MAKALAH
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
( ABKA2403 )
“MEMUTUS PERSELISIHAN HASIL PEMILU”
Dosen Pembimbing :
Drs.
H. Harpani Matnuh, M. H dan Nur Laili Hidayati S.Pd., M.Pd
Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
AULIA RAHMAH (A1A213014)
HAIRINA WASLIAH (A1A213024)
HAMIDAH (A1A213013)
IRMA (A1A213062)
RAHMAT RIADI (A1A213053)
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
BANJARMASIN
2015
PEMBAHASAN
MEMUTUS PERSELISISHAN HASIL
PEMILIHAN UMUM
A. Perselisihan Hasil Pemilu
Untuk
mendukung penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang demokratis dan berkualitas
diperlukan sistem pendukung yang memadai antara lain organisasi dan personil
penyelenggaraan pemilu yang independen dan profesional. Berdasarkan kesadaran
kolektif atas evaluasi penyelenggaraan pemilu 1999, personil penyelengaraan
pemilu yang terdiri dari unsur partai politik gagal menetapkan hasil pemilu
maka dilakukan konsensus untuk membentuk organisasi penyelenggara pemilu yang
keanggotaannya independen.
Keputusan
politik untuk menyelenggarakan pemilu secara lansung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil yang diselenggarakan oleh suatu komisi peilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri ditindaklanjuti dengan melakukan amandemen
UUD 1945. Perubahan ketiga UUD 1945, pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa
pemilihan umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri.
Ketentuan
pasal 22E ayat 5 UUD 1945 tidak menyebutkan secara pasti nama lembaga
penyelenggara pemilu. Jimly Asshiddiqi memberikan tafsir bahwa perkataan komisi
pemilihan umum yang tertuang dalam pasal 22E ayat 5 tidak dimaksudkan untuk
menyebut nama, malainkan perkataan umum untuk menyebut lembaga penyelenggara
pemilu. Untuk itu cukup ditulis dengan huruf kecil. Sebenarnya nama lembaga
penyelenggaraan pemilu tidak diharuskan bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). UU
dapat memberikan nama kepada lembaga penyelenggara pemilu, misalnya dengan
sebutan Badan, atau yang lainnya. Namun demikian UU No. 12 Tahun 2003 tentang
pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mempertahankan nama lembaga penyelenggara
pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sayangnya,
pemilu yang dielu-elukan sebagai pesta demokrasi, tidak disertai pemahaman dan
pengertian akan inti demokrasi itu sendiri oleh para pelakunya. Contoh yang
paling menonjol adalah maraknya persengketaan hasil pemilu antara peserta
pemilu yang kalah dengan peserta pemilu yang menang. Ataupun antara peserta
pemilu dengan KPU sebegai penyelenggara pemilu. Kebanyakan yang terjadi dimana
peserta pemilu yang kalah, memang tidak siap mental dala menghadapi kekalahannya, sehingga seperti mencari-cari
kesalahan dalam penyelenggaraan pemilu, menyatakan bahwa hasil pemilu tidak sah
karena ada kecurangan bahkan menuntut hasil pemilu untuk dianulir atau
dibatalkan. Biasanya, hal ini akan
mengakibatkan kekisruhan antara para pendukung peserta pemilu yang akan
berakhir dengan tindakan-tindakan anarkis dan adu jotos. Loyalitas terhadap
demokrasi mereka wujudkan dalam bentuk anti demokrasi.
Jadi,
dapat dikatakan bahwa Perselisihan hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan
istilah sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU
sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara
hasil pemilu oleh KPU atau keberatan pemohon terhadap penetapan hasil pemilu
oleh KPU.
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) di sini adalah lembaga negara yang menyelenggarakan
pemilihan umum di Indonesia. Sengketa pemilu ini merupakan perselisihan antara
dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu
ketidak sepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau
peristiwa hukum atau kebajikan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah
satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak
yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu.
Keberatan
dapat diajukan jika pemohon memiliki alasan bahwa perhitungan hasil perolehan
suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbeda dengan
perhitungan hasil perolehan suara menurut pemohon.
B. Pihak Dalam Sengketa
Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Pemilu yang
dimaksud adalah pemilu menurut pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yaitu pemilihan
umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil
Presiden dan DPRD. Dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa peserta
pemilu untuk memilih anggota DPR dan angota DPRD adalah partai politik, sedang
dalam pasal 22E ayat (3) UUD 1945 ditentukan bahwa peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota DPD adalah perorangan. Sedangkan peserta pemilihan umum untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden menurut pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UD
1945 adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Di
lain pihak, penyelenggara pemilu menurut pasal 22E ayat (5) UUD 1945
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri. Komisi ini dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, dibentuk sebagai KPU dengan jajarannya KPU
Provinsi serta Kabupaten/Kota sebagi pihak yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pemilihan umum.
Berdasarkan
ketentuan di atas, dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 16/PMK/2009
ditentukan bahwa yang dapat menjadi Pemohon untuk mengajukan sengketa hasil
pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi adalah :
a. Perorangan
warga negara Indonesia calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta pemilihan umum (Pemilu);
b. Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum (Pemilu); atau
c. Partai
politik peserta pemilihan umum (Pemilu).
Partai politik yang megajukan permohonan
dalam perselisihan hasil pemilu DPR/DPRD haruslah pengurus pusat partai yang
bersangkutan sebagai badan hukum. Akan tetapi, pengurus pusat dapat memberkan
kuasa baik kepada pengurus daerah (DPD maupun DPC) atau kuasa hukum yang
ditunjuk menangani permohonan dari partai yang bersangkutan.
