Rabu, 25 November 2015

Cara mengatasi Rasa bosan



 CARA MENGATASI RASA BOSAN


Anda pasti pernah merasa bosan?.
Karena setiap orang pasti akan merasakannya, entah itu bosan karena pelajaran, tidak di perhatiakan, atau pun saat suasana yang ada tidak membuat kita senang dan lain-lain. Rasa bosan memang sangat sering menghinggapi seseorang apalagi jika kita sedang sendirian atau pun terlalu sering mengerjakan hal-hal yang sama tiap harinya (kegiatan yang monoton). Terus bagaimana cara untuk mengatasi rasa bosan tersebut ?.
Saya akan berbagi cara mengatasi rasa bosan pada anda. Inilah kebiasaan yang saya lakukan untuk mengatasi rasa bosan pada diri saya, yaitu:
Pertama, carilah hal-hal atau kegiatan yang baru bagi anda, yang tentu saja memberikan manfaat bagi bagi anda.
Kedua, lakukanlah  hal-hal yang menyenangkan bagi anda, seperti mendengarkan lagu, jalan-jalan dan lain-lain, kegiatan itu cukup ampuh untuk mengusir rasa bosan yang anda alami.
Ketiga, berkumpul dengan teman-teman, selain anda dapat bertemu dengan teman-teman anda anda juga bisa berbagi pengalaman ataupun curhat dengan mereka.
Keempat, cobalah untuk menuangkan perasaan anda lewat tulisan, mungkin anda akan merasa lebih nyaman jika anda malu untuk curhat dengan teman anda,  siapa tahu tulisan anda bisa menjadi suatu karya yang bagus dan tak menutup kemungkinan dapat menghasilkan uang.
Kelima, brosing hal-hal yang menarik di internet atau berkomunikasi lewat media sosial juga dapat menghilangkan rasa bosan anda.
Keenam, nonton film-film yang anda sukai, yang paling jitu adalah film komedi, karena itu dapat membuat anda tertawa dan mengusir rasa bosan anda.
Itulah hal-hal yang sering saya lakukan ketika saya merasa bosan, semoga cara ini juga bisa menjadi cara bagi anda untuk mengatasi rasa bosan anda. 

By : Rin

Selasa, 17 November 2015

Modis Bukan Berarti Harus Bermerk



MODIS BUKAN BERARTI HARUS BERMERK 

 

Modis bukan berarti menggunakan pakaian bermerk terkenal atau merk yang mempunyai harga produk yang selangit. Kebanyakan orang berpikir bahwa menggunakan pakaian yang bermerk dapat menjadikannya diri mereka terlihat berpenampilan modis dihadapan orang lain. Namun mereka tidak menyadari bahwa tidak sedikit juga yang terlihat aneh kelihatannya ketika mereka menggunakan pakaian-pakaian bermerk yang dibelinya hal itu karena kurang cocok ketika di pakai oleh mereka. Kebanyakan dari mereka tidak memperhatikan kenyamanan dan kecocokan pakaian tersebut. Yang mereka pikirkan hanya yang penting mereka bisa bergaya dengan pakaian bermerk yang digunakannya, tujuan utamanya hanya satu yaitu pamer pada orang lain untuk menunjukan merk-merk pakaian ternama yang dikenakannya dan bisa menjadi pusat perhatian orang yang ada di sekelilingnya serta di sekitar lingkungan yang dilaluinya. Selain itu mereka juga ingin dianggap sebagai orang yang yang ternama atau terkenal karena pakaian bermerk yag dikenakannya.
Dibalik sikap mereka itu mereka tidak menyadari berapa banyak kerugian yang diperolehnya.
Pertama, mereka menghabiskan banyak uang untuk membeli pakaian yang memiliki merk ternama itu tanpa berpikir berapa banyak uang yang dikeluarkan, yang mengakibatkan borosnya mereka.
Kedua, mereka akan membeli pakaian bermerk dan mahal tanpa memperhatikan kenyamanan dan kecocokan untuk dirinya, sehingga tak jarang pakaian tersebut hanya akan dipakainya 1-2 (satu sampai dua) kali saja. Selain itu mereka juga suka untuk bergonta-ganti pakaian, karena mereka akan merasa gengsi jika tak bergonti-ganti pakaian tiap harinya dengan pakaian bermerk, mereka tak jarang akan membelinya lebih dari satu dan tak jarang pula pakaian itu hanya dipakai mereka satu kali saja, hal itu menyatakan bahwa itu sangatlah mubajir.
Jadi, bagaimana caranya supaya kalian bisa tetap tampil modis tanpa harus banyak membuang uang dan mubajir :
Untuk itu kita perlu mengetahui lebih dahulu apa itu modis?.
Fashion adalah bagaimana membuat pas penampilan dan membuat seseorang terlihat pada penampilannya yang terbaik. Fashion adalah norma dari pakaian, mobil, rumah, dan bahkan hewan peliharaan. Fashion adalah modis. Pakaian modis adalah pakaian yang cocok dan mendukung tubuh pemakainya. Pakaian modis tidak menunjukkan terlalu banyak kulit atau tampak terlalu ketat. Pakaian modis tidak membatasi gerakan, melainkan memungkinkan individu untuk menjadi senyaman dan sealami mungkin.(google.com)
Jadi, kalau anda ingin tampil modis bukan berarti anda harus menggunakan pakaian bermerk yang pastinya mempunyai harga yang mahal, tapi gunakanlah pakaian yang pantas,sopan serta nyaman bagi anda, selain itu perhatikanlah kerapian dari pakaian yang anda gunakan. Jika anda merasa pantas dan nyaman menggunakannya, orang pun akan merasakan hal yang sama dengan anda serta akan melihat hal menarik dan kenyamanan ketika anda memakainya. Kalau perlu anda tak usah membeli pakaian yang baru untuk terlihat modis namun anda harus pintar memodifikasi serta melahirkan inovasi-inovasi yang baru, sehingga anda terlihat berbeda. Namun tetap memperhatikan kenyamanan bagi anda dan sopan untuk dilihat orang lain. Siapa tahu anda akan menjadi pusat perhatian serta trend-setter dikalangan lingkungan anda berada.

