MAKALAH
INDIVIDU
HUKUM
ACARA PIDANA
(ABKA
2601)
“PENUNTUTAN OLEH PENUNTUT
UMUM
DALAM HUKUM ACARA PIDANA”
Dosen Pengajar :
Drs. Zainul Akhyar, MH
Disusun Oleh:
Hairina Wasliah A1A213024
UNIVERSITAS LAMBUNG
MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
BANJARMASIN
2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah Hukum Acara Pidana yang
berjudul “Penuntutan oleh Penuntut Umum Dalam Hukum Acara Pidana”.
Penyusunan makalah ini
di buat dalam rangka memenuhi salah satu tugas dalam mempelajari mata kuliah
Hukum Acara Pidana. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Zainul
Akhyar, MH yang telah membimbing penulis pada mata kuliah Hukum Hukum Acara
Pidana.
Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna baik materi maupun cara
penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
menyempurnakan makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banjarmasin,
17 Mei 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR
ISI ii
BAB
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 2
BAB
II. PEMBAHASAN ............................................................................... 4
A. Jaksa
dan Penuntut Umum.......................................................................
4
B. Fungsi
dan Wewenang Penuntut Umum.................................................. 7
C. Tahapan
Penuntutan ......................................................................... 8
D. Prapenuntutan
dan Penuntutan................................................................. 9
E. Persiapan
Pelimpahan Perkara ke Pengadilan serta Pelimpahan Perkara ke Pengadilan ........................................................................ 16
F. Analisis
Kasus yang Berkaitan dengan Penuntutan................................ 17
BAB
III. PENUTUP 20
A. Kesimpulan
...................................................................................... 20
B. Saran 21
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara
Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum yang demokratis,
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan yang
semata-mata. Maka dari itu, Indonesia membutuhkan sebuah hukum yang hidup atau
yang berjalan, dengan adanya hukum maka diharapkan akan terbentuk suasana yang
tentram, aman, damai serta teratur bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Hukum
disini selain bertujuan untuk menciptakan ketentraman dimasyarakat, hukum juga
sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam pembentukan suatu negara,
berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat, karena hukum merupakan alat
pengendalian sosial. Agar tercipta suasana yang aman, tentram, dan damai.
Indonesia sebagai negara yang berdasar hukum, berarti harus mampu menjunjung
tinggi hukum sebagai kekuasaan tertinggi di negara ini, sebagimana dimaksud
konstitusi kita, Undang-Undang Dasar RI 1945. Selain itu hukum tersebut juga
harus ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga negara.
Dalam rangka mewujudkan tujuan hukum yang ada dalam UUD 1945 maka, ada beberapa
bagian hukum-hukum yang mengaturnya secara khusus, salah satunya adalah hukum
acara pidana.
Hukum
acara pidana merupakan keseluruhan ketentuan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian suatu perkara
pidana yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan hingga penyelidikan dan
penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan hingga
lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan pidana terhadap suatu
kasus pidana.
Dengan banyaknya
rentetan proses dalam penyelenggaraan peradilan pidana, maka perlu adanya
penguraian lebih lanjut dari bagian-bagian proses penyelenggaraan hukum acara
pidana tersebut. salah satunya adalah tentang penuntutan dalam hukum acara
pidana tersebut. sehingga pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang
penuntutan dalam hukum acara pidana.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud jaksa dan penuntut umum ?
2.
Apa
saja fungsi dan wewenang penuntut umum ?
3.
Bagaimana
tahapan-tahapan dalam penuntutan ?
4.
Apa
yang dimaksud dengan prapenuntutan dan penuntutan ?
5. Bagaimana
proses yang dilakukan dalam persiapan pelimpahan perkara ke pengadilan serta
pelimpahan perkara ke pengadilan ?
6.
Bagaimana
analisis contoh kasus penuntutan dalam perkara pelanggaran tindak pidana
pembunuhan ?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui apa itu jaksa dan penuntut umum
2.
Untuk
mengetahui fungsi dan wewenang penuntut umum
3.
Untuk
mengetahui tahapan-tahapan dalam proses penuntutan
4.
Untuk
mengetahui tentang prapenuntutan dan penuntutan
5.
Untuk
mengetahui proses persiapan pelimpahan perkara ke pengadilan serta pelimpahan
perkara ke pengadilannya
6.
Untuk
mengetahui contoh kasus penuntutan dalam perkara pembunuhan.
D. Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini
diantaranya :
1.