Pemilihan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang pesertanya adalah perorangan maka yang boleh menjadi pemohon
adalah perorangan peserta pemilihan umum (Pemilu) anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang meraasa dirugikan oleh hasil perhitungan suara yang
ditetapkan.
Adapun pada pemilihan umum (Pemilu)
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden meskipun pasangan calon diajukan oleh
partai politik peserta pemilu namun yang boleh menjadi pemohon di Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk mempersoalkan hasil perhitungan suara adalah pasangan
calon Presiden dan Wakil Presidentersebut.
Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sehingga yang boleh jadi pemohon untuk
mempersoalkan hasil perhitungan suara pemilihan umum untuk memilih anggota DPR
dan DPRD adalah partai politik yang bersangkutan.
Selaku pihak termohon, dapat disimpulkan
adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nasional, karena menurut pasal 74 ayat (2)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi materi permohonan adalah
penetapan hasil pemilihan umum (Pemilu) yang dilakukan KPU secara nasional
meskipun hasil itu menyangkut pelaksanaan dan penghitungan suara yang dilakukan
oleh KPU Provinsi atau Kabupaten atau Kotadi daerah pemilihan. Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 04 dan No. 05/2004 secara tegas menyebutkan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon.
C. Syarat Permohonan
Permohonan
hanya dapat diterima jika diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24
(tiga kali dua puluh empat ) jam sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan
penetapan hasil pemilihan umum (Pemilu) secara nasional, dan hanya dapat
diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang mempengaruhi berikut ini
:
a) Terpilihnya
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
b) Penentuan
pasangan calon yang masuk putaran kedua pemilihan Presiden dan wakil Presiden
serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden
c) Perolehan
kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
Ketentuan Pasal 75 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi mensyaratkan bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas
tentang :
a. Kesalahan
hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil perhitungan suara
yang benar menurut pemohon; dan
b. Permintaan
untuk membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan
menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon.
Dari pernyataan itu, maka nyata bahwa
sesungguhnya perselisihan tersebut hanya menyangkut segi kuantitatif atau
jumlah perolehan suara yang membawa pengaruh kepada terpilih tidaknya calon
anggota DPD, DPR/ DPRD, dan Presiden/ Wakil Presiden.
Pengalaman menunjukan penyelenggaraan
pemilihan umum di beberapa tempat tertentu telah melanggar asas pemilihan umum
yang langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil) yang
sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan suara. Penanganan
persengketaan yang sudah bercorak pidana akan ditangani penyidik, penuntut
umum, serta pengadilan negeri yang juga seharusnya diselesaikan dalam tenggang
waktu yang ditentukan, sehingga apabila ada kecurangan pelaksanaan pemilu yang
mempengaruhi hasil perolehan suara, putusan pengadilan dapat dijadikan alat
bukti di Mahkamah Konstitusi yang akan menyatakan hasil penghitungan suara yang
diumumkan KPU salah. Akan tetapi, dalam kenyataan hal demikian tidak terjadi.
Setelah perselisihan hasil pemilu selesai diputus Mahkamah Konstitusi, baru
putusan pengadilan yang menyatakan kecurigaan itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi
untuk menuntut revisi putusan Mahkamah Konstitusi. Jadwal ketatanegaraan kita
tidak membenarkan hal tersebut dan putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan
mengikat tidak dapat diubah lagi.
Dengan demikian, proses yang terjadi di
Mahkamah Konstitusi sesungguhnya sangat sederhana, yaitu pemohon mendalilkan
hasil perhitungan suara yang dilakukan KPU salah dan kemudian pemohon
mengemukakan hasil penghitungan suara yang benar. Apabila pemohon dapat
membuktikan dalil permohonannya dan hakim yakin kebenaran hasil penghitungan
menurut versi pemohon atau hakim menyimpulkan dari alat bukti yang diajukan
memang hasil perhitungan KPU salah, Mahkamah Konstitusi akan menetapkan hasil
perhitungan suara yang benar. Meskipun dikatakan sederhana, penghitungan
demikian jadi tidak mudah karena standar minimum legalitas rekapitulasi
penghitungan suara dan berita acara yang dibuat belum jelas dan tidak sedikit
berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang direkayasa oleh para
petugas yang tidak jujur.
Karena batasan yang ditentukan sebagai
materi perselisihan hanya menyangkut hasil penghitungan suara ynag mempengaruhi
terpilihnya anggota DPR, DPD, DPRD, dan pasangan calon Presiden/ Wakil
Presiden, meskipun terjadi kesalahan penghitungan suara tetapi penghitungan
suara tersebut tidak signifikan membawa pengaruh untuk mengubah posisi peserta
pemilu untuk terpilih, maka permohonan demikian akan dengan mudah
dikesampingkan. Misalnya oleh karena anggota DPD yang akan terpilih untuk tiap
Provinsi adalah 4 (Empat) orang maka calon peringkata kelima dan keenam dipandang
memiliki posisi yang boleh jadi mendapat pengaruh dari hasil penghitungan suara
yang salah. Akan tetapi, itu pun hanya relevan jika jumlah suara yang
didalilkan hilang dapat melampaui secara signifikan calon anggota DPD peringkat
diatasnya. Demikian pula halnya dengan calon anggota DPR/DPRD dan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden.