By : Rin

 

Minggu, 01 November 2015



MAKALAH
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
( ABKA2403 )
“MEMUTUS PERSELISIHAN HASIL PEMILU”

Dosen Pembimbing :
Drs. H. Harpani Matnuh, M. H dan Nur Laili Hidayati S.Pd., M.Pd


 










Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
AULIA RAHMAH         (A1A213014)
                             HAIRINA WASLIAH    (A1A213024)
HAMIDAH                     (A1A213013)
IRMA                              (A1A213062)
RAHMAT RIADI           (A1A213053)


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
BANJARMASIN
2015

PEMBAHASAN
MEMUTUS PERSELISISHAN HASIL PEMILIHAN UMUM

A.  Perselisihan Hasil Pemilu
Untuk mendukung penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang demokratis dan berkualitas diperlukan sistem pendukung yang memadai antara lain organisasi dan personil penyelenggaraan pemilu yang independen dan profesional. Berdasarkan kesadaran kolektif atas evaluasi penyelenggaraan pemilu 1999, personil penyelengaraan pemilu yang terdiri dari unsur partai politik gagal menetapkan hasil pemilu maka dilakukan konsensus untuk membentuk organisasi penyelenggara pemilu yang keanggotaannya independen.
Keputusan politik untuk menyelenggarakan pemilu secara lansung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan oleh suatu komisi peilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri ditindaklanjuti dengan melakukan amandemen UUD 1945. Perubahan ketiga UUD 1945, pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Ketentuan pasal 22E ayat 5 UUD 1945 tidak menyebutkan secara pasti nama lembaga penyelenggara pemilu. Jimly Asshiddiqi memberikan tafsir bahwa perkataan komisi pemilihan umum yang tertuang dalam pasal 22E ayat 5 tidak dimaksudkan untuk menyebut nama, malainkan perkataan umum untuk menyebut lembaga penyelenggara pemilu. Untuk itu cukup ditulis dengan huruf kecil. Sebenarnya nama lembaga penyelenggaraan pemilu tidak diharuskan bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). UU dapat memberikan nama kepada lembaga penyelenggara pemilu, misalnya dengan sebutan Badan, atau yang lainnya. Namun demikian UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mempertahankan nama lembaga penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sayangnya, pemilu yang dielu-elukan sebagai pesta demokrasi, tidak disertai pemahaman dan pengertian akan inti demokrasi itu sendiri oleh para pelakunya. Contoh yang paling menonjol adalah maraknya persengketaan hasil pemilu antara peserta pemilu yang kalah dengan peserta pemilu yang menang. Ataupun antara peserta pemilu dengan KPU sebegai penyelenggara pemilu. Kebanyakan yang terjadi dimana peserta pemilu yang kalah, memang tidak siap mental dala menghadapi kekalahannya, sehingga seperti mencari-cari kesalahan dalam penyelenggaraan pemilu, menyatakan bahwa hasil pemilu tidak sah karena ada kecurangan bahkan menuntut hasil pemilu untuk dianulir atau dibatalkan.  Biasanya, hal ini akan mengakibatkan kekisruhan antara para pendukung peserta pemilu yang akan berakhir dengan tindakan-tindakan anarkis dan adu jotos. Loyalitas terhadap demokrasi mereka wujudkan dalam bentuk anti demokrasi.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Perselisihan hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara hasil pemilu oleh KPU atau keberatan pemohon terhadap penetapan hasil pemilu oleh KPU.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sini adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia. Sengketa pemilu ini merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidak sepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebajikan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu.
Keberatan dapat diajukan jika pemohon memiliki alasan bahwa perhitungan hasil perolehan suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbeda dengan perhitungan hasil perolehan suara menurut pemohon.