Menambah
wawasan bagi penulis dan pembaca, terutama pengatahuan tentang Penuntutan oleh
Penuntut Umum dalam Hukum Acara Pidana pada mata kuliah hukum acara pidana.
2.
Dapat
dipertimbangkan sebagai bahan pemikiran atau masukan, serta
3.
Memberikan
informasi baik bagi penulis maupun pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Jaksa Dan Penuntut Umum
1. Pengertian
istilah jaksa
Menurut
ketentuan pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, yang dimaksud dengan jaksa, adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan pengertian diatas, maka yang menjadi
kewenangan seorang jaksa ialah untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan (eksekutor).
2. Pengertian
istilah penuntut umum
Pasal
1 angka 6 b KUHAP, menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dari
perumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah jaksa,
tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum. Atau dengan kata
lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah
jaksa.karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat bertindak
sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasistasnya sebagai
penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan.
Menurut
hemat penulis pengertian penuntutan yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro,
beliau merumuskan penuntutan adalah sebagai berikut :”menuntut seorang terdakwa
di muka hakim pidana ialah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas
perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan
memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa” (Wirjono Prodjodikoro, 1962 :
33).
Jaksa
dalam menangani tugasnya mengenal tahapan pelaksanaan tugas yang terdiri dari :
pelaksanaan tugas prapenuntutan, pelaksanaan tugas penuntutan dan pelaksanaan
putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam
penanganan tugasnya tersebut, hanya dalam tahap penuntutan sajalah seorang
jaksa disebut sebagai jaksa penuntut umum, yang dalam praktek disebut sebagai
jaksa penuntut umum, sedang dalam hal jaksa manangani tugas-tugas prapenuntutan
sebenarnya jaksa tersebut belum bertindak sebagai penuntut umum.
Secara
tekns administratif, seorang jaksa baru dapat bertindak sebagai penuntut umum
sejak terhadapnya diterbitkan surat perintah penunjukkan jaksa penuntut umum
untuk menyelesaikan perkara (PK-5A). Secara teknis yustisial ia baru bertindak
sebagai penuntut umum sejak ia melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Dalam
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ia
tidak lagi bertindak sebagai penuntut umum, tetapi ia bertindak dalam
kapasitasnya sebagai jaksa. Karena tugas penuntut berakhir apabila dalam suatu
perkara telah dijatuhkan putusan dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
3. Jaksa
sebagai Penuntut Umum
Dalam
kekuasaan penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan
penyidikan, maka dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang
berwenang melaksanakan yaitu Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Apabila
dalam penyidikan, banyak lembaga lain yang mempunyai kewenangan melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, maka
kewenangan untuk menjalankan penuntutan terhadap semua tindak pidana yang masuk
dalam lingkup Peradilan Umum hanya dapat dilakukan oleh kejaksaan.
Hal
tersebut merupakan salah satu konsekuensi dari Indonesia sebagai negara yang
menganut sistem Eropa kontenental karena dalam sistem penuntutan modern di
berbagai negara yang menganut sistem Eropa Kontenental penuntutan pidana memang
dimonopoli oleh negara yang diwakili oleh jaksa. Hal tersebut berbeda dengan
sistem penuntutan di negara yang menganut sistem Anglosaxon seperti negara
Inggris, Thailand dan Belgia yang masih memungkinkan adanya penuntutan pidana
oleh perseorangan secara pribadi langsung ke pengadilan.
Selain
itu, sesuai dengan asas dominus litis, maka penetapan dan pengendalian
kebijakan penuntutan hanya berada di satu tangan yaitu kejaksaan. Dalam hal
inilah, Penuntut Umum menentukan suatu perkara hasil penyidikan yang tertuang
dalam berkas perkara sudah lengkap ataukan masih kurang lengkap. Apabila berkas
perkara telah lengkap, maka Penuntut Umum akan menerima penyerahan tersangka
dan barang bukti, membuat Surat Dakwaan dan melimpahkannya ke pengadilan.
Apabila berkas perkara belum lengkap, maka Penuntut Umum akan memberikan
petunjuk kepada penyidik untuk segera melengkapi berkas perkara agar dapat
dilimpahkan ke pengadilan.
Dengan
demikian, peranan Penuntut Umum dalam hal pembuktian sangatlah penting, karena
pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan merupakan tanggung
jawab Jaksa selaku Penuntut Umum. Dalam hal ini, sistem pembuktian dalam hukum
pidana di hampir semua negara di dunia memang meletakkan beban pembuktian di
atas pundak Penuntut Umum.