Karena faktor waktu yang singkat dalam
memutus perkara pemilu, maka segala sarana yang dapat mempermudah komunikasi
baik untuk pendaftaran permohonan, peenyampaian panggilan, dan mendengarkan
keterangan saksi terutama sarana teknologi informasi telah digunakan. Pendaftaran
permohonan diperkenankan dengan e-mail dan faximile meskipun harus di
konfirmasi kemudian dengan permohonan asli yang harus sudah diterima Mahkamah
Konstitusi 3 (tiga) hari sejak habisnya tenggang waktu penerimaan permohonan.
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak permohonan didaftarkan
dalam BRPK, sidang pertama perkara perselisihan hasil pemilu legislatif sudah
harus ditetapkan dan salinan permohonan sudah dikirimkan kepada KPU. Panggilan
sidang dapat dilakukan melalui telepon. Adapun alur dari proses pengajuan
permohonan dalam sengketa di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
1. Pengajuan
Permohonan pasca Penetapan KPU
a. Permohonan
yang dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK
b. Permohonan
yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahu pada Pemohon untuk
diperbaiki 1 x 24 jam
c. Salinan
Permohonan dikirimkan ke KPU dikirimkan paling lambat 3 hari kerja disertai
permintaan jawaban tertulisdan bukti hasil penghitungan suara yang
diperselisihkan
2. Registrasi
Perkara dan Penjadwalan Sidang
a. Mahkamah
menetapkan hari sidang pertama, paling lambat 7 hari sejak permohonan dicatat
di BRPK
b. Jawaban
paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan
c. Penetapan
hari sidang pertama diberitahu kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 hari
sebelum hari sidang;
Satu hal yang tidak dimuat secara tegas
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04 Tahun 2005 dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 05 Tahun 2004 adalah acara mendengarkan keterangan saksi serta
KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang jaraknya sangat jauh dari ibukota yang
dilakukan dengan sarana teleconference. Namun, acara tersebut telah dilakukan
dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu legislatif yang lalu.
Dasar hukum yang digunakan dalam hal ini adalah Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang menyangkut dibakukannya alat bukti yang didasarkan
pada Teknologi Informasi (TI). Saat ini hal tersebut diatur secara lebih detil
dalam PMK No. 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengujian Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan
Pemeriksaan Persidangan Jarak jauh (Video Conference).
D. Prosedur Pengajuan Perselisihan di
Mahkamah Konstitusi
Para pihak atau yang disebut sebagai
pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang sudah dipaparkan
diatas, maka dapat mengajukan permohonan tersebut yang secara administrasi
ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa
kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap dari pemohon, yang
ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam
12 (dua belas) rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar
permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputuskan.
Untuk kepentingan itu, sebagaimana
dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi
No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum yang menyatakan bahwa:
1. Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya
dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh:
a. calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya
b. pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan kuasanya
c. Ketua
umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari pengurus pusat partai
politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus
memuat antaranya:
· Identitas
pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan,
alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon seluler/email. Yang dihampiri
dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain meliputi; foto copy KTP, terdaftar
sebagai pemilih yang dibuktikan dengan kartu pemilih, terdaftar sebagai peserta
Pemilihan Umum (bagi partai politik dan perseorangan calon anggota DPD).
2. Permohonan
yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat dilakukan melalui
faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud
diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktuu 3
(tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
3. Uraian
yang jelas tentang:
a. Kesalahan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil
penghitungan yang benar menurut pemohon
b. Permintaan
untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
4. Pengajuan
permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut,
antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil penghitungan
suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam setiap
jenjang penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam
rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi materai cukup
dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi dan/atau ahli,
daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan bersama-sama
permohonannya.
5. Permohonan
ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam (tiga kali dua
puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan
umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat
(1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu
pengajuan permohonan yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga
dimudahkan yaitu dapat melalui faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa
permohonan aslinya sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat waktu. Permohonan yang
masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah
Konstitusi.
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003, dimana dalam
pasal tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah Konstitusi
dan bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan
permohonan, baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun kasus sengketa
kewenangan antar lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam
pelaksanaan wewenangnya sebagai lembaga Negara yang memutuskan perkara
ditingkat awal dan pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan
mengikat, Mahkamah Konstitusi.
E. Pemeriksaan Pendahuluan
Berbeda
dengan pemeriksaan pendahuluan sebagaimana umumnya dilakukan dalam perkara
pengujian Undang-Undang , dalam perkara perselisihan pemilu pemeriksaan
pendahuluan yang memberi kesempatan memperbaiki permohonan untuk pemohon calon
anggota DPR/ DPRD dan DPD, meskipun diberi jangka waktu 3 x 24 jam dan
perselisihan hasil pemilu Presiden/ Wakil Presiden 1 x 24 jam namun dalam
praktek ynag lalu perbaikan dilakukan langsung ditempat dan diperbolehkan
dengan tulisan tangan. Hal ini terjadi karena banyaknya permohonan yang
diterima, sehingga apabila dilakukan sesuai dengan aturan dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dikhawatirkan
tenggang waktu yang disebut menjadi tidak dapat dipenuhi.
· Pemeriksaan
pendahuluan akan memeriksa legal standing. Dalam hal perkara perselisihan hasil
pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD, pemeriksaan pendahuluan dilakukan dengan
memeriksa apakah permohonannya adalah pengurus pusat partai politik yang
bersangkutan. Bilamana dalam permohonan tidak dijumpai hal demikian, pemeriksaan
pendahuluan akan memeriksa setidaknya mengenai apakah pemohon memiliki surat
kuasa yang sah dari pengurus pusat partai politiknya.