B.  Pihak Dalam Sengketa
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Pemilu yang dimaksud adalah pemilu menurut pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden dan DPRD. Dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 ditentukan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan angota DPRD adalah partai politik, sedang dalam pasal 22E ayat (3) UUD 1945 ditentukan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perorangan. Sedangkan peserta pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden menurut pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UD 1945 adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Di lain pihak, penyelenggara pemilu menurut pasal 22E ayat (5) UUD 1945 diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dibentuk sebagai KPU dengan jajarannya KPU Provinsi serta Kabupaten/Kota sebagi pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan di atas, dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 16/PMK/2009 ditentukan bahwa yang dapat menjadi Pemohon untuk mengajukan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi adalah :
a.    Perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta pemilihan umum (Pemilu);
b.   Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum (Pemilu); atau
c.    Partai politik peserta pemilihan umum (Pemilu).
Partai politik yang megajukan permohonan dalam perselisihan hasil pemilu DPR/DPRD haruslah pengurus pusat partai yang bersangkutan sebagai badan hukum. Akan tetapi, pengurus pusat dapat memberkan kuasa baik kepada pengurus daerah (DPD maupun DPC) atau kuasa hukum yang ditunjuk menangani permohonan dari partai yang bersangkutan.
Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pesertanya adalah perorangan maka yang boleh menjadi pemohon adalah perorangan peserta pemilihan umum (Pemilu) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang meraasa dirugikan oleh hasil perhitungan suara yang ditetapkan.
Adapun pada pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden meskipun pasangan calon diajukan oleh partai politik peserta pemilu namun yang boleh menjadi pemohon di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mempersoalkan hasil perhitungan suara adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presidentersebut.
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sehingga yang boleh jadi pemohon untuk mempersoalkan hasil perhitungan suara pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik yang bersangkutan.
Selaku pihak termohon, dapat disimpulkan adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nasional, karena menurut pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi materi permohonan adalah penetapan hasil pemilihan umum (Pemilu) yang dilakukan KPU secara nasional meskipun hasil itu menyangkut pelaksanaan dan penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Provinsi atau Kabupaten atau Kotadi daerah pemilihan. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04 dan No. 05/2004 secara tegas menyebutkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon.

C.  Syarat Permohonan
Permohonan hanya dapat diterima jika diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum (Pemilu) secara nasional, dan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang mempengaruhi berikut ini :
a)   Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
b)   Penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua pemilihan Presiden dan wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden
c)   Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
Ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mensyaratkan bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang :
a.    Kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon; dan
b.   Permintaan untuk membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon.
Dari pernyataan itu, maka nyata bahwa sesungguhnya perselisihan tersebut hanya menyangkut segi kuantitatif atau jumlah perolehan suara yang membawa pengaruh kepada terpilih tidaknya calon anggota DPD, DPR/ DPRD, dan Presiden/ Wakil Presiden.
Pengalaman menunjukan penyelenggaraan pemilihan umum di beberapa tempat tertentu telah melanggar asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil) yang sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan suara. Penanganan persengketaan yang sudah bercorak pidana akan ditangani penyidik, penuntut umum, serta pengadilan negeri yang juga seharusnya diselesaikan dalam tenggang waktu yang ditentukan, sehingga apabila ada kecurangan pelaksanaan pemilu yang mempengaruhi hasil perolehan suara, putusan pengadilan dapat dijadikan alat bukti di Mahkamah Konstitusi yang akan menyatakan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU salah. Akan tetapi, dalam kenyataan hal demikian tidak terjadi. Setelah perselisihan hasil pemilu selesai diputus Mahkamah Konstitusi, baru putusan pengadilan yang menyatakan kecurigaan itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk menuntut revisi putusan Mahkamah Konstitusi. Jadwal ketatanegaraan kita tidak membenarkan hal tersebut dan putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tidak dapat diubah lagi.
Dengan demikian, proses yang terjadi di Mahkamah Konstitusi sesungguhnya sangat sederhana, yaitu pemohon mendalilkan hasil perhitungan suara yang dilakukan KPU salah dan kemudian pemohon mengemukakan hasil penghitungan suara yang benar. Apabila pemohon dapat membuktikan dalil permohonannya dan hakim yakin kebenaran hasil penghitungan menurut versi pemohon atau hakim menyimpulkan dari alat bukti yang diajukan memang hasil perhitungan KPU salah, Mahkamah Konstitusi akan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar. Meskipun dikatakan sederhana, penghitungan demikian jadi tidak mudah karena standar minimum legalitas rekapitulasi penghitungan suara dan berita acara yang dibuat belum jelas dan tidak sedikit berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang direkayasa oleh para petugas yang tidak jujur.
Karena batasan yang ditentukan sebagai materi perselisihan hanya menyangkut hasil penghitungan suara ynag mempengaruhi terpilihnya anggota DPR, DPD, DPRD, dan pasangan calon Presiden/ Wakil Presiden, meskipun terjadi kesalahan penghitungan suara tetapi penghitungan suara tersebut tidak signifikan membawa pengaruh untuk mengubah posisi peserta pemilu untuk terpilih, maka permohonan demikian akan dengan mudah dikesampingkan. Misalnya oleh karena anggota DPD yang akan terpilih untuk tiap Provinsi adalah 4 (Empat) orang maka calon peringkata kelima dan keenam dipandang memiliki posisi yang boleh jadi mendapat pengaruh dari hasil penghitungan suara yang salah. Akan tetapi, itu pun hanya relevan jika jumlah suara yang didalilkan hilang dapat melampaui secara signifikan calon anggota DPD peringkat diatasnya. Demikian pula halnya dengan calon anggota DPR/DPRD dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Karena faktor waktu yang singkat dalam memutus perkara pemilu, maka segala sarana yang dapat mempermudah komunikasi baik untuk pendaftaran permohonan, peenyampaian panggilan, dan mendengarkan keterangan saksi terutama sarana teknologi informasi telah digunakan. Pendaftaran permohonan diperkenankan dengan e-mail dan faximile meskipun harus di konfirmasi kemudian dengan permohonan asli yang harus sudah diterima Mahkamah Konstitusi 3 (tiga) hari sejak habisnya tenggang waktu penerimaan permohonan. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak permohonan didaftarkan dalam BRPK, sidang pertama perkara perselisihan hasil pemilu legislatif sudah harus ditetapkan dan salinan permohonan sudah dikirimkan kepada KPU. Panggilan sidang dapat dilakukan melalui telepon. Adapun alur dari proses pengajuan permohonan dalam sengketa di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
1.   Pengajuan Permohonan pasca Penetapan KPU
a.    Permohonan yang dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK
b.   Permohonan yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahu pada Pemohon untuk diperbaiki 1 x 24 jam
c.    Salinan Permohonan dikirimkan ke KPU dikirimkan paling lambat 3 hari kerja disertai permintaan jawaban tertulisdan bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan
2.   Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
a.    Mahkamah menetapkan hari sidang pertama, paling lambat 7 hari sejak permohonan dicatat di BRPK
b.   Jawaban paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan
c.    Penetapan hari sidang pertama diberitahu kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 hari sebelum hari sidang;
Satu hal yang tidak dimuat secara tegas dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04 Tahun 2005 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 05 Tahun 2004 adalah acara mendengarkan keterangan saksi serta KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang jaraknya sangat jauh dari ibukota yang dilakukan dengan sarana teleconference. Namun, acara tersebut telah dilakukan dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu legislatif yang lalu. Dasar hukum yang digunakan dalam hal ini adalah Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyangkut dibakukannya alat bukti yang didasarkan pada Teknologi Informasi (TI). Saat ini hal tersebut diatur secara lebih detil dalam PMK No. 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengujian  Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak jauh (Video Conference).