Adanya
beban pembuktian pada Penuntut Umum tersebut menyebabkan penuntut umum harus
selalu berusaha menghadirkan minimum alat bukti di persidangan. Berdasarkan
pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dengan demikian, untuk dapat
menyatakan seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus ada
paling sedikit 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan Hakim dan menjadi
beban penuntut umum untuk dapat menghadirkan minimum dua alat bukti tersebut di
persidangan untuk memperoleh keyakinan Hakim.
Bagi penuntut
umum, pembuktian merupakan faktor yang sangat menentukan dalam rangka mendukung
tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang
dijelaskan dalam pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan
maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya. Hal tersebut berbeda
dengan advokat atau engacara dalam kemampuannya sebagai penasehat hukum, maka
pembuktian merupakan faktor yang menentukan dalam rangka melakukan pembelaan
yang optimal terhadap terdakwa selaku kliennya.
B. Fungsi dan Wewenang Penuntut Umum
KUHAP
menganut sistem differensiasi dan spesialisasi fungsional yang telah diatur
sedemikian rupa mekanisme dan proseduralnya, sehingga differensiasi dan
spesialisasi tersebut terkait erat satu sama lain dalam suatu kerangka yang
disebut Integrated Criminal Yustice System.
Menurut
Jaksa Agung RI Sukarton Marmosudjono (Alm) bahwa yang dimaksud dengan Integrad
Criminal Justice System adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya
terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan
peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (Administration of
Criminal Justice System) pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen
seperti penyidikan, penuntutan , pengadilan, dan Lembaga Permasyarakatan.
Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan
semua komponen tersebut diatas, sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan
yang dicita-citakan (Sukarton Marmosudjono Alm, 1989 : 30 ). Dalam hubungannya
dengan sistem peradilan perkara pidana terpadu, untuk menangani hasil-hasil
penyidikan yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka pada tahap penuntutan
kepada penuntut umum diberikan wewenang penanganan lebih lanjut atas hasil
penyidikan tersebut.
Sesuai
dengan ketentuan pasal 14 KUHAP, penuntut umum memiliki wewenang :
a. Menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyelidik pembantu;
b. Mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberikan petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan
perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat
surat dakwaan;
e. Melimpahkan
perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa aupun
kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan
penuntutan;
h. Menutup
perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum
menurut ketentuan undang-undang ini;
j. Melaksanakan
penetapan hakim.
C. Tahapan Penuntutan
Ketika
pemeriksaan pendahuluan telah selesai dilakukan, maka untuk selanjutnya adalah
tahapan penuntutan. Tahapan ini merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara
pidana sebelum hakim memeriksanya di sidang pengadilan. Penuntutan itu sendiri
merupakan kegiatan melimpahkan perkara pidana kepengadilan, didalam melimpahkan
perkara itu tidak sekedar membawa perkara kepengadilan tapi ada beberapa hal
yang dilakukan sebelum perkara itu disampaikan kepengadilan.
Sebelum
jaksa melimpahkan perkara pidana kepengadilan dan kemudian melakukan
penuntutan, seorang penuntut umum wajib mengambil langkah-langkah seperti :
a. Menerima
dan memeriksa berkas perkara,
b. Mengadakan
pra penuntutan, apabila ada kekurangan pada penyidikan dan segera mengembalikan
berkas kepada penyidik dengan memberikan petunjuk untuk penyempurnaannya
(waktunya 7 (tujuh) hari untuk wajib mmberi tahukan kekurangannya),
c. Memberikan
perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik,
d. Membuat
surat dakwaan,
e. Melimpahkan
perkara kepengadilan,
f. Menyampaikan
pemberitahuan kepada tersangka tentang ketentuan persidangan dengan disertai
panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi,
g. Melakukan
penuntutan,
h. Menutup
perkara demi kepentingan hukum,
i. Melakukan
tindakan lain dalam ruang dan tanggung jawab sebagai penuntut umum,
j. Melaksanakan
putusan hakim.
D. Prapenuntutan dan Penuntutan
a)
Prapenuntutan
Harun
M. Husein berpendapat bahwa yang dimaksud dengan prapenuntutan adalah
kewenangan penuntut umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan dilakukannya
dalam suatu perkara, dengan cara mempelajari/meneliti berkas perkara hasil
penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan apakah
persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau
belum oleh hasil penyidikan tersebut. bila dari hasil penelitian itu ternyata
bahwa persyaratan untuk melakukan penuntutan telah terpenuhi, maka ia
memberitahukan kepada penyidik bahwa hasil penyidikan itu sudah lengkap.