· Langkah
kedua adalah memeriksa signifikasi perhitungan suara yang didalilkan pemohon
hilang atau salah dalam perhitungannya, apakah mempengaruhi terpilihnya calon
anggota DPR/DPRD atau DPD tersebut. dalam hal pasangan Presiden/Wakil Presiden,
juga diperiksa apakah signifikan untuk terpilih atau tidak untuk masuk dalam
putaran kedua, kalau signifikasi angka yang tidak berpengaruh demikian letah
menjadi nyata, maka kesimpulan atas permohonan dengan sangat mudah telah dapat
diambil tanpa melanjutkan pemeriksaan lainnya.
Berikut
ini adalah ringkasan secara sederhana mengenai pemeriksaan pendahuluan, yaitu :
a. Jumlah
Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri 3 (tiga) orang hakim;
b. Panel
Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;
c. Panel
Hakim memberi nasihat untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan;
d. Pemohon
wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam waktu 1x24 jam
F.
Pemeriksaan
Persidangan
Atas
alasan tenggang waktu dan beban permohonan yang masuk, Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 04/PMK/2004 menugaskan panel hakim untuk melaksanakan
pemeriksaan pendahuluan maupun persidangan. Hasilnya kemudian dilaporkan kepada
Pleno Mahkamah Konstitusi untuk dimusyawarahkan sebelum mengambil keputusan.
Sebagaimana diutarakan diatas, penggunaan sarana teknologi informasi dalam
pemeriksaan persidangan juga membawa kecepatan penyelesaian yang diharapkan dan
jarak tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Yang menjadi perhatian tentulah
memeriksa kebenaran identitas saksi dan KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota yang
didengar di daerah yang jauh dari tempat persidangan. Karena sarana yang
digunakan adalah Mabes Polri, dan pihak yang didengar berada dirungan Polda setempat,
maka prosedur identifikasi dan verifikasi demikian dilakukan dengan suatu kerja
sama dengan pihak Polri.petugas Mahkamah Konstitusi dan petugas Mabes Polri
yang berada diJakarta (lokasi saran teleconference) mengadakan persiapan
verifekasi identitas tersebut dengan petugas Polda setempat, sehingga nilai
keterangannya dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
Pemeriksaan
di persidangan pertama-tama memberi kesempatan pada pemohon untuk menguraikan
dengan ringkas permohonannya dengan mengemukakan kesalahan perhitungan yang
dilakukan KPU dan mengemukakan perhitungan suara yang benar. Dalam petitumnya
pemohon mencantumkan untuk meminta Mahkamah Konstitusi menetapkan hasil
perhitungan yang benar dan membatalkan perhitungan suara yang dilakukan oleh
KPU.
KPU diberi kesempatan untuk memberikan keterangan sebagai tanggapan
atas permohonan tersebut. jika Panwaslu hadir, maka Panwaslu juga diberikan
kesempatan memberi keterangan apakah membenarkan atau menyangkal dalil pemohon.
Apabila keterangan telah dipandang cukup baru kemudian diberi kesempatan bagi
pemohon untuk membuktikan dalilnya dengan alat bukti. Alat bukti yang disebut
dalam Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara umum dan dalam
Peraturan mahkamah Konstitusi No. 04 Tahun 2004 dan peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 05 Tahun 2004, yaitu tentang bukti surat dan saksi adalah
merupakan alat bukti yang umumnya diajukan. Bukti surat tersebut adalah salinan
atau fotocopy berita acara dan sertifikat hasil atau rekafitulasi hasil
penghitungan suara pada jenjang yang diperselisihkan. Sertifikat dimaksud
haruslah dilegalisasi pejabat KPU dan diberi materai secukupnya. Untuk dapat
diterima sebagai alat bukti yang digunakan mendukung dalil ketidak benaran
penghitungan suara yang dilakukan KPU, maka berita acara demikian harus sudah
memuat pernyataan keberatan dari saksi peserta Pemilu yang tidak menerima hasil
penghitungan tersebut dan telah memohon perbaikannyapada jenjang penghitungan
suara yang berkenaan, tetapi tidak ditindaklanjuti.
Disamping
itu, keterangan saksi juga dapat diajukan untuk mendukung dalil permohonan
pemohon, tetapi masih terdapat ketidakseragaman dalam praktek yang lalu tentang
kualifikasi saksi. Pasal 8 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 05 Tahun
2004 menyatakan :
“ keterangan saksi adalah
keterangan dari saksi pemegang mandat peserta pemilu di setiap jenjang
penghitungan suara sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 jo.
Keputusan KPU No. 37 Tahun 2004 dan Keputusan KPU No. 38 Tahun 2004”.
Ada
yang menafsirkan bahwa hanya saksi yang ditunjuk sebagai saksi pemegang mandat
peserta Pemilu di setiap jenjang penghitungan suara, yaitu yang menyaksikan
penghitungan di TPS dan menyatakan keberatan bila perlu yang dapat didengar di
sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendukung permohonan. Kalau hal itu dijadikan
sebagai aturan yang berlaku umum, maka akan bertentangan dengan Pasal 36
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyebut saksi sebagai satu alat bukti
dan saksi adalah orang yang mengalami, melihat, dan mendengar sendiri peristiwa
yang terjadi.