D.  Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi
Para pihak atau yang disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan permohonan tersebut yang secara administrasi ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap dari pemohon, yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputuskan.
Untuk kepentingan itu, sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa:
1.   Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh:
a.    calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya
b.   pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan kuasanya
c.    Ketua umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari pengurus pusat partai politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus memuat antaranya:
·     Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon seluler/email. Yang dihampiri dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain meliputi; foto copy KTP, terdaftar sebagai pemilih yang dibuktikan dengan kartu pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilihan Umum (bagi partai politik dan perseorangan calon anggota DPD).
2.   Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat dilakukan melalui faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud diatas sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
3.   Uraian yang jelas tentang:
a.    Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon
b.   Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
4.   Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil penghitungan suara, foto copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam setiap jenjang penghitungan, atau foto copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap dibubuhi materai cukup dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi dan/atau ahli, daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan bersama-sama permohonannya.
5.   Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam (tiga kali dua puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu pengajuan permohonan yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga dimudahkan yaitu dapat melalui faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat waktu. Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003, dimana dalam pasal tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah Konstitusi dan bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan permohonan, baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun kasus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam pelaksanaan wewenangnya sebagai lembaga Negara yang memutuskan perkara ditingkat awal dan pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, Mahkamah Konstitusi.
           
E.  Pemeriksaan Pendahuluan
Berbeda dengan pemeriksaan pendahuluan sebagaimana umumnya dilakukan dalam perkara pengujian Undang-Undang , dalam perkara perselisihan pemilu pemeriksaan pendahuluan yang memberi kesempatan memperbaiki permohonan untuk pemohon calon anggota DPR/ DPRD dan DPD, meskipun diberi jangka waktu 3 x 24 jam dan perselisihan hasil pemilu Presiden/ Wakil Presiden 1 x 24 jam namun dalam praktek ynag lalu perbaikan dilakukan langsung ditempat dan diperbolehkan dengan tulisan tangan. Hal ini terjadi karena banyaknya permohonan yang diterima, sehingga apabila dilakukan sesuai dengan aturan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dikhawatirkan tenggang waktu yang disebut menjadi tidak dapat dipenuhi.
·     Pemeriksaan pendahuluan akan memeriksa legal standing. Dalam hal perkara perselisihan hasil pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD, pemeriksaan pendahuluan dilakukan dengan memeriksa apakah permohonannya adalah pengurus pusat partai politik yang bersangkutan. Bilamana dalam permohonan tidak dijumpai hal demikian, pemeriksaan pendahuluan akan memeriksa setidaknya mengenai apakah pemohon memiliki surat kuasa yang sah dari pengurus pusat partai politiknya.
·     Langkah kedua adalah memeriksa signifikasi perhitungan suara yang didalilkan pemohon hilang atau salah dalam perhitungannya, apakah mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPR/DPRD atau DPD tersebut. dalam hal pasangan Presiden/Wakil Presiden, juga diperiksa apakah signifikan untuk terpilih atau tidak untuk masuk dalam putaran kedua, kalau signifikasi angka yang tidak berpengaruh demikian letah menjadi nyata, maka kesimpulan atas permohonan dengan sangat mudah telah dapat diambil tanpa melanjutkan pemeriksaan lainnya.
Berikut ini adalah ringkasan secara sederhana mengenai pemeriksaan pendahuluan, yaitu :
a.    Jumlah Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri 3 (tiga) orang hakim;
b.   Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;
c.    Panel Hakim memberi nasihat untuk  melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan;
d.   Pemohon wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam waktu 1x24 jam