Sebaliknya bila ternyata hasil penyidikan belum memenuhi
persyaratan-persyaratan penuntutan, maka ia akan mengembalikan berkas perkara
itu kepada penyidik disertai petunujuk guna melengkapinya.
Kelengkapan
hasil penyidikan itu sangat menentukan keberhasilan penuntutan, oleh karena itu
penuntut umum harus benar-benar teliti dan jeli dalam mempelajari dan meneliti
berkas perkara yang bersangkutan. Apabila penuntut umum kurang cermat dalam
mempelajari dan meneliti berkas perkara, maka kekurang lengkapan hasil
penyidikan yang lolos dari penelitian akan merupakan kelemahan yang merupakan
“cacat” yang akan terbawa ketahap penuntutan. Dengan sendirinya hal itu
merupakan kelemahan pula dalam melakukan penuntutan perkara yang bersangkutan.
Apabila
penuntut umum telah menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap, kemudian
ternyata bahwa masih ada hal-hal yang belum lengkap, maka kekurangan tersebut
tidak dapat dilengkapi lagi. Karena apabila penuntut umum telah menyatakan
lengkap, atau dalam batas waktu 14 hari tidak mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik, maka penyidikan dianggap selesai.
Untuk
kecermatan penelitian berkas perkara hasil penyidkan yang diterima dari
penyidik, Jaksa Agung RI. Telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor : SE-013/J.
A/8/1982 tanggal 20 Agustus 1982 tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan
pada tahap prapenuntutan dan Instruksi Nomor “INS-006/J.A/7.1986 tanggal 15
Juli 1986 tentang petunjuk pelaksanaan administrasi teknis yudisial perkara
pidana umum. Surat edaran dan instruksi
Jaksa Agung tersebut dalam praktek penelitian berkas perkara oleh para jaksa
penuntut umum peneliti dijasikan sebagai pedoman utama di samping
ketentuan-ketentuan lainnya KUHAP maupun KUHP dan lain-lain peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tugas-tugas prapenuntutan dan
penuntutan.
Untuk
mempermudah pelaksanaan mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara,
dalam praktek digunkan sarana bantu berupa Check List Penelitian Berkas Perkara
Tahap Pertama.
1) Penelitian
berkas perkara
a. Penelitian
kelengkapan syarat formil, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
melakukan tindakan-tindakan dalam penyidikan. Syarat ini berupa prosedur dan
tata cara yang harus dipenuhi untuk keabsahan tindakan penyidik.
b. Kelengkapan
syarat materil, yaitu mengenai kelengkapan berkas perkara yang meliputi :
i. Adanya
perbuatan yang melawan hukum,
ii. Adanya
kesalahan (sengaja atau kelalaian),
iii. Adanya
minimal dua alat bukti yang sah yang dapat mendukung atau membuktikan perbuatan
dan kesalahan tersangka,
iv. Adanya
alat buktiyang menunjukkan tempus delicti (daluarsa atau tidaknya hak untuk
melakukan penuntutan dan jenis delik),
v. Adanya
alat bukti yang menunjukkan locus delicti (menentukan kejaksaan mana/pengadilan
negeri mana yang berwenang melakukan penuntutan/mengadili perkara),
vi. Kejelasan
tentang peran pelaku,
vii. Apabila
dalam penelitian ternyata bahwa tindak pidana itu termasuk tindak pidana
khusus, bila berkas perkara belum lengkap, berkas perkara tidak perlu
dikembalikan.
Apabila dari hasil penelitian tersebut
ternyata berkas perkara tersebut telah mencukupi segala persyaratan yang
diperlukan guna melakukan penuntutan, maka jaksa penuntut umum menyatakan bahwa
hasil penyidikan perkara yang bersangkutan sudah lengkap dengan menerbitkan
PK-1 (pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap). Sebaliknya, apabila
menurut hasil penelitian jaksa penuntut umum hasil penyidikan perkara itu belum
lengkap, penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dengan
menerbitkan PK-2 (pemberitahuan bahwa hasil penyidikan belum lengkap). Kemudian
berkas perkara yang dinyatakan belum lengkap itu disertai dengan
petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, dengan menerbitkan PK-3
(pengembalian berkas perkara).