Kekhawatiran
bahwa kalau saksi seperti ini diperbolehkan untuk didengar akan menyebabkan
pemeriksaan hasil penghitungan suara di Mahkamah Konstitusi menjadi tidak pasti
karena saksi-saksi bisa saja direkayasa. Akan tetapi, keberatan ini tidak cukup
beralasan karena hakim berwenang menilai keberadaan saksi tersebut serta alasan
dan latar belakang saksi dimaksud memberi keterangan. Sanksi sumpah palsu bagi
seorang saksi dan penilaian hakim akan nilai keterangannya tidak perlu menimbulkan
ketidakpastian aturan semacam itu. Kemungkinan bahwa tugas hakim semakin berat,
memang benar.
Setelah
pemeriksaan dipandang selesai, maka panel hakim akan melaporkan hasil
pemeriksaan persidangan atas perkara permohonan yag diajukan dan kemudian
majelis pleno hakim konstitusi bermusyawarah untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan dan pengumuman keputusan tersebut
dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Apabila
permohonan tidak beralasan dan/atau pemohon tidak memenuhi syarat, Mahkamah
Konstitusi akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kalau permohonan
tidak dapat dibuktikan secara cukup dan meyakinkan, permohonan akan dinyatakan
ditolak. Permohonan yang beralasan dan didukung bukti yang cukup serta
meyakinkan, maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan
menyatakan penghitungan suara yang dilaksanakan KPU salah dan Mahkamah
Konstitusi menetapkan penghitungan suara yang benar.
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan, maka putusan tentang
perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD disampaikan kepada
Presiden, pemohon dan KPU. Putusan Mahkamah Konstitusi
tentang perselisihan hasil pemilihan Presiden/ Wakil Presiden disampaikan
masing-masing kepada MPR, Presiden/Pemerintah, KPU, partai politik atau
gabungan partai politik yang mengajukan calon, serta pasangan calon
Presiden/Wakil Presiden peserta Pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
bersifat final dan mengikat serta wajib dilaksanakan oleh KPU.
Keberatan
yang disertai dengan putusan pengadilan negeri yang menyatakan terjadi
pemalsuan dan tindak pidana lain yang menyebabkan kesalahan hasil penghitungan
suara tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar revisi atau peninjauan kembali
putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara
kronologis, urutan yang seharusnya adalah bahwa sebelum penetapan hasil penghitugan
suara secara nasional oleh KPU segala penyimpangan yang bersifat tindak pidana
telah selesai disidik, dituntut, dan diputus oleh aparat hukum di daerah.
Seluruh proses itu juga harus berlangsung secara cepat (perkara cepat) karena
adanya jadwal ketatanegaraan yang harus dipenuhi. Akan tetapi, karena
sosialisasi yang krang memadai aparat hukum belum memahaminya dan penanganan
yang dilakukan berada di luar jadwal ketatanegaraan yang telah disusun. Sifat
final and binding putusan Mahkamah Konstitusi karena jadwal ketatanegaraan yang
tersusun menyebabkan hal ini tidak bisa dihindari.
G. Undang-Undang yang berkaitan dengan
wewenang MK dalam Memutus Hasil Pemilihan Umum
· Undang-Undang
No. 24 Tahun 2003
Dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada bab v mengenai
hukum acara, pada bagian kesebelas salah satu kewenangan MK dalam memutus
Perselisihan hasil Pemilihan Umum, menyatakan bahwa :
Pasal 74
(1) Pemohon
adalah :
a. Perorangan
warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan
umum;
b. Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden; dan
c. Partai
politik peserta pemilihan umum.
(2) Permohonan
hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan
secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi :
a. Terpilihnya
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b. Penentuan
pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
c. Perolehan
kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
(3) Permohonan
hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak komisi
pemilihan umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Pasal
75
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon
wajib menguraikan dengan jelas :
a. Kesalahan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil
penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. Permintaan
untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Pasal
76
Mahkamah Konstitusi menyampaikan
permohonan yang sudah dicatat dalam buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada
Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sejak permohonan dicatat dalam Buku Regestrasi Perkara Konstitusi.
Pasal
77
(1) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam
hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam
hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah
Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
(4) Dalam
hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal
78
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka
waktu :
a. Paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Regestrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden.
b. Paling
lambat 30 (tiga puluh ) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Regestrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
79
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
perselisihan hasil pemilihan umum disampaikan kepada Presiden.
· Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 16 Tahun 2009
Peraturan
Mahkamah Konstitusi ini mengatur tentang Pedoman beracara dalam perselisihan
hasil pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Peraturan ini mengatur ketentuan yang
berkaitan dengan :
PHPU
Anggota DPR, DPD, dan DPRD diperiksa dan diputus secara cepat dan sederhana.
Putusan PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan putusan pada tingkat pertama
dan terakhir yang bersifat final dan mengikat.
a)
Para
Pihak dan Objek Perselisihan
(1) Para
pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD
adalah :
- Perorangan
warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta Pemilu sebagai Pemohon;
- Partai
politik peserta Pemilu sebagai Pemohon;
- Partai
politik dan partai politik lokal peserta Pemilu anggota DPRA dan DPRK di Aceh
sebagai Pemohon;
- KPU
sebagai Termohon.
(2) Dalam
hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Provensi dan/atau
DPRA, KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi Turut Termohon.