F.   Pemeriksaan Persidangan
Atas alasan tenggang waktu dan beban permohonan yang masuk, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 menugaskan panel hakim untuk melaksanakan pemeriksaan pendahuluan maupun persidangan. Hasilnya kemudian dilaporkan kepada Pleno Mahkamah Konstitusi untuk dimusyawarahkan sebelum mengambil keputusan. Sebagaimana diutarakan diatas, penggunaan sarana teknologi informasi dalam pemeriksaan persidangan juga membawa kecepatan penyelesaian yang diharapkan dan jarak tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Yang menjadi perhatian tentulah memeriksa kebenaran identitas saksi dan KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota yang didengar di daerah yang jauh dari tempat persidangan. Karena sarana yang digunakan adalah Mabes Polri, dan pihak yang didengar berada dirungan Polda setempat, maka prosedur identifikasi dan verifikasi demikian dilakukan dengan suatu kerja sama dengan pihak Polri.petugas Mahkamah Konstitusi dan petugas Mabes Polri yang berada diJakarta (lokasi saran teleconference) mengadakan persiapan verifekasi identitas tersebut dengan petugas Polda setempat, sehingga nilai keterangannya dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
Pemeriksaan di persidangan pertama-tama memberi kesempatan pada pemohon untuk menguraikan dengan ringkas permohonannya dengan mengemukakan kesalahan perhitungan yang dilakukan KPU dan mengemukakan perhitungan suara yang benar. Dalam petitumnya pemohon mencantumkan untuk meminta Mahkamah Konstitusi menetapkan hasil perhitungan yang benar dan membatalkan perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU.
KPU diberi kesempatan untuk memberikan keterangan sebagai tanggapan atas permohonan tersebut. jika Panwaslu hadir, maka Panwaslu juga diberikan kesempatan memberi keterangan apakah membenarkan atau menyangkal dalil pemohon. Apabila keterangan telah dipandang cukup baru kemudian diberi kesempatan bagi pemohon untuk membuktikan dalilnya dengan alat bukti. Alat bukti yang disebut dalam Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara umum dan dalam Peraturan mahkamah Konstitusi No. 04 Tahun 2004 dan peraturan Mahkamah Konstitusi No. 05 Tahun 2004, yaitu tentang bukti surat dan saksi adalah merupakan alat bukti yang umumnya diajukan. Bukti surat tersebut adalah salinan atau fotocopy berita acara dan sertifikat hasil atau rekafitulasi hasil penghitungan suara pada jenjang yang diperselisihkan. Sertifikat dimaksud haruslah dilegalisasi pejabat KPU dan diberi materai secukupnya. Untuk dapat diterima sebagai alat bukti yang digunakan mendukung dalil ketidak benaran penghitungan suara yang dilakukan KPU, maka berita acara demikian harus sudah memuat pernyataan keberatan dari saksi peserta Pemilu yang tidak menerima hasil penghitungan tersebut dan telah memohon perbaikannyapada jenjang penghitungan suara yang berkenaan, tetapi tidak ditindaklanjuti.
Disamping itu, keterangan saksi juga dapat diajukan untuk mendukung dalil permohonan pemohon, tetapi masih terdapat ketidakseragaman dalam praktek yang lalu tentang kualifikasi saksi. Pasal 8 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 05 Tahun 2004 menyatakan :
“ keterangan saksi adalah keterangan dari saksi pemegang mandat peserta pemilu di setiap jenjang penghitungan suara sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 jo. Keputusan KPU No. 37 Tahun 2004 dan Keputusan KPU No. 38 Tahun 2004”.
Ada yang menafsirkan bahwa hanya saksi yang ditunjuk sebagai saksi pemegang mandat peserta Pemilu di setiap jenjang penghitungan suara, yaitu yang menyaksikan penghitungan di TPS dan menyatakan keberatan bila perlu yang dapat didengar di sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendukung permohonan. Kalau hal itu dijadikan sebagai aturan yang berlaku umum, maka akan bertentangan dengan Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyebut saksi sebagai satu alat bukti dan saksi adalah orang yang mengalami, melihat, dan mendengar sendiri peristiwa yang terjadi.
Kekhawatiran bahwa kalau saksi seperti ini diperbolehkan untuk didengar akan menyebabkan pemeriksaan hasil penghitungan suara di Mahkamah Konstitusi menjadi tidak pasti karena saksi-saksi bisa saja direkayasa. Akan tetapi, keberatan ini tidak cukup beralasan karena hakim berwenang menilai keberadaan saksi tersebut serta alasan dan latar belakang saksi dimaksud memberi keterangan. Sanksi sumpah palsu bagi seorang saksi dan penilaian hakim akan nilai keterangannya tidak perlu menimbulkan ketidakpastian aturan semacam itu. Kemungkinan bahwa tugas hakim semakin berat, memang benar.
Setelah pemeriksaan dipandang selesai, maka panel hakim akan melaporkan hasil pemeriksaan persidangan atas perkara permohonan yag diajukan dan kemudian majelis pleno hakim konstitusi bermusyawarah untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan dan pengumuman keputusan tersebut dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Apabila permohonan tidak beralasan dan/atau pemohon tidak memenuhi syarat, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kalau permohonan tidak dapat dibuktikan secara cukup dan meyakinkan, permohonan akan dinyatakan ditolak. Permohonan yang beralasan dan didukung bukti yang cukup serta meyakinkan, maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan menyatakan penghitungan suara yang dilaksanakan KPU salah dan Mahkamah Konstitusi menetapkan penghitungan suara yang benar.
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan, maka putusan tentang perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD disampaikan kepada Presiden, pemohon dan KPU. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil pemilihan Presiden/ Wakil Presiden disampaikan masing-masing kepada MPR, Presiden/Pemerintah, KPU, partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon, serta pasangan calon Presiden/Wakil Presiden peserta Pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final dan mengikat serta wajib dilaksanakan oleh KPU.
Keberatan yang disertai dengan putusan pengadilan negeri yang menyatakan terjadi pemalsuan dan tindak pidana lain yang menyebabkan kesalahan hasil penghitungan suara tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar revisi atau peninjauan kembali putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara kronologis, urutan yang seharusnya adalah bahwa sebelum penetapan hasil penghitugan suara secara nasional oleh KPU segala penyimpangan yang bersifat tindak pidana telah selesai disidik, dituntut, dan diputus oleh aparat hukum di daerah. Seluruh proses itu juga harus berlangsung secara cepat (perkara cepat) karena adanya jadwal ketatanegaraan yang harus dipenuhi. Akan tetapi, karena sosialisasi yang krang memadai aparat hukum belum memahaminya dan penanganan yang dilakukan berada di luar jadwal ketatanegaraan yang telah disusun. Sifat final and binding putusan Mahkamah Konstitusi karena jadwal ketatanegaraan yang tersusun menyebabkan hal ini tidak bisa dihindari.