Sesuai dengan ketentuan pasal 110 ayat 3
jo. Pasal 138 ayat 2 KUHAP, dalam hal demikian penyidik wajib melaksanakan
pemeriksaan tambahan dan menyampaikan kembali berkas perkara yang telah
dilengkapi dengan hasil pemeriksaan tambahan itu kepada penuntut umum dalam
batas waktu 14 hari setelah diterimanya pegembalian berkas perkara dari
penuntut umum.
2) Penelitian
atas tersangka dan barang bukti
Pada
penyerahan tahap kedua yakni penyerahan tersangka dan barang bukti, sekali lagi
penuntut umum melakukan penelitian, yakni penelitian terhadap tersangka dan
barang bukti yang diserahkan oleh penyidik tersebut. Hal-hal yang diteliti pada
penyerahan tahap kedua ini meliputi:
a. Identitas
tersangka,
b. Penelitian
sejauh mana kebenaran keterangan tersangka sebagimana diuraikan dalam berita
acara pemeriksaan tersangka,
c. Dalam
melaksanakan penelitian terhadap tersangka, penuntut umum memeperhatikan
ketentuan sebagimana digariskan dalam penjelasan pasal 14 huruf i KUHAP,
d. Penelitian
barang bukti dilakukan dengan cara meneliti secara fisik barang bukti yang
bersangkutan dengan melakukan pencatatan data barang bukti tersebut dalam
Berita Acara Penelitian Benda Sitaan (B-1),
e. Pelaksanaan
penelitian barang bukti dilakukan bersama-sama dengan penyidik dan dihadiri
oleh saksi-saksi,
f. Dalam
penelitian diminta pula keterangan tersangka mengenai barang bukti,
g. Setelah
selesai melaksanakan penelitian, disamping dibuat berita acara penelitian benda
sitaan, (B-1), dipuat pula kartu barang bukti (B-4) dan label barang bukti
(B-5) yang dilekatkan pada barang bukti yang bersangkutan,
h. Khusus
bagi barang bukti yang bernilai tinggi (misal emas, uang, intan atau bahan
narkotika) penyimpanannya dilakukan dengan cara menitipkannya kepada bank
pemerintah,
i. Barang
bukti yang karena besarnya, beratnya maupun karena sifatnya tidak mungkin
disimpan dirumah penyimpanan benda sitaan negara dititipkan pada instansi yang
bersangkutan, umpamanya kapal dititipkan pada pihak Syahbandar.
Dengan terlaksananya penyerahan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum, maka
tanggung jawab yuridis atas tersangka dan barang bukti tersebut, beralih kepada
penuntut umum. Maka tugas itulah tugas penyidikan suatu perkara benar-benar
telah rampung/tuntas dan beralih ke tahap penuntutan.
3) Penelaahan
ketentuan pidana
Setelah
penuntut umum menerima penyerahan tersagka dan barang bukti dari penyidik, maka
seluruh proses penyidikan telah berakhir dan proses perkara pidana bersangkutan
memasuki tahapan baru yaitu tahap penuntutan.
Dalam
Rakergab Makehjapol I tahun1984 dinyatakan bahwa pelimpahan perkara ke
pengadilan adalah kelanjutan daripada penyidikan, maka selanjutnya penuntut
umumlah yang berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dalam arti bahwa
perbuatan terdakwa adalah perbuatan pidana yang harus dikenai sanksi. Karenanya
demi keberhasilan pembuktian kesalahan terdakwa di pengadilan, maka tidak
tertutup kemungkinan penuntut umumdapat mendakwakan pasal-pasal lainnya di
samping yang telah dipersangkakan oleh penyidik.
Di
samping itu penuntut umum tidak terikat kepada dakwaan berdasarkan hasil
penyidikan yang dibuat oleh penyidik, karena mungkin saja penuntut umum
berpendapat dakwaan yang dibuat oleh penyidik kurang memenuhi persyaratan,
misalnya penyidik beranggapan perbuatan terdakwa melanggar pasal 352 KUHP,
tetapi berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang dibuat penyidik dihubungkan
pula dengan visum et repertum yang ada, penuntut umum berkesimpulan pasal 351
KUHP lah yang lebih tepat dakwaannya, sehingga dalam pelimpahan perkara di
pengadilan negeri, penuntut umum membuat dakwaan berdasarkan pasal 351 KUHP (A.
Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987 : 16).
Praktek
penyusunan dakwaan demikian tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang,
sepanjang pasal pidana yang ditetapkan oleh penuntut umum tersebut didukung
oleh hasil penyidikan. Pangkal tolak penyusunan dakwaan demikian bermuara pada
yurisprudensi yakni putusan Mahkamah Agung Nomor. 47 K/Kr/1956 tanggal 28 maret
1957, yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang menjadi dasar tuntutan
pengadilan ialah surat tuduhan, jadi bukan tuduhan yang dibuat oleh polisi.