(3) Dalam
hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Kabupaten/Kota
dan/atau DPRK di Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota di Aceh
menjadi Turut Termohon.
(4) Peserta
Pemilu selain Pemohon yang berkepengtingan terhadap permohonan yang diajukan
Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait.
(5) Pemohon,
Termohon, Turut Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya
masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh
pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu. (Pasal 3 BAB II)
Keberadaan Pihak Terkait dalam perkara
PHPU diteteapkan oleh Mahkamah. (Pasal 4
BAB II)
Objek PHPU adalah penetapan perolehan
suara hasil pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang
mempengaruhi :
a. Terpenohinya
ambang batas perolehan suara 2,5 % (dua
koma lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam dalam pasal 202 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwalilan Rakyat Daerah;
b. Perolehan
kursi partai politik peserta pemilu disuatu daerah pemilihan;
c. Perolehan
kursi partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu di Aceh;
d. Terpilihnya
anggota calon DPD
b)
Tata
Cara Pengajuan Permohonan
(1) Permohonan
pembatalan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU
hanya dapat diajukan oleh peserta Pemilu dalam jangka waktu paling lambat 3 x
24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional.
(2) Permohonan
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya
kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh :
a. Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang
sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
b. Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari
partai politik lokal atau kuasanya; atau
c. Calon
anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya.
(3) Permohonan
yang diajukan calon anggota DPD dan/atau partai politik lokal peserta Pemilu
DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan melalui permohonan online, surat
elektronik, atau faksimili, dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sudah harus diterima oleh Mahkamah dalam jangka waktu
paling lambat 3 x 24 jam sejak berakhirnya tenggang waktu sebagaimana diatur
pada ayat (1).
(4) Permohonan
sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama
dan alamat Pemohon, nomor telepon (kantor, ruamh, telepon seluler), nomor
faksimili, dan/atau surat elektronik;
b. Uraian
yang jelas tentang :
1. Kesalahan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang
benar menurut Pemohon;
2. Permintaan
untuk membatalkan hasil penghitungan suara yag diumumkan oelh KPU dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
(5) Permohonan
yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
c)
Regestrasi
Perkara dan Penjadwalana Sidang
(1) Permohonan
yang diterima Mahkamah diperiksa persyaratan an kelengkapannya oelh Panitera.
(2) Permohonan
yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK, sedangkan
permohonan yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahukan kepada Pemohon
untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam.
(3) Panitera
mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam BRPK kepada KPU dalam
jangka waktu paling lambat 3 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK
disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan
suara yang diperselisihkan.
(4) Jawaban
tertulis KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sudah diterima Mahkamah
paling lambat satu hari sebelum hari persidangan.
(5) Mahkamah
menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
(6) Penetapan
hari sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga)
hari sebelum hari persidangan.
d)
Pemeriksaan
Permohonan
Ø Bagian
pertama (Pemeriksaan Pendahuluan)
(1)Pemeriksaan
pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang
sekurang-kurangnya dihadiri 3(tiga) orang hakim.
(2)Dalam
pemeriksaan pendahuluan, Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan sebagaiana dimaksud dalam pasal 6 serta memberi nasehat kepeda
Pemohon untu melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat
kekurangan.
(3)Pemohon
wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam.
Ø Bagian
Kedua (Pemeriksaan Persidangan)
(1)Pemeriksaan
Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim dan/atau
Pleno Hakim.
(2)Pemeriksaan
Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan segera setelah
selesainya pemeriksaan pendahuluan.
(3)Proses
pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Jawaban
termohon;
b. Keterangan
pihak terkait;
c. Pembuktian
oleh Pemohon, Termohon, Turut Termohon, Pihak Terkait; dan
d. Kesimpulan.
(4)Untuk
kepentingan pembuktian Mahkamah dapat memanggil KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh,
KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota tertentu untuk hadir dan memberi
keterangan dalam persidangan.
(5)Apabila
dipandang perlu, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela sebelum putusan akhir.
e)
Mengenai
Alat Bukti
(1) Alat
tulis dalam perselisihan hasil pemilu terdiri dari :
a. Surat
atau tulisan;
b. Keterangan
saksi;
c. Keterangan
ahli;
d. Keterangan
para pihak;
e. Petunjuk;
dan
f. Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik. (pasal 1 ayat 10, PMK/16/2009 bagian
ketiga mengenai alat bukti)
v Penjelasan
mengenai Alat bukti surat atau tulisan dan Saksi, sesuai dengan pasal 11 dan
pasal 12, PMK/16/2009 bagian ketiga mengenai alat bukti, yaitu :
a) Alat
bukti surat atau tulisan terdiri dari :
a. Berita
acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta
pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b. Berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai peserta Pemilu
dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
c. Berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai peserta Pemilu
dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU Kabupaten/Kota;
d. Berita
acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD
Kabupaten/Kota;
e. Berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU Provinsi;
f. Berita
acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD Provinsi;
g. Berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU;
h. Berita
acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota
DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
i. Salinan
putusan sengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi
perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; dan
j. Dokumen
tertulis lainnya
Bukti
surat atau tulisan sebagaimana dimaksud adalah yang memiliki keterkaitan
langsung dengan objek perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah.Bukti
surat atau tulisan sebagaimana dimaksud diajukan sebanyak 12 rangkap yang
aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b) Saksi
dalam perselisihan hasil pemilu terdiri atas :
a. Saksi
resmi peserta pemilu; dan
b. Saksi
pemantau pemilu yang bersertifikat.