G. Undang-Undang yang berkaitan dengan wewenang MK dalam Memutus Hasil Pemilihan Umum
·     Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada bab v mengenai hukum acara, pada bagian kesebelas salah satu kewenangan MK dalam memutus Perselisihan hasil Pemilihan Umum, menyatakan bahwa :
Pasal 74
(1)    Pemohon adalah :
a.    Perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
b.   Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c.    Partai politik peserta pemilihan umum.
(2)    Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi :
a.    Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b.   Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
c.    Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
(3)    Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak komisi pemilihan umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Pasal 75
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas :
a.    Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b.   Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Pasal 76
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Regestrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 77
(1)    Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2)    Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3)    Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
(4)    Dalam hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 78
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu :
a.    Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Regestrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
b.   Paling lambat 30 (tiga puluh ) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Regestrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 79
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilihan umum disampaikan kepada Presiden.
·     Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 16 Tahun 2009
Peraturan Mahkamah Konstitusi ini mengatur tentang Pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Peraturan ini mengatur ketentuan yang berkaitan dengan :
PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD diperiksa dan diputus secara cepat dan sederhana. Putusan PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat.
a)     Para Pihak dan Objek Perselisihan
(1)    Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah :
-      Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta Pemilu sebagai Pemohon;
-      Partai politik peserta Pemilu sebagai Pemohon;
-      Partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu anggota DPRA dan DPRK di Aceh sebagai Pemohon;
-      KPU sebagai Termohon.
(2)    Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Provensi dan/atau DPRA, KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi Turut Termohon.
(3)    Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Kabupaten/Kota dan/atau DPRK di Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota di Aceh menjadi Turut Termohon.
(4)    Peserta Pemilu selain Pemohon yang berkepengtingan terhadap permohonan yang diajukan Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait.
(5)    Pemohon, Termohon, Turut Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu. (Pasal 3 BAB II)
Keberadaan Pihak Terkait dalam perkara PHPU diteteapkan oleh Mahkamah. (Pasal 4 BAB II)
Objek PHPU adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi :
a.    Terpenohinya ambang batas perolehan suara 2,5 %  (dua koma lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam dalam pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwalilan Rakyat Daerah;
b.   Perolehan kursi partai politik peserta pemilu disuatu daerah pemilihan;
c.    Perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta Pemilu di Aceh;
d.   Terpilihnya anggota calon DPD
b)      Tata Cara Pengajuan Permohonan
(1)    Permohonan pembatalan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU hanya dapat diajukan oleh peserta Pemilu dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
(2)    Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh :
a.    Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
b.   Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya; atau
c.    Calon anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya.
(3)    Permohonan yang diajukan calon anggota DPD dan/atau partai politik lokal peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan melalui permohonan online, surat elektronik, atau faksimili, dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah harus diterima oleh Mahkamah dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak berakhirnya tenggang waktu sebagaimana diatur pada ayat (1).
(4)    Permohonan sekurang-kurangnya memuat :
a.    Nama dan alamat Pemohon, nomor telepon (kantor, ruamh, telepon seluler), nomor faksimili, dan/atau surat elektronik;
b.   Uraian yang jelas tentang :
1.   Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon;
2.   Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yag diumumkan oelh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
(5)    Permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
c)       Regestrasi Perkara dan Penjadwalana Sidang
(1)    Permohonan yang diterima Mahkamah diperiksa persyaratan an kelengkapannya oelh Panitera.
(2)    Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK, sedangkan permohonan yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahukan kepada Pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam.
(3)    Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan.
(4)    Jawaban tertulis KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sudah diterima Mahkamah paling lambat satu hari sebelum hari persidangan.
(5)    Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
(6)    Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
d)      Pemeriksaan Permohonan
Ø Bagian pertama (Pemeriksaan Pendahuluan)
(1)Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya dihadiri 3(tiga) orang hakim.
(2)Dalam pemeriksaan pendahuluan, Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebagaiana dimaksud dalam pasal 6 serta memberi nasehat kepeda Pemohon untu melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan.
(3)Pemohon wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam.
Ø Bagian Kedua (Pemeriksaan Persidangan)
(1)Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim.
(2)Pemeriksaan Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan segera setelah selesainya pemeriksaan pendahuluan.
(3)Proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a.    Jawaban termohon;
b.   Keterangan pihak terkait;
c.    Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Turut Termohon, Pihak Terkait; dan
d.   Kesimpulan.
(4)Untuk kepentingan pembuktian Mahkamah dapat memanggil KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota tertentu untuk hadir dan memberi keterangan dalam persidangan.
(5)Apabila dipandang perlu, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela sebelum putusan akhir.
e)       Mengenai Alat Bukti
(1)    Alat tulis dalam perselisihan hasil pemilu terdiri dari :
a.    Surat atau tulisan;
b.   Keterangan saksi;
c.    Keterangan ahli;
d.   Keterangan para pihak;
e.    Petunjuk; dan
f.    Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. (pasal 1 ayat 10, PMK/16/2009 bagian ketiga mengenai alat bukti)
v Penjelasan mengenai Alat bukti surat atau tulisan dan Saksi, sesuai dengan pasal 11 dan pasal 12, PMK/16/2009 bagian ketiga mengenai alat bukti, yaitu :
a)   Alat bukti surat atau tulisan terdiri dari :
a.    Berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b.   Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
c.    Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU Kabupaten/Kota;
d.   Berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD Kabupaten/Kota;
e.    Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU Provinsi;
f.    Berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD Provinsi;
g.   Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU;
h.   Berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
i.     Salinan putusan sengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; dan
j.     Dokumen tertulis lainnya
Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah.Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud diajukan sebanyak 12 rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b)   Saksi dalam perselisihan hasil pemilu terdiri atas :
a.    Saksi resmi peserta pemilu; dan
b.   Saksi pemantau pemilu yang bersertifikat.
Mahkamah karena kewenangannya dapat memanggil saksi lain untuk hadir dalam persidangan dan didengar keterangannya. Saksi yang dimaksud adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Sebelum memberikan keterangan dalam persidangan, saksi dan/atau ahli diambil sumpah atau janji sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut dengan didampingi rohaniwan yang dipandu oleh hakim.
f)        Rapat Permusyawaratan Hakim
(1)    Rapat permusyawaratan hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah pemeriksaan persidangan dipandang cukup.
(2)    Rapat permusyawaratan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim Konstitusi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 orang Hakim Konstitusi setelah Rapat Panel Hakim.