Maksud yurisprudensi ini, ialah bahwa pengadilan memeriksa dan memutuskan suatu
perkara berdasarkan surat akwaan yang dibuat oleh penuntut umum.
Penambahan
atau penyempurnaan pasal-pasal pidana yang dilakukan penuntut umum tersebut,
maksudnya ialah untuk mencegah lolosnya terdakwa dari pertanggungjawaban pidana
atas perbuatan yang telah dilakukannya. Meskipun demikian, mengingat bahwa
merupakan hak tersangka/terdakwa untuk mengetahui tindak pidana apa yang
dipersangkakan/didakwakan kepadanya, maka sebaiknya perbaikan, penambahan
maupun perubahan pasal-pasal pidana tersebut dilakukan pada tahap
prapenuntutan. Sehingga dengan cara demikian, terlihat jelas adanya korelasi
yang saling mendukung antara hasil penyidikan dan penuntutan.
b) Penuntutan
Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.
Menurut Wirjono menuntut seorang tedakwa dimuka hakim pidana adalah menyerahkan
perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan
permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu
terhadap terdakwa. Tujuan melakukan penuntutan adalah untuk mendapatkan
penetapan dari penuntut umum, tentang adanya alasan yang cukup untuk menuntut
seseorang terdakwa dimuka hakim. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan
terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah
hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadili
(pasal 237) yang dimaksud dengan “daerah hukum” daerah dimana menjadi
kewenangannya dalam melakukan penuntutan. Daerah hukum atau wilayah hukum
kejaksaan negeri adalah sama dengan daerah hukum atau wilayah hukum pengadilan
negeri. Wilayah suatu pengadila negeri adalah Kabupaten/kota. Pasal 141 menentukan
bahwa penuntut umum dapat menggabungkan perkara dan membuatnya satu surat
dakwaan, apabila pada waktu dan saat yang sama atau hampir bersamaan ia
menerima beberapa berkas. Penggabungan perkara ini dapat dilakukan apabila
memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu:
1. Beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan
tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
2. Beberapa
tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;
3. Beberapa
tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain itu ada hubungannya,
yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Bahwa
yang dimaksud dengan bersangkut paut satu dengan yang lain itu apabila tindak
pidana tersebut dilakukan:
a. Oleh
lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
b. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat
yang berbeda tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat
mereka sebelumnya;
Namun dalam pasal 142 justru
memungkinkan melakukan pemisahan perkara, dalam hal penuntut umum menerima satu
berkas perkara yang memuat beberapa perkara. Seperti kasus terorisme dan
korupsi yang melibatkan banyak pejabat misalnya, menghentikan Penuntutan, menghentikan
penuntutan berarti telah terjadi penuntutan namun karena terdapat beberapa hal
seperti terdapat dalam pasal 140 ayat (2), karena tidak cukup bukti, ternyata
bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum.
E. Persiapan Pelimpahan Perkara ke
Pengadilan Serta Pelimpahan Perkara ke Pengadilan
Setelah
surat dakwaan tersusun dan sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan,
penuntut umum masih perlu meneliti seluruh kelengkapan berkas perkara tersebut.
penelitian itu, meliputi segi teknis administratif maupun segi teknis yustisial
yang berkaitan dengan pelimpahan perkara tersebut.
Hal
lain pula yang perlu diperhatikan pula, ialah masalah kewenangan pengadilan
untuk memeriksa dan megadili perkara tersebut. sebelum perkara dilimpahkan,
harus sudah ditentukan secara pasti sesuai dengan ketentuan pasal 84 KUHAP,
pengadilan negeri mana yang berwenang mengadili perkara tersebut.
Setelah
penuntut umum mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelimpahan
perkara ke pengadilan, tindak lanjutnya ialah melimpahkan perkara tersebut ke
pengadilan negeri yang berwenang. Tindakan penuntut umum melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang, dengan permintaan agar perkara
tersebut diperiksa dan diputuskan di sidang pengadilan, disebut penuntutan (pasal
1 angka 7 jo. Pasal 137 KUHAP).
Dalam
sistem HIR, tindakan penuntutan dikatakan mengakhiri pengusutan (penyidikan).
Karena dengan dilimpahkannya perkara tersebut, maka proses penanganan perkara
pidana beralih dari tahap pengusutan memasuki tahap pemeriksaan sidang.