Mahkamah karena kewenangannya dapat
memanggil saksi lain untuk hadir dalam persidangan dan didengar keterangannya.
Saksi yang dimaksud adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami
sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Sebelum memberikan
keterangan dalam persidangan, saksi dan/atau ahli diambil sumpah atau janji
sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut dengan didampingi rohaniwan
yang dipandu oleh hakim.
f)
Rapat
Permusyawaratan Hakim
(1) Rapat
permusyawaratan hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah
pemeriksaan persidangan dipandang cukup.
(2) Rapat
permusyawaratan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
tertutup oleh Pleno Hakim Konstitusi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7
orang Hakim Konstitusi setelah Rapat Panel Hakim.
(3) Pengambilan
keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara musyawarah mufakat
setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim Konstitusi.
(4) Dalam
hal musyawarah sebagimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai mufakat bulat
maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(5) Dalam
hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diambil dengan
suara terbanyak maka suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim
menentukan.
g)
Putusan
(1) Putusan
mahkamah dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam
BRPK.
(2) Putusan
mahkamah sebagimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam sidang Pleno terbuka
untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya oleh 7 orang hakim Konstitusi.
(3) Amar
putusan mahkamah dapat menyatakan :
a. Permohonan
tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat sebagimana dimaksud dalam
pasal 3 ayat 1 dan/atau pasal 5 dan/atau pasal 6 ayat 1 peraturan ini;
b. Permohonan
dikabulkan apabia terbukti beralasan dan selanjutnya mahkamah membatalkan hasil
penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar; dan/atau
c. Permohonan
ditolak apabila permohonan terukti tidak beralasan.
(4) Salinan
Putusan Mahkamah di sampaikan kepada Pemohon, KPU, Presiden, dan Pihak terkait.
(5) KPU,
KPU Provinsi atau KIP atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan
Mahkamah.
· Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 17 tahun 2009
Peraturan Mahkamah Konstitusi ini mengatur tentang Pedoman beracara dalam
perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Peraturan
ini mengatur ketentuan yang berkaitan dengan :
PHPU Presiden dan Wakil Presiden
diperiksa dan diputus secara cepat dan sederhana. Putusan PHPU Presiden dan
Wakil Presiden merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang
bersifat final dan mengikat.
a)
Para
Pihak dan Objek Perselisihan
(1) Para
pihak dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah :
a. Pasangan
calon sebagai Pemohon;
b. KPU
sebagai Termohon.
(2) Pasangan
calon selain pemohon dapat menjadi pihak terkait dalam persidangan, baik atas
permintaan sendiri, maupun atas penetapan Mahkamah.
(3) Phak
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh mahkamah.
(4) Permohonan,
Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing
berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan
surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu.
Objek PHPU Presiden dan Wakil Presiden
adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang
dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi :
a. Penentuan
pasangan calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden; atau
b. Terpilihnya
pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
b)
Tata
Cara Pengajuan Permohonan
(1) Permohonan
pembatalan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 x 24 jam sejak penetapan secara nasional
hasil perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.
(2) Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 rangkap yang
ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa
khusus dari Pemohon.
(3) Permohonan
sekurang-kurangnya memuat :
a. Identitas
lengkap Pemohon yang dilengkapi fotokopi Kartu tanda Penduduk (KTP) dan bukti
sebagai Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b. Uraian
yang jelas mengenai :
1. Kesalahan
hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil
penghitungan yang benar menurut Pemohon;
2. Permintaan
untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh
KPU dan menetapkan hasil penghitung suara yang benar menurut Pemohon.
(4) Permohonan
yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
c)
Registrasi
Perkara dan Penjadwalan Sidang
(1) Panitera
memeriksa persyaratan dan kelengkapan Permohonan.
(2) Panitera
mencatat permohonan yang telah memenuhi syarat dan kelengkapan dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
(3) Dalam
hal permohonan belum memenuhi syarat dan/atau belum lengkap, Pemohon dapat
memperbaiki dalam jangka waktu 1 x 24 jam setelah tenggat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1).
(4) Panitera
mengirimkan salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada KPU dalam jangka
waktu paling lambat 1 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
Permohonan Perdata disertai permintaan jawaban tartulis dari KPU dan
bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan.
(5) Hari
sidang pertama diselenggarakan setelah 3 hari terhitung sejak permohonan
diregistrasi.
(6) Pemberitahuan
hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling lambat 1 x 24 jam sebelum
persidangan.
d)
Pemeriksaan
Permohonan
Ø Bagian
Pertama (Pemeriksaan Pendahuluan)
(1)Pemeriksaan
pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang
sekurang-kurangnya dihadiri oleh 3 orang Hakim Konstitusi atau Pleno Hakim.
(2)Dalam
Pemeriksaan Pendahuluan, Panel Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan wajib
memberi nasehat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan
apabila terdapat kekurangan.
(3)Perbaikan
Permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon hanya dalam persidangan hari pertama,
baik atas kemauan sendiri maupun atas nasehat Hakim.
Ø Bagian
Kedua (Pemeriksaan Persidangan)
(1)Pemeriksaan
Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Pleno Hakim yang
sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim Konstitusi.
(2)Pemeriksaan
Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan segera setelah
selesainya Pemeriksaan Pendahuluan.
(3)Proses
Pemeriksaan Persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Jawaban
Termohon;
b. Keterangan
Pihak Terkait;
c. Pembuktian
oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan
d. Kesimpulan.