(3)    Pengambilan keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara musyawarah mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim Konstitusi.
(4)    Dalam hal musyawarah sebagimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai mufakat bulat maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(5)    Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak maka suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim menentukan.
g)      Putusan
(1)    Putusan mahkamah dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
(2)    Putusan mahkamah sebagimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya oleh 7 orang hakim Konstitusi.
(3)    Amar putusan mahkamah dapat menyatakan :
a.    Permohonan tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat sebagimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 dan/atau pasal 5 dan/atau pasal 6  ayat 1 peraturan ini;
b.   Permohonan dikabulkan apabia terbukti beralasan dan selanjutnya mahkamah membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; dan/atau
c.    Permohonan ditolak apabila permohonan terukti tidak beralasan.
(4)    Salinan Putusan Mahkamah di sampaikan kepada Pemohon, KPU, Presiden, dan Pihak terkait.
(5)    KPU, KPU Provinsi atau KIP atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah.
·     Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 17 tahun 2009
Peraturan Mahkamah Konstitusi ini  mengatur tentang Pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Peraturan ini mengatur ketentuan yang berkaitan dengan  :
PHPU Presiden dan Wakil Presiden diperiksa dan diputus secara cepat dan sederhana. Putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat.
a)      Para Pihak dan Objek Perselisihan
(1)    Para pihak dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah :
a.       Pasangan calon sebagai Pemohon;
b.       KPU sebagai Termohon.
(2)    Pasangan calon selain pemohon dapat menjadi pihak terkait dalam persidangan, baik atas permintaan sendiri, maupun atas penetapan Mahkamah.
(3)    Phak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh mahkamah.
(4)    Permohonan, Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya masing-masing berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan yang dibuat khusus untuk itu.
Objek PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi :
a.       Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau
b.       Terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
b)      Tata Cara Pengajuan Permohonan
(1)    Permohonan pembatalan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 x 24 jam sejak penetapan secara nasional hasil perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.
(2)    Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon.
(3)    Permohonan sekurang-kurangnya memuat :
a.    Identitas lengkap Pemohon yang dilengkapi fotokopi Kartu tanda Penduduk (KTP) dan bukti sebagai Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b.   Uraian yang jelas mengenai :
1.   Kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon;
2.   Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional oleh KPU dan menetapkan hasil penghitung suara yang benar menurut Pemohon.
(4)    Permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
c)       Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
(1)    Panitera memeriksa persyaratan dan kelengkapan Permohonan.
(2)    Panitera mencatat permohonan yang telah memenuhi syarat dan kelengkapan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(3)    Dalam hal permohonan belum memenuhi syarat dan/atau belum lengkap, Pemohon dapat memperbaiki dalam jangka waktu 1 x 24 jam setelah tenggat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(4)    Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 1 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Permohonan Perdata disertai permintaan jawaban tartulis dari KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan.
(5)    Hari sidang pertama diselenggarakan setelah 3 hari terhitung sejak permohonan diregistrasi.
(6)    Pemberitahuan hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling lambat 1 x 24 jam sebelum persidangan.
d)      Pemeriksaan Permohonan
Ø Bagian Pertama (Pemeriksaan Pendahuluan)
(1)Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 3 orang Hakim Konstitusi atau Pleno Hakim.
(2)Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan wajib memberi nasehat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan.
(3)Perbaikan Permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon hanya dalam persidangan hari pertama, baik atas kemauan sendiri maupun atas nasehat Hakim.
Ø Bagian Kedua (Pemeriksaan Persidangan)
(1)Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim Konstitusi.
(2)Pemeriksaan Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan segera setelah selesainya Pemeriksaan Pendahuluan.
(3)Proses Pemeriksaan Persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a.    Jawaban Termohon;
b.   Keterangan Pihak Terkait;
c.    Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan
d.   Kesimpulan.
(4)Untuk kepentingan pembuktian, Mahkamah dapat memanggil KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota tertentu untuk hadir dan memberi keterangan dalam persidangan.
(5)Apabila dipandang perlu, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela sebelum putusan akhir.
e)   Alat Bukti
(1)    Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdiri atas :
a.    Surat atau tulisan;
b.   Keterangan saksi;
c.    Keterangan ahli;
d.   Keterangan para pihak; dan
e.    Petunjuk;
(2)    Informasi elektronik;
(3)    Dokumen elektronik.
v Penjelasan mengenai Alat bukti surat atau tulisan dan Saksi, sesuai dengan pasal 10, 11 dan pasal 12 serta pasal 13, PMK/17/2009 bagian ketiga mengenai alat bukti, yaitu :
a)   Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas :
a.    Berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b.   Berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
c.    Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dari KPU Kabupaten/Kota;
d.   Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dari KPU Provinsi;
e.    Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dari KPU;
f.    Berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dari KPU;
g.   Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan
h.   Dokumen tertulis lainnya.
Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang dimohonkan ke Mahkamah. Bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud diajukan dalam 12 rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal terbukti KPU tidak melaksanakan kewajiban hukumnya untuk memberi dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud kepada saksi peserta Pemilu maka Mahkamah dapat menetapkan putusan sela untuk penghitungan suara ulang secara berjenjang atau permohonan dianggap beralasan.
b)   Saksi dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden terdiri dari :
a.    Saksi resmi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; dan
b.   Saksi pemantau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang bersertifikat.
Mahkamah karena kewenangannya dapat memanggil saksi lain untuk hadir dalam persidangan dan didengar keterangannya. Saksi sebagaimana dimaksud adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Sebelum memberikan keterangan dalam persidangan saksi dan/atau ahli diambil sumpah atau janji sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut dengan didampingi rohaniwan yang dipandu oleh Hakim.
f)    Rapat Permusyawaratan Hakim
(1)    Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah Pemeriksaan Persidangan dipandang cukup.
(2)    Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim Konstitusi yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim Konstitusi.
(3)    Pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah untuk mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para Hakim Konstitusi.
(4)    Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai mufakat bulat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(5)    Dalam hal pengambilan eputusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim menentukan.
g)   Putusan
(1)    Pemeriksaan perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden diputus paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(2)    Putusan mengenai permohonan PHPU Presiden dan Wakil Presiden diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
(3)    Amar Putusan Mahkamah mengenai PHPU Presiden dan Wakil Presiden dapat menyatakan :
a.    Permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1), pasal 4, dan pasal 5 ayat (1) pada PMK/17/2009.
b.   Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan, dan selanjutnya Mahkamah membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
c.    Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
(4)    Salinan putusan Mahkamah disampaikan kepada MPR, Presiden, KPU, Pasangan Calon, dan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan calon.
(5)    KPU wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah.
·     Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
·     Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Elektronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).


















PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Pemilihan umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
  • Cara langsung, dimana rakyat secara langasung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat. Contohnya, pemilu di Indonesia untuk memilih anggota DPRD, DPR, dan Presiden.
  • Cara bertingkat, di mana rakyat terlebih dahulu memilih wakilnya (senat), lantas wakil rakyat itulah yang memilih wakil rakyat yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.
Berikut ini adalah contoh sengketa pemilu yang paling menonjol adalah maraknya persengketaan hasil pemilu antara peserta pemilu yang kalah dengan peserta pemilu yang menang. Ataupun antara peserta pemilu dengan KPU sebegai penyelenggara pemilu. Kebanyakan yang terjadi dimana peserta pemilu yang kalah, memang tidak siap mental dala menghadapi kekalahannya, sehingga seperti mencari-cari kesalahan dalam penyelenggaraan pemilu, menyatakan bahwa hasil pemilu tidak sah karena ada kecurangan bahkan menuntut hasil pemilu untuk dianulir atau dibatalkan.  Biasanya, hal ini akan mengakibatkan kekisruhan antara para pendukung peserta pemilu yang akan berakhir dengan tindakan-tindakan anarkis dan adu jotos. Loyalitas terhadap demokrasi mereka wujudkan dalam bentuk anti demokrasi.

B.    SARAN
Agar buku referensi tentang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di perkarya dengan hal-hal yang memang relavan dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan politik.
Agar makalah seperti ini mendapat dukungan dan respon positif untuk menjadi bahan referensi untuk penyusunan makalah berikutnya.








DAFTAR PUSTAKA

Ida Budhiati. 2012. Konstitusionalitas KPU. (Online). Tersedia di : https://idabudhiati.wordpress.com/2012/08/16/konstitusionalitas-kpu/
Siahaan, Maruarar. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2. Jakarta : Sinar Grafika
Surbakti Ramlan, DKK. 2011. Penanganan Sengketa Pemilu. Jakarta: Kemitraan. (Online) Tersedia di : http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/Buku_16_Penanganan%20Sengketa%20Pemilu%20web_0.pdf

Mas, Sugeng. 01 April  2014. Seputar Pengertian, Makna, Sistem, Jenis Tahapan, Tujuan Dan Manfaat Pemilu. (Online, http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/04/Pengertian-Makna-Sistem-Jenis-Tahapan-Tujuan-Dan-Manfaat-Pemilu.html, diakses pada 13 Maret 2015).