F.
Analisis
Kasus yang Berkaitan dengan Penuntutan
“Kasus
Pembunuhan, 4 Sekuriti PT. SRP Dituntut 2 Tahun Penjara”
Pangkalan Kerinci (SegmenNews.com)-
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pangkalan
Kerinci menuntut empat sekuriti PT Satria Rajawali Persada (SRP) dua tahun
hukuman penjara.
Penuntutan
tersebut dalam kasus pembunuhan pembunuhan Roni Aslan Hutajulu (25)
sopir truk yang tewas disiksa. Empat sekuriti tersebut yakni, Frengki Pardede,
Feri Arianto, Robin Saud Sihombing dan Suprianur.
Dalam sidang
tuntutan, Selasa (16/12/14), dipimpin hakim Hendah Karmila Dewi SH MH
didampingi dua hakim anggota Yopi Wijaya SH dan Wanda Andriyeni SH Mkn. JPU M
Amin SH mewakilo Doly SH menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 351 KUHP
ayat 3 junto pasal 55 KUHP, tentang penganiayaan bersama-sama yang menyebabkan
orang meninggal dunia.
Walau dalam
fakta persidangan para terdakwa saling membela dan menutup-nutupi kasus
pembunuhan sopir truk yang tertangkap mencuri kabel di areal pabrik PT RAPP
tersebut. Tapi standard operating procedure (SOP) tim Investigasi sekuriti PT
SRP dala menangani pelaku terduga pencurian menyalahi aturan.
Pasalnya
setelah mengamankan Roni yang dicurigai mencuri kabel, bukan langsung di
serahkan ke pihak kepolisian. Tetapi malah disekap dan disiksa ke pos sekuriti
PT RAPP. Dengan dalih untuk melakukan investigasi dan pemeriksaan pada terduga
pelaku tersebut.
Maka
imbasnya, Roni yang telah disekap dan disiksa oleh oknum sekuriti yang
melakukan pengamanan di pabrik kertas terbesar di Asea itu akhirnya tewas,
setelah di larikan ke rumah sakit. Akibat luka memar di dada dan kepala, serta
pendarahan dibagian otak akibat hantaman benda tumpul dari keterangan otopsi
dokter RS Bhayangkara Polda Riau.
Dengan
pertimbangan dan fakta persidangan itulah JPU menuntut para terdakwa hukuman
dua tahun penjara, usai mendegarkan tuntutan itu. Majelis hakim menunda sidang
pekan depan, untuk mendegarkan pembelaan terdakwa yang akan disampaikan
penasehat hukumnya Eva Nora SH MH.***(fin) dipost pada rabu, 17 Desember
2014
Analisis kasus :
Dari berita diatas mengenai kasus pembunuhan, 4 Sekuriti
PT. SRP dituntut 2 Tahun penjara tersebut,
dapat diperoleh keterangan-keterangan sebagai berikut :
a. Kasus
yang dilakukan adalah pembunuhan sopir truk oleh empat orang sekuriti PT. SPR
b. Selaku terdakwa adalah : empat sekuriti PT. SPR (satria rajawali persada) yakni,
Frengki Pardede, Feri Arianto, Robin Saud Sihombing dan Suprianur.
c. Selaku korban : Roni Aslan Hutajulu (25) sopir truk
d. Selaku penuntut umum : Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari
Pangkalan Kerinci, yaitu M.
Amin SH mewakili Doly SH
e. Sidang
tuntutan, Selasa (16/12/14), dipimpin hakim Hendah Karmila Dewi SH MH
didampingi dua hakim anggota Yopi Wijaya SH dan Wanda Andriyeni SH Mkn.
f. Penuntut
umum menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 351 KUHP ayat 3 junto pasal
55 KUHP, tentang penganiayaan bersama-sama yang menyebabkan orang meninggal
dunia.
g. JPU
menuntut para terdakwa hukuman dua tahun penjara
Sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 14 KUHAP, mengatur tentang wewenang
yang dimiliki oleh seorang penuntut umum, yaitu :
1) Menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyelidik pembantu,
2) Mengadakan
prapenuntutan,
3) Memberikan
perpanjangan penahanan,
4) Membuat
surat dakwaan,
5) Melimpahkan
perkara ke pengadilan,
6) Menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai dengan surat panggilan,
7) Melakukan
penuntutan,
8) Menutup
perkara demi kepentingan hukum;
9) Mengadakan
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum
menurut ketentuan undang-undang ini,
10) Melaksanakan
penetapan hakim.