(4)Untuk
kepentingan pembuktian, Mahkamah dapat memanggil KPU Provinsi dan/atau KIP
Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota tertentu untuk hadir dan
memberi keterangan dalam persidangan.
(5)Apabila
dipandang perlu, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela sebelum putusan akhir.
e) Alat Bukti
(1) Alat
bukti dalam perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdiri atas
:
a. Surat
atau tulisan;
b. Keterangan
saksi;
c. Keterangan
ahli;
d. Keterangan
para pihak; dan
e. Petunjuk;
(2) Informasi
elektronik;
(3) Dokumen
elektronik.
v Penjelasan
mengenai Alat bukti surat atau tulisan dan Saksi, sesuai dengan pasal 10, 11
dan pasal 12 serta pasal 13, PMK/17/2009 bagian ketiga mengenai alat bukti,
yaitu :
a) Alat
bukti surat atau tulisan terdiri atas :
a. Berita
acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b. Berita
acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
c. Berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dari KPU Kabupaten/Kota;
d. Berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dari KPU Provinsi;
e. Berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dari KPU;
f. Berita
acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dari KPU;
g. Salinan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi
perolehan suara peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan
h. Dokumen
tertulis lainnya.
Bukti surat atau tulisan sebagaimana
dimaksud adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek PHPU Presiden
dan Wakil Presiden yang dimohonkan ke Mahkamah. Bukti surat atau tulisan
sebagaimana dimaksud diajukan dalam 12 rangkap yang aslinya dibubuhi materai
secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal
terbukti KPU tidak melaksanakan kewajiban hukumnya untuk memberi dokumen-dokumen
sebagaimana dimaksud kepada saksi peserta Pemilu maka Mahkamah dapat menetapkan
putusan sela untuk penghitungan suara ulang secara berjenjang atau permohonan
dianggap beralasan.
b) Saksi
dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden terdiri dari :
a. Saksi
resmi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan
b. Saksi
pemantau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang bersertifikat.
Mahkamah karena kewenangannya dapat
memanggil saksi lain untuk hadir dalam persidangan dan didengar keterangannya.
Saksi sebagaimana dimaksud adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami
sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Sebelum memberikan
keterangan dalam persidangan saksi dan/atau ahli diambil sumpah atau janji
sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut dengan didampingi rohaniwan
yang dipandu oleh Hakim.
f)
Rapat
Permusyawaratan Hakim
(1) Rapat
Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah
Pemeriksaan Persidangan dipandang cukup.
(2) Rapat
Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim Konstitusi
yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim Konstitusi.
(3) Pengambilan
keputusan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat setelah mendengarkan
pendapat hukum para Hakim Konstitusi.
(4) Dalam
hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai mufakat bulat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(5) Dalam
hal pengambilan eputusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak tercapai, suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim
menentukan.
g)
Putusan
(1) Pemeriksaan
perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden diputus paling lambat 14 hari kerja
sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(2) Putusan
mengenai permohonan PHPU Presiden dan Wakil Presiden diucapkan dalam Sidang
Pleno terbuka untuk umum.
(3) Amar
Putusan Mahkamah mengenai PHPU Presiden dan Wakil Presiden dapat menyatakan :
a. Permohonan
tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1), pasal 4, dan pasal 5 ayat (1) pada
PMK/17/2009.
b. Permohonan
dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan, dan selanjutnya Mahkamah
membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU, serta menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar;
c. Permohonan
ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
(4) Salinan
putusan Mahkamah disampaikan kepada MPR, Presiden, KPU, Pasangan Calon, dan
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan calon.
(5) KPU
wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah.
· Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
· Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan
Elektronik (Elektronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video
Conference).
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan
akuntabilitas.
Pemilihan
umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
- Cara langsung, dimana rakyat secara langasung
memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.
Contohnya, pemilu di Indonesia untuk memilih anggota DPRD, DPR, dan
Presiden.
- Cara bertingkat, di mana rakyat terlebih dahulu
memilih wakilnya (senat), lantas wakil rakyat itulah yang memilih wakil
rakyat yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.
Berikut ini
adalah contoh sengketa pemilu yang paling menonjol adalah
maraknya persengketaan hasil pemilu antara peserta pemilu yang kalah dengan
peserta pemilu yang menang. Ataupun antara peserta pemilu dengan KPU sebegai
penyelenggara pemilu. Kebanyakan yang terjadi dimana peserta pemilu yang kalah,
memang tidak siap mental dala menghadapi kekalahannya, sehingga seperti mencari-cari
kesalahan dalam penyelenggaraan pemilu, menyatakan bahwa hasil pemilu tidak sah
karena ada kecurangan bahkan menuntut hasil pemilu untuk dianulir atau
dibatalkan. Biasanya, hal ini akan
mengakibatkan kekisruhan antara para pendukung peserta pemilu yang akan
berakhir dengan tindakan-tindakan anarkis dan adu jotos. Loyalitas terhadap
demokrasi mereka wujudkan dalam bentuk anti demokrasi.
B.
SARAN
Agar
buku referensi tentang Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi di perkarya dengan hal-hal yang
memang relavan dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan politik.
Agar
makalah seperti ini mendapat dukungan dan respon positif untuk menjadi bahan
referensi untuk penyusunan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Siahaan,
Maruarar. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2.
Jakarta : Sinar Grafika