hukum pengadilan negeri. Wilayah suatu pengadila negeri adalah Kabupaten/kota. Pasal 141 menentukan bahwa penuntut umum dapat menggabungkan perkara dan membuatnya satu surat dakwaan, apabila pada waktu dan saat yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas. Penggabungan perkara ini dapat dilakukan apabila memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu:
1.   Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
2.   Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;
3.   Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Bahwa yang dimaksud dengan bersangkut paut satu dengan yang lain itu apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
a.    Oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
b.    Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat mereka sebelumnya;
Namun dalam pasal 142 justru memungkinkan melakukan pemisahan perkara, dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa perkara. Seperti kasus terorisme dan korupsi yang melibatkan banyak pejabat misalnya, menghentikan Penuntutan, menghentikan penuntutan berarti telah terjadi penuntutan namun karena terdapat beberapa hal seperti terdapat dalam pasal 140 ayat (2), karena tidak cukup bukti, ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum.

E.  Persiapan Pelimpahan Perkara ke Pengadilan Serta Pelimpahan Perkara ke Pengadilan
Setelah surat dakwaan tersusun dan sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan, penuntut umum masih perlu meneliti seluruh kelengkapan berkas perkara tersebut. penelitian itu, meliputi segi teknis administratif maupun segi teknis yustisial yang berkaitan dengan pelimpahan perkara tersebut.
Hal lain pula yang perlu diperhatikan pula, ialah masalah kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan megadili perkara tersebut. sebelum perkara dilimpahkan, harus sudah ditentukan secara pasti sesuai dengan ketentuan pasal 84 KUHAP, pengadilan negeri mana yang berwenang mengadili perkara tersebut.
Setelah penuntut umum mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelimpahan perkara ke pengadilan, tindak lanjutnya ialah melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri yang berwenang. Tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang, dengan permintaan agar perkara tersebut diperiksa dan diputuskan di sidang pengadilan, disebut penuntutan (pasal 1 angka 7 jo. Pasal 137 KUHAP).
Dalam sistem HIR, tindakan penuntutan dikatakan mengakhiri pengusutan (penyidikan). Karena dengan dilimpahkannya perkara tersebut, maka proses penanganan perkara pidana beralih dari tahap pengusutan memasuki tahap pemeriksaan sidang.

F.   Analisis Kasus yang Berkaitan dengan Penuntutan
“Kasus Pembunuhan, 4 Sekuriti PT. SRP Dituntut 2 Tahun Penjara”
Pangkalan Kerinci (SegmenNews.com)-  Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pangkalan Kerinci menuntut empat sekuriti PT Satria Rajawali Persada (SRP) dua tahun hukuman penjara.
Penuntutan tersebut dalam kasus pembunuhan pembunuhan Roni Aslan Hutajulu (25) sopir truk yang tewas disiksa. Empat sekuriti tersebut yakni, Frengki Pardede, Feri Arianto, Robin Saud Sihombing dan Suprianur.
Dalam sidang tuntutan, Selasa (16/12/14), dipimpin hakim Hendah Karmila Dewi SH MH didampingi dua hakim anggota Yopi Wijaya SH dan Wanda Andriyeni SH Mkn. JPU M Amin SH mewakilo Doly SH menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 351 KUHP ayat 3 junto pasal 55 KUHP, tentang penganiayaan bersama-sama yang menyebabkan orang meninggal dunia.
Walau dalam fakta persidangan para terdakwa saling membela dan menutup-nutupi kasus pembunuhan sopir truk yang tertangkap mencuri kabel di areal pabrik PT RAPP tersebut. Tapi standard operating procedure (SOP) tim Investigasi sekuriti PT SRP dala menangani pelaku terduga pencurian menyalahi aturan.
Pasalnya setelah mengamankan Roni yang dicurigai mencuri kabel, bukan langsung di serahkan ke pihak kepolisian. Tetapi malah disekap dan disiksa ke pos sekuriti PT RAPP. Dengan dalih untuk melakukan investigasi dan pemeriksaan pada terduga pelaku tersebut.
Maka imbasnya, Roni yang telah disekap dan disiksa oleh oknum sekuriti yang melakukan pengamanan di pabrik kertas terbesar di Asea itu akhirnya tewas, setelah di larikan ke rumah sakit. Akibat luka memar di dada dan kepala, serta pendarahan dibagian otak akibat hantaman benda tumpul dari keterangan otopsi dokter RS Bhayangkara Polda Riau.
Dengan pertimbangan dan fakta persidangan itulah JPU menuntut para terdakwa hukuman dua tahun penjara, usai mendegarkan tuntutan itu. Majelis hakim menunda sidang pekan depan, untuk mendegarkan pembelaan terdakwa yang akan disampaikan penasehat hukumnya Eva Nora SH MH.***(fin) dipost pada rabu, 17 Desember 2014