Dalam hal ini jika dilihat dari kasus
diatas, maka wewenang yang dijalankan oleh seorang jaksa penuntut umum adalah
sesuai dengan point ke 7 yaitu melakukan penuntutan. Pelaksanaan kewenangan
tersebut dapat terlihat bahwa jaksa penuntut umum menuntut empat sekuriti PT.
Satria Rajawali Persada (SRP) dua tahun hukuman penjara.
Dalam kasus ini Jaksa penuntut umum
menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 351 KUHP ayat 3 Jo. Pasal 55 KUHP
yaitu mengenai penganiayaan secara bersama-sama yang menyebabkan orang
meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari keterangan yang ada bahwa keempat
sekuriti melakukan tindakan sewewang-wenang terhadap sopir truk yang kedapatan
mencuri kabel diarea PT tersebut yaitu melalui tindakan penyekapan dan
penyiksaan dengan dalih investigasi atau pemeriksaan oleh sekuriti tanpa melaporkannya
langsung kepada pihak kepolisian. Keterangan ini juga diperkuat oleh bukti yang
diajukan oleh jaksa penuntut umum yaitu adanya luka memar di dada dan kepala,
serta pendarahan dibagian otak akibat hantaman benda tumpul yang didapatkan dari
keterangan otopsi yang telah dilakukan oleh dokter RS Bhayangkara Polda Riau.
Dengan wewengan yang dimilikinya sebagai
jaksa penuntut umum dan di sertai oleh beberapa bukti yang ada yang telah
dipelajari dari hasil penyidikan pihak kepolisian serta pertimbangan dan
fakta-fakta persidangan maka jaksa
penuntut umum menuntut para terdakwa dua tahun penjara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
ketentuan pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, yang dimaksud dengan jaksa, adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Pasal 1 angka 6 b KUHAP, menyatakan bahwa penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. dapat
ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah jaksa, tetapi sebaliknya jaksa
belum tentu berarti penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasistasnya
sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan. Wewenang dari
seorang penuntut umum itu sesuai dengan ketentuan pasal 14 KUHAP.
Dalam
tahapan-tahapan penututan, penuntut umum wajib mengambil langkah-langkah
sebagai berikut, yaitu : Menerima dan memeriksa berkas perkara, Mengadakan pra
penuntutan, Memberikan perpanjangan penahanan, Membuat surat dakwaan, Melimpahkan
perkara kepengadilan, Menyampaikan pemberitahuan kepada tersangka tentang
ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun
saksi-saksi, Melakukan penuntutan, Menutup perkara demi kepentingan hukum, Melakukan
tindakan lain dalam ruang dan tanggung jawab sebagai penuntut umum, Melaksanakan putusan hakim.
Prapenuntutan
adalah kewenangan penuntut umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan
dilakukannya dalam suatu perkara, dengan cara mempelajari/meneliti berkas
perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan
apakah persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi
atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. sedangkan penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.
Dari kasus yang
ada maka dapat dilihat bahwa peran dan wewenang yang sedang dijalankan oleh
seorang jaksa penuntut umum adalah melakukan penuntutan, yaitu menuntut 4
sekuriti PT. SRP 2 tahun penjara karena melakukan penganiyaan dan penyekapan
sehingga meninggalnya seorang sopir truk.
B. Saran
Dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya mewujudkan
ketentraman dan kedamaian di lingkungan masyarakat, maka setiap masyarakat itu
perlu untuk memiliki pengetahuan tentang hukum acara pidana, atau hanya tahu
sekedar yang umumnya apa itu hukum acara pidana, terutama bagi orang yang akan
beracara pidana, salah satunya proses penuntutan oleh penuntut umum dalam acara
pidana yaitu melalui peran jaksa sebagai penuntut umum.
DAFTAR PUSTAKA
Husein, M.
Harun. 1991. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
LP3M
Adil Indonesia. 2011. Penuntut Umum sebagai Pihak yang Mempunyai Beban
Pembuktian Penuntutan dalam Penuntutan Perkara Pidana. (Online). Tersedia di : http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/beban-pembuktian-penuntut.html
Prakoso, Djoko. 1987. Penyidik, penuntut
umum, hakim, dalam proses hukum acara pidana.
SigmenNews.
2014. Kasus Pembunuhan 4 Sekuriti PT. SRP di tuntut 2 Tahun Penjara. (Online).
Tersedia di : http://www.segmennews.com/2014/12/kasus-pembunuhan-4-sekuriti-pt-srp-dituntut-2-tahun-penjara