Analisis kasus :
Dari berita diatas mengenai kasus pembunuhan, 4 Sekuriti PT. SRP dituntut 2 Tahun penjara tersebut, dapat diperoleh keterangan-keterangan sebagai berikut :
a.      Kasus yang dilakukan adalah pembunuhan sopir truk oleh empat orang sekuriti PT. SPR
b.     Selaku terdakwa adalah : empat sekuriti PT. SPR (satria rajawali persada) yakni, Frengki Pardede, Feri Arianto, Robin Saud Sihombing dan Suprianur.
c.      Selaku korban : Roni Aslan Hutajulu (25) sopir truk
d.     Selaku penuntut umum : Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pangkalan Kerinci, yaitu M. Amin SH mewakili Doly SH
e.      Sidang tuntutan, Selasa (16/12/14), dipimpin hakim Hendah Karmila Dewi SH MH didampingi dua hakim anggota Yopi Wijaya SH dan Wanda Andriyeni SH Mkn.
f.      Penuntut umum menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 351 KUHP ayat 3 junto pasal 55 KUHP, tentang penganiayaan bersama-sama yang menyebabkan orang meninggal dunia.
g.     JPU menuntut para terdakwa hukuman dua tahun penjara
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 14 KUHAP, mengatur tentang wewenang yang dimiliki oleh seorang penuntut umum, yaitu :
1)     Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyelidik pembantu,
2)     Mengadakan prapenuntutan,
3)     Memberikan perpanjangan penahanan,
4)     Membuat surat dakwaan,
5)     Melimpahkan perkara ke pengadilan,
6)     Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan,
7)     Melakukan penuntutan,
8)     Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9)     Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini,
10) Melaksanakan penetapan hakim.
Dalam hal ini jika dilihat dari kasus diatas, maka wewenang yang dijalankan oleh seorang jaksa penuntut umum adalah sesuai dengan point ke 7 yaitu melakukan penuntutan. Pelaksanaan kewenangan tersebut dapat terlihat bahwa jaksa penuntut umum menuntut empat sekuriti PT. Satria Rajawali Persada (SRP) dua tahun hukuman penjara.
Dalam kasus ini Jaksa penuntut umum menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 351 KUHP ayat 3 Jo. Pasal 55 KUHP yaitu mengenai penganiayaan secara bersama-sama yang menyebabkan orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari keterangan yang ada bahwa keempat sekuriti melakukan tindakan sewewang-wenang terhadap sopir truk yang kedapatan mencuri kabel diarea PT tersebut yaitu melalui tindakan penyekapan dan penyiksaan dengan dalih investigasi atau pemeriksaan oleh sekuriti tanpa melaporkannya langsung kepada pihak kepolisian. Keterangan ini juga diperkuat oleh bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yaitu adanya luka memar di dada dan kepala, serta pendarahan dibagian otak akibat hantaman benda tumpul yang didapatkan dari keterangan otopsi yang telah dilakukan oleh dokter RS Bhayangkara Polda Riau.
Dengan wewengan yang dimilikinya sebagai jaksa penuntut umum dan di sertai oleh beberapa bukti yang ada yang telah dipelajari dari hasil penyidikan pihak kepolisian serta pertimbangan dan fakta-fakta persidangan  maka jaksa penuntut umum menuntut para terdakwa dua tahun penjara.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Menurut ketentuan pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, yang dimaksud dengan jaksa, adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 1 angka 6 b KUHAP, menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang  oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasistasnya sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan. Wewenang dari seorang penuntut umum itu sesuai dengan ketentuan pasal 14 KUHAP. 
Dalam tahapan-tahapan penututan, penuntut umum wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut, yaitu : Menerima dan memeriksa berkas perkara, Mengadakan pra penuntutan, Memberikan perpanjangan penahanan, Membuat surat dakwaan, Melimpahkan perkara kepengadilan, Menyampaikan pemberitahuan kepada tersangka tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi, Melakukan penuntutan, Menutup perkara demi kepentingan hukum, Melakukan tindakan lain dalam ruang dan tanggung jawab sebagai penuntut umum,  Melaksanakan putusan hakim.
Prapenuntutan adalah kewenangan penuntut umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan dilakukannya dalam suatu perkara, dengan cara mempelajari/meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan apakah persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. sedangkan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.
Dari kasus yang ada maka dapat dilihat bahwa peran dan wewenang yang sedang dijalankan oleh seorang jaksa penuntut umum adalah melakukan penuntutan, yaitu menuntut 4 sekuriti PT. SRP 2 tahun penjara karena melakukan penganiyaan dan penyekapan sehingga meninggalnya seorang sopir truk.

B.  Saran
Dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kedamaian di lingkungan masyarakat, maka setiap masyarakat itu perlu untuk memiliki pengetahuan tentang hukum acara pidana, atau hanya tahu sekedar yang umumnya apa itu hukum acara pidana, terutama bagi orang yang akan beracara pidana, salah satunya proses penuntutan oleh penuntut umum dalam acara pidana yaitu melalui peran jaksa sebagai penuntut umum.










DAFTAR PUSTAKA

            Husein, M. Harun. 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
LP3M Adil Indonesia. 2011. Penuntut Umum sebagai Pihak yang Mempunyai Beban Pembuktian Penuntutan dalam Penuntutan Perkara Pidana. (Online). Tersedia di : http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/beban-pembuktian-penuntut.html
Prakoso, Djoko. 1987. Penyidik, penuntut umum, hakim, dalam proses hukum acara pidana.
SigmenNews. 2014. Kasus Pembunuhan 4 Sekuriti PT. SRP di tuntut 2 Tahun Penjara. (Online). Tersedia di : http://www.segmennews.com/2014/12/kasus-pembunuhan-4-sekuriti-pt-srp-dituntut-2-tahun-penjara